Mutiara Puncak Lawu
Buku 1mAwal mula sebuah kejadian adalah keinginan yang menyala,
Keinginan yang menyala menjadikan hidup
Keinginan yang menyala berawal dari lamunan
Lamunan yang mewujudkan kehendak"Apa maksud kalimat-kalimat ini?" -- desis Ki Lurah Sarju dalam hatinya, seraya menyimak bagian-bagian tulisan lain yang tertera pada lembaran-lembaran kulit kering itu. -- "lalu apa yang tertulis pada judul Ki Singo Lawu itu?" -- lanjutnya.
Lembar pertama dari kulit yang tergurat Ki Singo Lawu itu kemudian dengan hati-hati dibukanya,
"Biarkan jasadku berkalang di relung sepi ini, sampai waktu penghabisan ini tiba. Amatlah penat hati mengarungi dua ratus tahun warna warni perwatakan dunia. Ambisi, angkara murka bahkan ketamakan yang selalu hilang dan selalu berganti, dan tak akan terhenti, yang mati meninggalkan tunas, sampai dayaku menghilang"
Demikian Ki Lurah Sarju semakin dalam mencermati setiap guratan aksara yang sepertinya merupakan kata-kata terakhir menjelang orang yang menamakan diri Ki Singo Lawu itu menjalankan laku menyepi dari hingar bingarnya dunia hingga ajalnya menjemput.
"Ki Singo Lawu? Duaratus tahun? kecewa pada watak murid-muridnya yang menyimpang, hingga orang tua ini mengubur diri bersama dengan seluruh ilmunya dalam lembah sepi ini" -- desis Ki Lurah Sarju.
Kemudian pada guratan terakhir kalimat itu seakan merupakan sebuah peringatan yang ditujukan pada siapapun orang yang kemungkinan menemukan jasadnya, katanya,
""Wahai anakku, siapapun yang bejodoh dengan Singo Lawu, ambilah segala yang ada dengan kebeningan jiwa, kunci untuk membuka segala petunjuk mamayu hayuning tresna, hayuning bebrayan, mamayu hayuning bawana. Wahai anakku yang tidak berjodoh, jika kelam yang kau bawa, tinggalkanlah, dan benamkanlah kembali catatan-catatan itu. Karna pandang matamu tak akan mampu melihat kunci-kunci itu dalam kegelapan"
Ki Lurah Sarju mengangguk-anggukkan kepalanya, dan pandangannya seakan tidak mau terlepas dari setiap tulisan-tulisan yang ditemukannya tersebut, hingga pada suatu ketika Ki Lurah Sarju menjadi termangu-mangu ketika membuka lembar selanjutnya.
Tidak dilihatnya banyak tulisan di situ kecuali garis-garis rumit yang melengkung, melingkar, menyambung, akan tetapi jika dicermati ternyata bentuk-bentuk guratan garis-garis aneh itu sebenarnyalah membentuk sebuah tata gerak tubuh sambung menyambung. Namun sampai sekian waktu Ki Lurah Sarju sama sekali tidak mampu memahami tentang garis-garis rumit tersebut."Aneh, guratan garis-garis itu demikian rumit, namun entah mengapa aku merasakan ada sesuatu dibalik rangkaian-rangkaiannya" -- desisnya seraya menarik nafas panjang-panjang. -- "cahaya semakin meredup, nampaknya malam akan segera tiba, lebih baik aku tidak memaksakan diri memahami gambar-ambar aneh itu" -- katanya dalam hati.
Ki Lurah Sarju kemudian meletakkan kembali kitab-kitab berbahan kulit itu. Lalu melangkah keluar ruang goa kecil itu. Rasa lapar yang semakin mengganas memaksanya untuk mencari apa saja yang mungkin bisa dimakannya untuk mempertahankan tubuhnya yang semakin lama semakin lemah. Namun apa yang didapatkannya hanyalah air jernih yang senantiasa tiada henti mengalir diantara batu-batu dibawah kaki tebing sunyi tersebut. Bahkan hawa dingin yang semakin menggigit semakin membuat seluruh tubuhnya bagaikan mati rasa, lalu dengan langkah yang begitu berat Ki Sarju kembali memasuki lokangan goa kecil dimana jasad orang yang belakangan diketahuinya benama Ki Singo Lawu itu ditemukan.
Memang dalam ruangan itu terasa agak hangat, akan tetapi Ki Lurah Sarju sama sekali tidak menemukan tempat untuk merebahkan tubuh lemahnya itu, kecuali papan batu selebar orang duduk tempat dimana kerangka Ki Singo Lawu sebelumnya berada.
"Maaf Ki Singo Lawu, jika aku lancang berada disini" -- desis Ki Lurah Sarju yang selanjutnya duduk dan menyandarkan tubuhnya diatas alas batu tersebut. Namun setelah beberapa saat matanya tak mampu untuk dipejamkannya.
