1

3.3K 101 12
                                    

Kata orang, cinta tak selalu berbalas.

Aku percaya akan hal itu.

Telah kulihat bagaimana cinta tak berbalas membuahkan tangisan.

Telah kulihat bagaimana cinta tak berbalas membuahkan penyesalan.

Telah kulihat bagaimana cinta tak berbalas membuahkan harapan baru untuk menjadi lebih baik.

Itu yang kulihat pada teman-temanku selama 17 tahun aku hidup.

Aku juga pernah merasakannya dan percayalah itu sangat pedih mengiris hati.

***

"OI, RIO. BENGONG MULU"

Aku tersentak dari lamunanku. Aku merasakan gendang telingaku bergetar terlalu keras karena teriakan yang sengaja ditujukan ke telingaku.
Aku pun mengusap telingaku dan memastikannya masih berfungsi dengan baik.

"APAAN SIH YON... ngomong aja napa. Ga perlu teriak di telingaku kayak tadi." Aku mendengus kesal.

"Sorry , Bro. Lu ga nyahut-nyahut sih. Aku kira lu uda mati terbengong. Hahaha," jawab Dion sambil tertawa bak orang gila.

Aku tak menjawab lagi.

Namaku Andrio Wisnudharma. Kutu buku. Tak populer. Tak beken. Tapi cukup ganteng. Hehe. Hanya saja karna kacamata yang super besar ini membuat orang-orang hanya menganggapku sebagai nerd.

Hanya sedikit yang mau bergaul denganku. Buku mungkin adalah sahabat terbaikku, selain Dion Gending Pratama yang sedang duduk di sebelahku.

Dion anak yang populer sebenarnya. Ganteng. Atletis. Anak basket. Dipuja banyak cewek. Cerdas pula. Saking sempurnanya, terkadang aku bangga bisa menjadi sahabatnya.

Bagaimana kami bisa bersahabat hingga sekarang?
Simak peristiwa berikut!
Seperti soal bahasa Indonesia saja, pikirku.

Dua tahun yang lalu, keluargaku memutuskan untuk pindah ke kota untuk mengadu nasib. Aku berasal dari sebuah desa terpencil di pulau Jawa, yang bahkan tidak ada koneksi internet. Bayangan akan kehidupan kota begitu membuatku bersemangat saat itu. Aku pun didaftarkan ke sebuah sekolah yang lumayan terkenal, SMA Pahlawan. Beruntung aku bisa lolos masuk ke sekolah itu dengan beasiswa penuh. Masa Orientasi Siswa atau biasa disingkat MOS menjadi hal yang krusial di sini. Senioritas sangat terasa dan siswa baru menjadi mainan bagi senior.

Siang itu, matahari begitu terik membuat keringat terus bercucuran membasahi seragamku. Kami sedang dijemur di lapangan basket. Sedari pagi, senior secara bergantian memberikan pengarahan yang menurutku tak berfaedah sama sekali sehingga kami diharuskan berdiri selama berjam-jam di lapangan. Yang mengesalkan adalah para senior dengan enaknya berdiri di bawah sebuah pohon besar yang konon telah ada di sana sejak zaman penjajahan Belanda. Bahkan kulihat beberapa di antara mereka duduk sambil bercengkrama ria.
Dasar senior kurang ajar, batinku kesal. Lebih baik aku absen dan mengerjakan soal Fisika di rumah.

Beberapa siswi yang pingsan tak membuat para senior mencukupkan agenda tak berguna ini. Sial, pikirku.
Berapa lama lagi aku akan berdiri dengan cuaca sepanas ini. Bisa-bisa aku gosong terpanggang matahari.

Tiba-tiba, seorang siswa yang terbilang tinggi untuk seumuranku maju ke depan, berhenti di depan podium dan mengangkat tangannya untuk memberi interupsi.

"YA, KAMU! Ada apa?" senior yang tengah memberikan pengarahan mengenai "Bahaya Merokok" bertanya setengah teriak seraya memandang siapa siswa baru yang songong dan berani seperti itu.

"Maaf , Kak. Nama saya Dion. Sebaiknya kami diberi waktu istirahat terlebih dahulu karena sudah 5 jam kami berdiri tanpa duduk dan minum sama sekali," teriak Dion dengan lantang.

"Berani sekali kamu mengatur senior kamu, Dion! Aku yang senior , atau kamu, hah!" Bentak sang senior, yang belakangan kutahu namanya adalah Ari.

"Saya tak bermaksud lancang," jawab Dion lagi masih dengan penuh percaya diri karena ia masih sanggup menegakkan kepala seolah menantang sang senior.

"TAPI YANG KAMU LAKUKAN ITU LANCANG, MENGERTI KAMU!" Kak Ari mulai marah.

"Saya tetap mempertahankan permintaan awal saya, Kak," tegas Dion.

Kak Ari melihat beberapa detik ke arah teman-temannya yang kini mulai bangkit berdiri .

"Oke. Jika kamu berhasil push-up seratus kali, saya kabulkan permintaan kamu," kata Kak Ari sambil tersenyum sinis. Terlihat jelas di wajahnya bahwa ia yakin Dion akan menyerah dan kembali ke barisannya.

Dion tak memberi jawaban, melainkan langsung mengambil posisi push-up.

Dasar keterlaluan. Dion hanya mengatakan apa yang kami semua ingin katakan. Aku tak tahan lagi.

"Interupsi, Senior. Nama saya Andrio. Menurut saya, apa yang barusaja Dion sampaikan mewakili permintaan kami semua. Jadi, ia tak pantas menerima hukuman itu." Aku lega telah mengatakan itu semua dengan cukup lantang. Terlihat beberapa siswa mengangguk-angguk setuju akan perkataanku.

"Kalau begitu, Rio. Kamu menemani Dion push-up di depan. MAJU KAMU!"

Aku tak bisa mengelak. Ini keputusanku.

Tak usah kujelaskan bagaimana kami push-up sebanyak itu sambil mengumpat dalam hati dan mengutuk bajingan-bajingan itu.

Tapi hikmahnya adalah, kami menjadi sahabat baik meskipun kasta kami sungguh berbeda. Si cupu dan si kece.

Dua tahun berlalu, persahabatan kami baik-baik saja. Two years and still counting, begitu kata anak kekinian.

Balik lagi ke masa sekarang ,di mana aku sedang bersama Dion di kantin. Aku hanya memandang bakso di depanku tanpa berniat memakannya. Dan aku tersenyum kecil sesekali.

Sementara, Dion sudah menghabiskan nasi goreng yang baru dipesannya setelah ia mengeluh bakso belum membuatnya kenyang. Aku menatapnya heran. Bagaimana ia tak gendut padahal porsinya luar biasa. Sungguh sebuah anugerah dari Yang Maha Esa!

Aku melirik baksoku lagi dan kembali melamunkan orang yang barusan kulihat tadi pagi.

Aku jatuh hati lagi padanya, batinku.

***

Cinta Seorang Kutu Buku [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang