TIGA

7.1K 435 20
                                    

"Apa maksud Paman?!" Wajah NaGeen merah padam. Langsung terbayang di benaknya, sesosok laki-laki yang berusaha menidurinya di sekolah. Bulu kuduknya meremang. Ia  bangkit berdiri dengan cepat hingga membuat kursinya terdorong cukup jauh ke belakang. Ia mual. Buru-buru ia berbalik, berniat ke kamar mandi yang terletak di ujung lorong lantai bawah tanah.

"Kau mau ke mana? Maaf, kalau kau tersinggung."

NaGeen tidak mendengarkan Ravaz lagi. Ia langsung berlari keluar dari ruang kerja pria itu, menuju kamar mandi. Ia muntah di closet. Menjijikkan. Tiba-tiba saja ia teringat akan hal itu. Baru beberapa bulan yang lalu, memang, dan kejadian itu masih terekam dengan jelas di otaknya. Tidak bisa dihilangkan.

"Na, kau baik-baik saja? Maafkan Paman."

NaGeen terkejut karena Ravaz mengikutinya. Pria itu mengetuk pintu dengan gusar.

"Paman tidak tahu jika kau sedang ... hamil. Siapa pria itu?"

NaGeen mengerjapkan matanya yang berair. Ia membasuh wajah dengan air dari keran wastafel sebelum membuka pintu. Ia berhadapan dengan Ravaz yang menjulang. Wajah pria itu tampak khawatir. "Paman, aku tidak hamil."

Ravaz mengerutkan alisnya. "Lantas kenapa kau muntah-muntah?"

"Mungkin aku masuk angin," jawab NaGeen sekenanya.

"Apa orang tuamu tahu kalau kau hamil?"

NaGeen membelalak terkejut. "Paman! Sudah kubilang, aku tidak hamil! Permisi!" NaGeen meminta Ravaz menyingkir karena pria itu menghalangi pintu kamar mandi. Namun, pria itu bergeming. "Paman!"

"Kau bisa cerita padaku. Kau bisa ... memercayaiku."

NaGeen membuang muka. Selama ini ia memang menyimpan rapat-rapat kejadian mengerikan itu. Ia terlalu malu untuk memberi tahu orang tuanya tentang kejadian menjijikkan itu. "Seseorang ... berusaha memerkosaku di ... sekolah. Beberapa bulan yang lalu," ucapnya tersendat. Matanya memandang kosong pada lantai keramik putih di bawahnya.

Ravaz mengulurkan kedua tangannya, lalu memeluk NaGeen. Ia mengelus punggung gadis itu yang bergetar. Lalu, pria itu menuntunnya kembali ke ruang kerjanya, menuju sofanya yang empuk. Setelah dirasanya NaGeen duduk dengan nyaman, ia bertanya, "Kau tidak memberi tahu Angelica dan Reeve?"

NaGeen menggeleng.

Ravaz mengusap air mata keponakannya dengan lembut. "Siapa yang melakukannya? Pacarmu?"

NaGeen menggeleng. Ia menggigit bibirnya. "Seniorku, dia ... anggota klub kesenian. Dia memintaku untuk menjadi model lukisannya. Kebetulan aku suka sekali lukisan seniorku itu, jadi aku mau saja menjadi modelnya. Sore itu aku tidak langsung pulang dan memenuhi undangannya ke ruang kesenian. Tetapi, ternyata ia memaksaku untuk memakai bikini. Tentu saja aku tidak mau! Marah, ia lalu mendorongku ke lantai dan ... dan menindihku." NaGeen bergidik, teringat rasa sakit saat tubuhnya didorong ke lantai yang dingin, lalu ditindih ...."

"Lalu?" tanya Ravaz lagi. Wajah pria itu tampak gelap dan kaku.

Wajah NaGeen memucat. Ia ragu dan malu untuk menceritakannya secara detail pada pamannya. "Setelah itu, pacar seniorku masuk ke ruangan dengan kunci cadangan. Ia melihatku yang sedang ... di——" NaGeen tidak sanggup menjelaskannya. "Yah, pokoknya, pacarnya itu langsung menghajar seniorku hingga babak belur lalu memutuskan hubungan mereka. Perempuan itu juga menamparku beberapa kali. Setelah itu ia pergi. Aku juga segera pergi, memakai jaket entah milik siapa yang ada di ruang kesenian."

Ravaz tiba-tiba memeluk NaGeen dengan erat. "Apa saja yang bajingan itu sentuh? Kenapa kau tidak melapor pada pihak sekolah?!"

NaGeen menggeleng dalam pelukan Ravaz. "Aku malu untuk memberi tahu pihak sekolah, Paman. Aku juga tidak ingin ayah dan ibu tahu. Lagi pula, sejak kejadian itu, seniorku tidak berani berbuat macam-macam padaku lagi. Ia takut dihajar lagi oleh mantan pacarnya."

"Begitu ...." Ravaz melepaskan pelukannya. Kini pria itu tersenyum. "Lalu ... kenapa kau memberi tahuku?"

Mata hitam NaGeen menatap bola mata Ravaz yang warnanya serupa susu cokelat. Jantungnya berdegup dengan kencang. "Aku tidak tahu. Aku hanya merasa bahwa Paman bisa menjaga rahasiaku dan ... entahlah ... mungkin karena Pamanlah yang mengetahui haid pertamaku."

Ravaz meraih wajah NaGeen. "Kau belum menjawab pertanyaanku sebelumnya. Apa saja yang disentuh bajingan itu?"

NaGeen menelan ludah. Ia membelalak saat tiba-tiba saja bibir Ravaz mendekat dan menyentuh bibirnya, menciumnya dengan lembut, hanya dua detik. Dua detik yang mampu membuat jantungnya seolah-olah meledak hebat!

"Apa ia mencium bibirmu?" tanya Ravaz santai, tetapi matanya menatap NaGeen dengan penuh emosi. Kepala pria itu kembali mendekat dan kini kehangatan lembap menyentuh leher kecokelatan gadis itu agak lama. Ia kembali mendongak dan bertanya, "Apa ia mencium lehermu?"

NaGeen terpaku. Matanya menatap Ravaz terkejut, bingung, dan sedikit takut. Ia menahan napasnya. Mulutnya terkunci rapat.

Tangan Ravaz membuka kancing teratas kemeja biru muda NaGeen. Lalu kancing kedua dan ketiga. Tangan dingin pria itu menyibakkan kemeja NaGeen hingga sepasang payudara gadis itu yang mengenakan bra berwarna pink lembut terpampang di hadapan pria itu. Pria itu lantas menunduk lalu bibir, lidah, dan giginya bekerja di atas payudara kiri gadis itu.

"Paman ...." Napas NaGeen terputus-putus. Ia tidak mampu menggerakkan tubuhnya. Ia tidak bisa berpikir kenapa pamannya melakukan hal-hal seperti ini.

Saat Ravaz mengeluarkan sebelah payudaranya, lalu mengangkat dan menjilat ujung payudaranya, gadis itu mengerang keras. NaGeen mendorong Ravaz dengan kuat hingga pria itu sedikit terdorong.

"NaGeen?" Ravaz membelalak melihat sebelah payudara gadis itu yang menggantung indah, dengan puncak payudara merah muda yang menegang. "NaGeen ... maaf, kukira, kukira aku sedang bersama Angelica ...."

NaGeen menutupi payudaranya dengan malu. Ia mengerutkan dahinya bingung. "Angelica?"

Ravaz bangkit berdiri dan membelakanginya. "Angelica kekasihku. Na, sebaiknya kau ke atas saja, tidak usah membantuku bekerja. Atau lebih baik lagi, kau pulang saja ke rumahmu."

"Apa maksud Paman? Aku tidak mau! Sebelum aku menemukan novel itu, aku takkan pergi dari sini!"

Ravaz membalikkan tubuhnya dengan cepat. Ia mendekat, berdiri menjulang di atas NaGeen yang masih terduduk di sofa. "Jika kau katakan padaku apa yang dilakukan bajingan itu pada tubuhmu, aku berjanji akan memperlihatkan novel bersampul hitam itu."

NaGeen mendongak menatap Ravaz ragu. Jantungnya berdegup dengan sangat cepat. Hanya itu syaratnya! Semudah itu! Akhirnya! Tapi ... tapi itu terlalu berat, hingga membuat matanya terasa panas dan kembali berair. Ia buru-buru menunduk. Digelengkannya kepalanya kuat-kuat seraya berkata, "Tidak!"

Ravaz berlutut di hadapan NaGeen. "Apa pria itu merenggut kesucianmu?"

Napas NaGeen tersendat. Ia menggigit bibirnya kuat-kuat hingga terasa asin darah di lidahnya.

"NaGeen ...."

Tubuh Nageen menggigil mengingat wajah penuh nafsu seniornya.

****LOVE STORY~TIGA****


22 Jan 2017, moccamocca

LOVE STORYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang