Mutiara Puncak Lawu
Buku 1 j
Betapa curam jalan didataran tebing bukit kecil itu, terjal dipenuhi batu-batu gunung yang teramat licin dan cukup tajam. Kedua orang itu harus mengendal-endap pada pemusatan nalar dan budi. Karna sedikit saja tergelincir, ngarai yang begitu dalam telah menganga dibawahnya. Demkian dengan sangat hati-hati keduanya menyusuri tepian tebing yang ternyata sambung menyambung bagai melingkari babarapa bukit yang lambat laun arahnya semakin meninggi.
"Kita kemana paman?" -- tanya Teja Ndaru.
"Kita jalan saja ngger, mudah-mudahan Yang Maha Agung memberikan petunjuk bagi kita"
Begitulah Ki Sarju dan Teja Ndaru terus berjalan menyusuri jalan-jalan tebing, bahkan kadang kini harus menurunj beberapa lembah, lalu naik lagi merambat diantara bebatuan-bebatuan. Hingga pada akhirnya kedua orang itu nampak termangu-mangu ketika tubuh mereka laksana sejajar dengan gulungan awan yang mengambang dilangit. Bahkan kini tubuh kedua orang itu telah merasakan hawa dingin yang luar biasa mendera disetiap pembuluh darahnya.
"Matahari nampaknya semakin bergeser ke barat paman"
"Ya, dan hawa udara disini semakin lama semakin membeku" - desis ki Sarju, -- "mari kita berjalan berkeliling perbukitan ini, mudah mudahan ada lokang batu besar ataupun gua untuk kita merlindung dari hawa dingin ini"
Akan tetapi belum usai Ki Sarju selesai bicara, kedua orang itu menjadi terpana, manakala gumpalan awan putih yang begitu pekat berjalan mendekati keduanya.
"Hati-hati ngger..!! awas nampaknya ampak-ampak itu akan melewati kita" -- ucap Ki Sarju
"Ampak-ampak?" -- tukas Teja Ndaru,
"Gumpalan awan putih itu..!! mari kita cari perlindungan..!! kita akan membeku..!!" -- teriak Ki Sarju.
Seperti apa yang dicemaskan Ki Sarju, gumpalan awan putih pekat itupun tanpa ampun menelan kedua orang itu. hanya cahaya putih yang merka bisa rasakan, sementara hawa dingin mulai terasa bagai menusuk-nusuk tulang belulangnya. Bahkan kini kedua orang itu tak terasa terpisah dari tempat mereka berdiri, sehingga Teja Ndaru yang masih muda itu tiba-tiba diterpa kepanikan yang luar biasa, sehingga tanpa sadar anak muda itu justru merebahkan badannya diatas permukaan dataran tinggi itu.
"Paman..!! Paman..!!" -- panggilan Teja Ndaru bagaikan sia-sia tanpa jawaban.
Sebenarnyalah ki Sarju memang sudah ada ditempat itu lagi. Disaat kabut pekat itu menggulung keduanya, tanpa mampu ditahannya tubuh Lurah Prajurit itu bagai hanyut terbawa gelombang tenaga yang lambat namun terasa kuat. Malang bagi Ki Sarju yang kemudian terperosok pada sebuah ngarai hingga tanpa ampun tubuh orang itu amblas tersorong pada kedalaman yang tidak pasti.
Disisi lain Teja Ndaru yang didera kepanikan dan merebahkan tubuhnya ke tanah justru tidak terpengaruh sama sekali olah terikan gelombang udara diantara gumpalan kabut awan yang pekat itu sehingg ketika gumpalan kabut itu sirna, Teja Ndarupun tidak lagi melihat sosok Ki Sarju yang selama ini telah menjadi kawan dalam pelarian itu.
Berulang-ulang Teja Ndaru berteriak-teriak memanggil-manggil nama Ki Lurah Sarju yang kini telah tidak terlihat lagi didepannya. Dalam benaknya Teja Ndaru menjadi gelisah luar biasa. Bagaimana tidak?. Teja Ndaru yang masih muda itu sama sekali tidak mengerti dimana kini mereka berada. Kecuali hanya tau berada disebuah puncak Gunung yang sepi tanpa seorangpun kawan berada didekatnya. Sementara matahari semakin lama semakin tenggelam hingga dataran tinggi itu menjadi semakin gelap pula. Angin yang bertiup di lereng Gunung Lawu itu seakan-akan membuat tubuh Teja Ndaru laksana beku, hingga lambat laun tubuh pemuda itu terlihat menggigil dengan hebat.
Pemuda itu kemudian merangkak tanpa arah. Tangannya pun tanpa sadar mengais-ngais apapun yang mungkin bisa menyelimuti sekujur tubuhnya yang dingin membeku. Tak terasa tubuh pemuda itu mengejang-ngejang seakan-akan menepis rasa beku yang semakin lama semakin terasa merasuk kedalam pembuluh-pembuluh darahnya, hingga pada akhirnya pemuda itupun talah melewati batas ketahanan tubuhnya, pandangan matanya terasa menjadi gelap, gelap, lalu tak tau lagi apa yang terjadi disekitarnya. Pingsan.
Dilain tempat, Ki Sarju yang terhanyut oleh tekanan hawa yang seakan muncul diantara gumpalan kabut pekat itu membuatnya tergelincir pada sebuah ngarai yang kedalamannya tidak pasti. Namun beruntung bagi Ki Lurah Sarju karna tubuhnya tidak langsung terhempas pada batu-batu yang mencuat didasar ngarai, tubuh Ki Sarju harus terkait berulang kali diantara pepohonan lebat yang tumbuh di dinding-dinding ngarai. sehingga meskipun tubuhnya tercabik-cabik oleh ranting-ranting tajam akan tetapi tidaklah menjadikan sesuatu yang fatal ketika tubuh orang itu terhempas didasar ngarai lalu tidak sadarkan diri.
Waktu yang berjalan tidak terasa. Malam bergulir tanpa jeda, pagipun menjenguk pada langit timur yang membayang merah. Sepanjang malam Teja Ndaru telah terkapar dalam kebekuan yang demikian nebat mendera setiap pori-pori kulitnya, dan merangsek tajam diantara pembuluh-pembuluh darahnya. Sampai pada akhirnya sinar matahari yang tidak terlalu panas dipegunungan itu menggamit wajahnya yang terlihat memucat.
Perlahan namun pasti pemuda itu terlihat mengisaratkan tanda-tanda kehidupan untuk dirinya, perlahan-lahan seluruh panca inderanya kembali bekerja dan membuka kedua matanya."Apakah aku masih hidup?" -- desisnya dalam hati.
Perlahan-lahan Teja Ndaru berusaha untuk bangkit, meskipun tubuhnya terasa begitu berat untuk beranjak, hingga berulang kali pemuda itu terlihat bagaikan jatuh bangun mengatur kaseimbangan tubuhnya. Namun tiba-tiba saja pemuda itu terkejut, saat dalam keadaan sulit itu tiba-tiba saja seekor burung datang dan hinggap tidak jauh dari tempatnya terbating. Burung itu kemudian terbang menjauh, lalu mendekat lagi dan hinggap kembali beberapa jengkal disamping Teja Ndaru.
"Burung yang aneh" -- Teja Ndaru membatin, -- "bukankah itu jenis Jalak Putih? kenapa terbang dan hinggap seperti itu?" -- desisnya.
Bersambung
