Mutiara Puncak Lawu
Buku 1 iDalam pada itu perlahan namun pasti Teja Ndaru dan Ki Lurah Sarju lambat laun telah jauh memasuki rimbunan pepohonan lebat yang teebentang luas dihutan itu. Hingga tak terasa pada hari-hari selanjutnya keduanya semakin mendekati perbukitan-perbukitan kecil di kaki gunung.
"Apakah kediaman paman masih jauh dari sini?" -- bertanya Teja Ndaru
Ki Lurahpun tidak segera menjawab, bahkan sesekali ditengadahkan wajahnya kelangit seperti hendak memperkirakan sebuah arah yang semestinya situju.
"Entahlah ngger, aku belum pernah melintasi hutan-hutan seperti ini, dari sini aku hanya tau seharusnya desaku berada di sebelah selatan lereng Gunung Lawu itu"
Teja Ndaru menjadi sedikit gelisah mendengar penuturan Ki Sarju, sehingga tiba-tiba angan-angannya melayang-layang pada kemungkinan-kemungkinan yang tidak diharapkannya.
"Apakah kita akan tersesat disini selamanya?" -- desisnya
"Tenanglah ngger, kau harus yakin bahwa segala hal tentu ada jalan keluarnya, dan satu yang mesti kau camkan dalam hatimu, kita tidak akan mati kelaparan dihutan ini" -- ucap Ki Sarju yang berusaha memberikan ketenangan pada anak yang belum sepenihnya beranjak dewasa itu.
"Paman, lihatlah tebing disana itu, sepertinya tidak terlalu tinggi untuk kita mendakinya"
"Untuk apa kita mendaki tebing itu ngger?"
"Bukankah ada kemungkinan kita melihat dan mencari arah jalan dari sana?"
"Kau benar.!!, marilah kita kesana, ternyata kau seorang yang cerdas Teja Ndaru" -- desis Ki Sarju.
Akan tetapi tidak semudah ketika mata memandang, ternyata tebing bukit yang tidak terlalu tinggi itu cukup sulit untuk ditempuh. Rimbunan semak-semak berduri begitu liar menutup setiap arah menuju tebing itu. Sementara Ki Lurah Sarju telah kehilangan pedangnya yang mungkin dapat digunakan untuk membuka arah jalannya, kecuali sebilah belati berdaun panjang yang selalu terselip dipinggangnya. Akan tetapi nampaknya pisau belati itu cukup berguna juga untuk menebas semak-samak yang merintangi arah jalannya. Bahkan sesampainya dikaki tebing kedua orang itu harus menapaki batu-batu hitam yang cukup licin pada kelembaban yang senantiasa mewarnai perbukitan itu.
"Sudah tidak begitu jauh paman, beberapa tanjakan lagi kita akan sampai diatas. Tapi bagaimana luka dipunggung paman itu?"
"Kau tenanglah, aku masih kuat untuk sampai keatas sana"
Demikianlah meski melewati jalan yang cukup sulit, pada akhirnya kedua orang itu sampai pula diatas dataran tebing bukit yang tidak terlalu tinggi itu.
"Pemandangan dari sini ternyata cukup luas paman, kita bisa melihat jauh untuk mencari arah yang sebaiknya kita tempuh"
Ki Sarju kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu dilayangkanlah pandangan matanya mengintari arah jauh yang cukup bisa dijangkau oleh pengelihatannya. Bahkan hamparan petak-petak sawah bersusunpun kini terlihat meskipun amat jauh dari tempat mereka berada.
"Lihatlah ngger, jauh disebelah utara itu sepertinya ada pemukiman penduduk, lihatlah persawahan itu. Dan lihatlah, rupanya garis lurus yang membentang diantara pepohonan itu adalah jalan utama yang biasa dilewati orang-orang"
Teja Ndaru nampak terkagum-kagum melihat betapa luas hamparan dunia yang terpampang didepan matanya, sehingga telinganyapun bagai tak mendengar setiap ucapan Ki Sarju yang sebenarnya sedang berbicara kepadanya itu.
"Teja Ndaru..!! Teja Ndaru!!"
Teja Ndarupun terperangah bagai terjaga dari sebuah lamunan yang mengusik hatinya, - "eh, ya paman"
"Kenapa kau melamun?" -- tukas Ki Sarju
"Tidak paman, aku hanya melihat hamparan dunia yang luas terpampang didepan itu" -- desis Teja Ndaru.
"Kau belum pernah melihat pemandangan seperti itu?" -- tanya Ki Sarju Kemudian.
"Belum paman, namun bukan itu yang membuat aku terperangah"
"Maksudmu?"
"Aku hanya merasa betapa kecilnya diriku didunia ini ketika mataku melihat hamparan luas yang mengagumkan itu" -- desis Teja Ndaru kemudian
Sementara Ki Sarju justru mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar kata hati pemuda itu, -- "syukurlah ngger, ternyata dalam perjalanan yang susah ini kau telah menuai sebuah pelajaran berharga dari sebuah rahasia kehiduipan yang sesungguhnya. Betapa sesungguhnya tidak pada tempatnya kita menyombongkan diri sendiri, karna seperti yang kau lihat sekarang ini, kita bagaikan seonggok debu yang kecil diantara luasnya hamparan alam itu. Kita hanyalah setitik wujud yang tidak terlihat mana kala kita tau tentang kelemahan kita sebagai manusia"
"Aku mengerti paman"
Ki Sarju kembali mengangguk-anggukkan kepalanya sebelum keningnya berkerut ketika sudut pandang matanya melihat sesuatu yang mengusik hatinya. -- "apakah....apakah mereka?"
"Ada apa paman?" -- tukas Teja Ndaru penasaran melihat gelagat aneh ki Lurah Sarju.
"Celaka..!!" -- desis Ki Sarju
"Katakan paman..!! apa yang terjadi?"
"Kau lihatlah Teja Ndaru, lihatlah dengan seksama hamparan jalan yang terlihat seperti garis-garis itu?"
"Ya aku melihatnya"
"Apakah kau melihat sesuatu yang bergerak-gerak?" -- lanjut Ki Sarju.
Sementara Teja Ndaru semakin menajamkan pandangan kedua matanya kearah yang ditunjuk Ki Sarju tersebut,
"Iya, paman aku melihat titik-titik berjalan pelan dijalan itu"
"Itu pasukan Pajang ngger..!! nampaknya mereka benar-benar tidak ingin melepaskanmu"
"Lalu bagaimana paman? apakah kita akan tertangkap?" -- ucap Teja Ndaru yang kini tampak menjadi sedikit panik.
"Tentu tidak ngger, mereka tidak boleh menangkap kita. Dan lihatlah disisi garis jalan sebelah kiri itu, rupanya ada juga pasukan disana!!"
"Kita terkepung paman!!"
"Baiklah, kita segera menyingkir dari sini meskipun aku yakin mereka belum tau kita berada disini"
"Apakah kita akan turun?" -- bertanya Teja Ndaru.
Ki Sarjupun tidak menjawab, kecuali melayangkan matanya ke sudut-sudut perbukitan itu yang memungkinkan untuk bisa dilaluinya.
"Kita susuri, jalan setapak ditebing ini ngger, hati-hati, jalan itu tentu amat sulit dilalui dan berbahaya" -- desisnya.
Bersambung
