pencarian

5.2K 92 1
                                    

Mutiara Puncak Lawu
Buku 1b

Gemuruh kaki-kaki kuda itu kembali memenuhi jalan pedukuhan Pucang yang semakin lama menjadi semakin gelap. Sementara Ki Rangga Jumena yang mempunyai ilmu cukup tinggi itu senantiasa menajamkan seluruh panca indranya untuk mencoba menelisik desir-desir suara yang kemungkinan dari orang dalam perburuannya itu. Dan memang sebenarnyalah usahanya itupun tidak menjadi sia-sia. Ketika ketajaman pendengarannya menangkap desir halus dibalik rerimbunan belukar lebat yang terbentang disepanjang tepian bengawan. Dan serta merta diangkatnya tangannya keatas hingga serta-merta rombongan prajuritnya berhenti.

"Apakah kau merasakan sesuatu Ki Lurah?" -- desis Ki Rangga Jumena

Sementara Ki Lurah Sarju hanya menghela nafas lalu menganggukkan kepalanya. Disisi lain tanpa menunggu jawaban Ki Rangga Jumena memerintahkan prajuritnya mengepungnya.

"Angger Teja Ndaru, aku harap kau keluar dari belukar itu, dan aku akan mengucapkan terima kasih kau telah meringankan tugasku" -- teriak Ki Rangga Jumena. Namun hening. Tak satupun suara yang menyahutinya.

"Sekali lagi aku minta menyerahlah..!!" -- geram Ki Rangga Jumena.

Beberapa saat kemudian Ki Rangga Jumena melangkah maju dengan pedang terhunus. Namun belum usai beberapa langkah, satu bayangan mucul juga dari balik semak-semak itu.

"Paman, apa salahku?!"

"Hmm kau muncul juga. Aku hanya bertugas membawamu ke Pajang ngger, soal apakah kesalahanmu nanti kau bisa terangkan dihadapan Ki Tumenggung Prabandaru" -- tukas Ki Rangga Jumena.

"Tidak paman, jika aku kalian bawa kesana tentu aku tidak punya kesempatan bicara" -- jawab Teja Ndaru.

"Angger, jika kau melawan, berarti benar kau memang telah membambantu perbuatan tercela Raden Jaka Pabelan sahabatmu itu"

"Aku memang sangat dekat dengan kakang Pabelan, tapi aku tidak tau persoalan yang paman maksudkan?" -- bantah Teja Ndaru.

"Jika kau tidak terlibat tentu kau tidak akan sembunyi hingga Raden Jaka Pabelan ditangkap dan ketahuilah kawanmu itu telah menerima hukuman atas perbuatannya"

"Tapi aku tidak tau menahu paman..!!" -- ucap Teja Ndaru yang terdengar bagai menjerit kesal.

"Sudahlah ngger, marilah...ikut kami"

"Tidak..!!"

Ki Rangga Jumena kemudian menarik nafas panjang-panjang, -- "bandel..!! Baiklah terpaksa aku akan memaksamu..!!" -- demikian dengan sebuah aba-aba tiba-tiba para prajurit yang jumlahnya tak kurang dari sepuluh orang itu bergerak mengepung. Akan tetapi Ki Rangga Jumena menjadi termangu-mangu ketika melihat tangan Teja Ndaru telah menggenggam sebilah pedang.

"Kau mau melawan ngger? Apakah kau tau akibat apa yang akan menimpamu melawan prajurit?!" -- desis Ki Rangga Jumena.

"Paman, jika aku merasa tidak bersalah, sampai matipun aku tidak akan menyerah" -- suara Teja Ndaru gemetar.

"Anak iblis..!! Kau tidak bisa diperlakukan secara halus he?!. Baiklah jangan salahkan aku bertindak kejam. Tangkap anak itu..!!" -- perintah Ki Rangga Jumena.

Serentak tiga orang prajurit maju dengan pedang terhunus pula. Satu tebasan pedang hampir saja menggapai Teja Ndaru jika saja anak muda itu tidak segera memundurkan sedikit tubuhnya. Akan tetapi tanpa jeda satu pedang dari prajurit yang lain terjulur tepat didadanya hingga terdengar gemerincing benturan dua buah logam ketika Teja Ndaru behasil menangkis dengan membenturkan pedangnya pula. Dan pada gerakan-gerakan selanjutnya pertarungan itu menjadi semakin sengit.
Di tempatnya berdiri Ki Rangga Jumena menjadi termangu-mangu karna tidak menduga jika pemuda itu ternyata punya bekal yang cukup pula, sehingga ketiga anak buahnya seakan-akan kesulitan menghadapi setiap geraknya. Di sisi lain Ki Lurah Sarju dengan seksama memperhatikan pertarungan itu seraya mengangguk-anggukkan kepalanya.

Bahkan pada gerakan-gerakan selanjutnya Ki Rangga Jumena menjadi berdebar-debar melihat tiga orang prajuritnya itu semakin kewalahan menghadapi Teja Ndaru yang bergerak laksana banteng mengamuk. Berulang kali dentingan suara pedang itu terdengar bagai membelah kegelapan ditepian Bengawan tersebut, dan hal itu semakin lama membuat Ki Rangga Jumena menjadi tidak telaten melihat kenyataan yang dihadapinya. Sehingga tanpa buang waktu, karna memang Ki Ragga Jumena ingin segera tugasnya usai. Dengan satu teriakan pendek merangsek memasuki arena pertempuran. Tentu saja hal itu sangat merubah keadaan.
Ki Rangga Jumena yang berilmu cukup tinggi itu telah membuat Teja Ndaru menjadi terdesak nebat, hingga tubuhnya senatiasa beringsut mundur dan mundur.

Sebagai seorang yang memang hanya mempunyai bekal pas-pasan, seiring waktu berjalan lambat laun Teja Ndaru semakin terkuras tenaganya. Hingga dalam benaknya pemuda itu telah pasrah jika harus binasa, binasalah. Akan tetapi tekad untuk melawan hingga titik darah penghabisan senantiasa membakar dadanya.
Kemudian pada saat tenaga pemuda itu semakin terkuras, konsentrasinyapun menjadi pudar, dan ini menjadikan pada suatu saat dia tidak mampu merasakan sebuah ayunan pedang Ki Rangga Jumena dalam beberapa jengkal mengarah ke lehernya. Akan tetapi belum lagi sisi tajam pedang itu menyentuh tubuh Teja Ndaru, tiba-tiba sesuatu telah memapasi tebasan pedang itu hingga batal menyentuh leher Teja Ndaru. .. Trraang..!!!

Suasana sejenak menjadi hening ketika secara bersamaan  Ki Rangga Jumena juga anak buahnya menghentikan serangannya.

"Kau gila Ki Lurah...!! Apa maksudmu dengan semua ini..!!?" -- geram Ki Rangga Jumena ketika melihat kenyataan Ki Lurah Sarju telah membenturkan pedangnya, hingga Teja Ndaru terhindar dari kebinasaan.

"Maaf Ki Rangga..aku tidak bisa berdiam diri, hati nuraniku mengatakan anak ini memang tidak bersalah" -- desis Ki Lurah Sarju.

"Ki Lurah, sadarkah kau dengan apa yang kau perbuat ini?!" -- berkata Ki Rangga Jumena yang seakan tak percaya dengan pengelihatannya.

"Dengan sesadar-sadarnya, biarkan anak ini pergi!" -- tukas Ki Lurah Sarju.

"Prajurit macam apa kau Ki Lurah Sarju?! Pengkhianat!!" -- geram Ki Rangga Jumena dengan mata membara.

Bersambung

Mutiara Puncak LawuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang