DUA BELAS ~ IBLIS

8K 390 27
                                    

"Merenggut ... maksudmu memerkosamu? Kenapa kau bertanya begitu?" Ravaz mengerutkan dahinya bingung.

Jantung NaGeen bergemuruh. "Dulu sekali saat usiaku empat belas ... aku pernah bangun tidur di rumah ini ... dalam keadaan sangat sakit di bagian selangkangan. Dan, entah kenapa sekarang aku berpikir ... bahwa Pamanlah yang telah ... me ... memerkosaku."

Ravaz diam menatap mata NaGeen. Raut wajahnya tidak terbaca. Membuat NaGeen berpikir ulang tentang pikiran konyolnya. Tapi, ia bertahan.

"Paman, jawab." Jika benar pamannya, lantas bagaimana?

Ravaz menarik NaGeen keluar dari ruangan sempit ini lalu ia mengeluarkan kunci dari saku celananya untuk mengunci kembali pintunya. Ia kemudian mendudukkan NaGeen di lantai berkarpet putih, menyandarkannya di tumpukan bantal empuk. "NaGeen, kenapa kau senang sekali mengorek masa lalu?"

"Aku hanya ingin mengetahui kebenaran."

"Walaupun akan menyakitkan?"

"Menyakitkan bagi siapa?"

Ravaz mengetatkan rahangnya. Ia menatap NaGeen tajam. Perlahan, tatapannya melembut dan ekspresinya terbaca. Penuh cinta, juga penyesalan. "Baiklah, Paman akan menceritakan kejadian ... saat kau diculik dulu, saat usiamu empat belas tahun."

"Apa ada yang terlewat?" tanya NaGeen berdebar takut. Jangan-jangan penculik itu yang ...?!

"Sebelumnya, apa ... aku boleh menciummu?" tanya Ravaz seraya menyentuh pipi NaGeen lembut.

NaGeen menggeleng.

Ravaz menghela napas dan menarik tangannya. Pandangannya menerawang saat ia mulai bercerita.

🍺🍺🍺

Ravaz menggendong NaGeen keluar dari rumah kosong, lalu memanggil taksi yang kebetulan lewat. Di perjalanan, ia menelepon Mbok Yu dan menyuruhnya untuk memanggil bidan ke rumah. Saat Ravaz tiba di rumah, sang bidan juga baru saja turun dari motornya. Wanita paruh baya itu tampak tenang sedangkan Ravaz menahan diri untuk tidak pingsan.

Sementara NaGeen diperiksa bu bidan ditemani Mbok Yu, Ravaz menunggu di luar kamar, berjalan bolak-balik seperti seorang ayah yang menunggu kelahiran bayinya. Saat akhirnya bu bidan keluar, Ravaz langsung menanyakan kondisi NaGeen.

"Keponakan Bapak tidak apa-apa, ia hanya pingsan karena memar di bagian perut. Dan, darah yang keluar itu darah menstruasi."

"Mens ...?" Ravaz mengerjapkan matanya, kecemasan masih melingkupinya.

Bu bidan tersenyum. "Iya, Pak Ravaz, siklus bulanan perempuan."

Ravaz belum bisa bernapas lega. "Tapi ... apakah ... Anda menemukan cairan sperma di kemaluannya?"

Bu bidan kembali tersenyum. "Saya sudah memeriksa seluruh tubuhnya juga alat kelamin, dan di sekitar selangkangan, tidak ada bekas cairan lengket itu."

Ravaz menghela napas lega. "Syukurlah ...."

"Tapi, Pak, untuk lebih yakin dan jelasnya tentang adanya penetrasi ataupun ejakulasi di vaginanya atau tidak, sebaiknya bawa NaGeen ke dokter kandungan atau ahlinya untuk visum. Tapi tunggu sampai menstruasinya selesai."

Ravaz kembali didera rasa panik. Dan seperti ada kegelapan membayanginya. Ia hanya mampu mengangguk.

"NaGeen mungkin baru akan sadar beberapa jam lagi. Kalau begitu, saya permisi, Pak Ravaz."

"Terima kasih, Bu Bidan."

Ravaz sangat bersyukur saat mengetahui bahwa darah di paha NaGeen ternyata darah haid. Keponakannya mungkin selamat karena haid. Mungkin bajingan berambut cokelat itu tidak memerkosanya? Bisa jadi itu teorinya, dan semoga benar! Ravaz tidak sanggup membayangkan teori lain. Ia juga tidak sanggup harus memberi tahu orang tua NaGeen.

LOVE STORYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang