selamat

3K 70 1
                                    

Mutiara Pucak Lawu

Buku 1k

Entah beberapa kali Teja Ndaru berusaha untuk mencoba bangkit dari tempatnya terbaring. Rasa-rasanya tak setitikpun tenaga yang mampu mengalir disetiap sudut tubuhnya. Kini yang terjadi Teja Ndaru hanya mampu terbaring rebah menelentang menatap barisan awan yang seakan melayang pendek diatas tubuhnya.

"Apa yang terjadi dengan kewadaganku dhuh Gusti?, kenapa tenagaku sama sekali terasa sirna?" - Teja Ndaru memejamkan mata seraya bertanya-tanya dalam hatinya.

Dalam keadaan yang demikian itu tanpa dikehendakinya Teja Ndaru menjadi teringat setiap ruang-ruang perjalanan hidup yang pernah dilaluinya. Bayangan-bayangan raut wajah ibundanya tiba-tiba menyeruak diantara relung batinnya, seseoirang yang selama ini dirasakan paling mengasihinya, juga bayangan wajah sang ayah yang mungkin harus menanggung akibat pebuatan yang sebenarnya tidak pernah dilakukannya. Bahkan terbayang segala prilaku antara kebaikan dan keburukan yang muncul silih berganti.

Entah sudah beberapa lama pemuda itu terbaring menelentang menatap langit tanpa sedikitpun mampu untuk bangkit. Sampai perlahan namun pasti cahaya matahari yang mulai meninggi itu bagaikan redup terlingkup gumpalan awan yang semakin lama berubah warna menjadi kehitam-hitaman. Hembusan angin yang sesekali bertiup kencang terasa berpadu dengan lembutnya butiran-butiran air menabur bagai titik-titik embun membasuh sekujur tubuh Teja Ndaru yang tidak berdaya itu. Lalu getar kesegaran perlahan-lahan membasuh kepenatan yang mendera sendi-sendi tulangnya. Sampai pada akhirnya Teja Ndaru seakan mendapatka asupan tenaga yang tumbuh secara alamiah. Pemuda itupun kemudian sudah mulai terlihat dudu, dan beringsut perlahan mencari sandaran sebuah batu yang tak jauh dari tempat itu.

"Rasa-rasanya, tulang-tulang ditubuhku bagaikan sirna entah kemana" -- desis Teja Ndaru, -- "he, burung Jalak datang lagi" -- lanjutnya.

Dan benarlah. Seperti yang dilihat Teja Ndaru burung Jalak Putih itu kembali terbang dan hinggap diantara bebatuan perbukitan itu, bahkan kadang-kadang terbang lagi meluncur tepat beberapa jengkal didepannya. Lalu beberapa saat kemudian terbang menjauh hilang entah kemana. -- "burung aneh..? dua kali Jalak Putih itu menampakkan prilaku yang aneh"

Pemuda itu kemudian berusaha untuk mencoba berdiri, lalu berjalan pelan-pelan menyusuri jalan perbukitan itu. Teja Ndaru tidak tau lagi kemana arah yang sebaiknya harus ditempuh, dan dalam ketersesatanya itu, rasa lapar dan hauspun semakin ia rasakan, namun jangankan makanan. bahkan daun-daun yang mungkin layak untuk dimakanpun tidak ada, kecuali hamparan semak belukar yang tumbuh dibibir tebing. Lalu setelah melewati tikungan yang sedikit menjorok kebawah bukit itu wajah Teja Ndaru nampak sedikit berseri-seri.

"Aku harus mencapai air pancuran kecil itu" -- katanya sambil merambat pelan menuju tempat yang dimaksudkan itu.
Demikian Teja Ndaru tanpa ragu-ragu langsung mereguk pancaran air kecil disela-sela bebatuan itu, bahkan untuk mengobati rasa laparnya dilahapnya lumut-lumut yang tumbuh disekitar aliran air yang jernih tersebut, hingga tubuhnya semakin lama menjadi semakin segar pula. Sebelum kembali pemuda itu mengerutkan keningnya seraya berdesis, -- "Burung itu datang lagi?"

Sebenarnyalah Jalak Putih itu kembali menampakkan sosoknya dihadapan Teja Ndaru, lalu terbang berputar-putar kemudian hinggap bebrapa tombak dihadapannya. Penasaran pemuda itupun mendekatinya, namun Jalak Putih itu terbang menjauh beberapa langkah kedepan, hingga Teja Ndarupun menghentikan langkahnya. Sampai beberapa lama burung Jalak Itu masih berdiam diri ditempatnya, lalu kembali terbang dan mendekat kearah dimana Teja Ndaru kini berada, hingga pemuda itu justru menjadi terheran-heran. Sampai lada akhirnnya Teja Ndaru berkeputusan mengikuti gerak-gerik burung aneh tersebut.

Begitulah Jalak Putih itu terlihat terbang dan hinggap kadang dibebatuan, kadang bertengger di ujung dahan pepohonan, bahkan kadang terbang berbalik ke arah Teja Ndaru yang mengikutinya lalu terbang kembali kearah depan hingga tanpa sadar sesungguhnya telah mendapat penuntun jalan dari prilaku burung aneh tersebut. Dan apa yang terjadi kemudian sungguh diluar dugaan pemuda itu. Jalan yang kadang menanjak, menikung bahkan menukik diantara ngarai-ngarai itu sungguh tidak disadarinya, bahkan tidak dimengertinya dimana sebenarnya dirinya kini berada, kecuali gundukan-gundukan perbukitan yang terpampang dimatanya, juga gumpalan-gumpalan awan yang melayang setinggi tubuhnya. Sampai pada suatu ketika Teja Ndaru menjadi termangu-mangu ketika tanpa disangka dirinya telah berada disebuah dataran berumput yang cukup luas didepannya.

Teja Ndarupun kini melihat matahari yang mulai terbenam disisi barat, juga hembusan angin yang teramat kencang beraroma dingin yang luar biasa. Karnanya pemuda itu bermaksud untuk mencari sebuah tempat berlindung dari terpaan rasa dingin sebelum matahari benar-benar menyembunyikan sinarnya. Perlahan-lahan di intarinyalah dataran luas itu, sebelum pada akhirnya disisi sebelah utara dataran luas itu dirinya melihat sebuah turunan yang cukup curam diantara lokangan-lokangan bebatuan, hingga pada akhirnya Teja Ndaru menapakkan kakinya sampai ke bawah.

Perasaan Teja Ndaru semakin berbunga-bunga kegirangan, meskipun sedikit heran dengan apa yang kini dilihatnya. Disisi sebelah kanan tempatnya berdiri matanya melihat lengkung-lengkung batu setinggi orang duduk yang menurut pendapat hatinya amatlah baik sebagai tempat berlindung dari hawa dingin yang senantiasa dirasakannya tiada henti. Bahkan beberapa langkah sebelah kanan Teja Ndaru melihat seperti sebuah goa yang tidak terlalu dalam berlantaikan lempeng batu yang teramat datar sepanjang celah goa tersebut.
"Tempat aneh..?!" -- desianya dalam hati, -- "siapa yang membuat ruang-ruang ini? ataukah terbentuk secara alami?" -- begitulah berbagai pertanyaan telah memenuhi relung batinnya.

Dalam pada itu apa yang terjadi dengan Ki Lurah Sarju seakan tidak berbeda jauh dengan apa yang dialami Teja Ndaru yang tidak tau arah tempat saat ini dirinya berada. Meskipun kini keduanya bagai terpisah jarak yang teramat jauh, dimana Lurah Sarju yang sebelumya terperosok kedalam ngarai itu kini terdampar dibawah ruang sunyi memanjang diantara tebing-tebing yang menjulang tinggi. Tubuhnya yang penuh goresan dahan dan ranting-ranting pepohonan yang mengaitnya ketika terjatuh masih memperlihatkan berkas-berkas darahnya yang mengering. Apalagi luka sayatan pedang dibalik punggungnya kini kembali mengucurkan darah diantara lukanya yang hampir mengering.
Terlihat Ki Lurah Sarju kini telah bangkit dari tempat dimana dia terjatuh dan terbaring. Perlahan-lahan kakinya melangkah tertatih-tatih menyusuri lorong panjang diantara tebing tersebut. Apa yang ada didalam benak Ki Sarju hanyalah bagaimana cara menemukan jalan untuk keluar dari lorong tersebut. Akan tetapi kenyataan yang dihadapi Ki Sarju amatlah jauh dengan apa yang diharapkannya. Sekian lama dirinya berjalan jauh menyusuri lorong itu belumlah di temui sebuah titik jalan untuk keluar dari tempat tersebut, kecuali kembali menjumpai tempat yang pernah dilaluinya, sehingga dalam pemahamannya Ki Sarju seakan-akan berputar-putar tanpa titik terang sebuah jalan keluar.

"Duh Gusti, tempat apa ini? Kenapa aku selalu kembali ketempat ini? Apakah selamanya aku akan terkungkung ditempat ini?"

Kata Ki Sarju lalu menarik nafas panjang-panjang, kemudian ditengadahkan kepalanya memandang langit yang tidak sepenuhnya terlihat karna terhalang dua tebing menjulang disisi kiri dan kanan. Ki Lurah Sarju kemudian melangkah mendekati sebuah aliran air yang berhulu pada pancuran dinding tebing didepannya. Lalu setelah meminum beberapa teguk air itu, disandarkanlah tubuhnya yang lelah itu pada dinding dikaki tebing yang ditumbuhi sejenis pepohonan yang tumbuh secara merambat hingga menjulang keatas.

Akan tetapi betapa terkejutnya Ki Lurah Sarju. Ternyata Ki Sarju tidak bersandar pada bagian tebing panjang itu, melainkan sebuah rongga batu setinggi orang dewasa yang tertutup rapatnya dedaunan yang merambat memenuhi dinding-dinding itu. Hingga tak ayal lagi tubuh Ki Lurah itu tersungkur masuk kedalam rongga tebing itu.

"Gila..tempat apa ini?. apakan ini pintu menuju keluar dari tempat mengerikan ini?" -- desisnya, seraya berdiri dan menyibak dedaunan itu hingga rongga itupun kini terlihat menjadi semakin lebar. Lalu dengan hati-hati Ki Lurah memasuki rongga setinggi orang dewasa tersebut.
Namun betapa jantung Ki Lurah serta merta bagaikan terhenti. Matanya terkesiap ketika melihat sebuah pemandangan yang membuatnya menjadi berdebar-debar. Rongga tebing itu ternyata tidak terlalu dalam, dan hanya sedalam dua tiga tombak, setelah didepan Ki Lurah Sarju terpampang sesosok kerangka manusia yang masih utuh dalam posisi duduk bersandarkan dinding dibelakangnya.

Bersambung

Mutiara Puncak LawuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang