15

847 44 0
                                    

Bella berlari sambil terisak. Air matanya bercucuran jatuh membasahi jalanan yang ia lewati.
Ia langsung terduduk saat ia melihat kondisi Dion yang parah.

Di sebelahnya, Rio sedang menelepon ambulans untuk mengangkut Dion ke rumah sakit.

Dion membuka matanya dan berbicara dengan lemah," Bel, sebenarnya aku ingin kita putus," lalu memejamkan matanya.

"KAK DION. KAK.... MAAFIN BELLA. KAK, BANGUN!!!" Tangis Bella semakin menjadi-jadi tatkala Rio menariknya menjauh untuk membiarkan petugas ambulans mengangkut Dion.

"Bel, yuk kita naik mobil Dion saja. Sepertinya kamu sangat terguncang sehingga akan bahaya naik motor."

***
Sudah dua hari berlalu, Dion masih tak sadarkan diri. Dokter berkata Dion sudah melewati masa kritis tapi ia tak bisa memastikan kapan Dion akan sadar.

Dion memang terluka parah. Bella membayangkan dengan ngeri melihat tubuh Dion yang terpental malam itu. Ia berusaha keras melupakan malam yang tragis itu. Ia masih mengingat orang yang mengendarai mobil itu yang hanya terluka di bagian kepala keluar dari mobil dan memaki-maki Dion.

Ingin rasanya Bella menguliti orang itu hidup-hidup. Ingin rasanya ia mengutuknya karena sudah mabuk saat berkendara dan akhirnya menyebabkan orang yang Bella sayang masuk rumah sakit dalam keadaan kritis. Orang itu sudah ditangani polisi. Semoga orang tak bertanggung jawab itu dikenai hukuman yang setimpal.

Permintaan putus dari Dion terngiang-ngiang di kepala Bella yang mulai pusing karena terlalu banyak yang dipikirkannya.

Kejutan apa yang ingin Dion berikan?
Dan mengapa ada Rio di dalam kafe?
Dan mengapa Dion meminta putus secara tiba-tiba? Apakah ini ada hubungannya dengan Rio?

Bella ingin menanyakan begitu banyak pertanyaan kepada Rio. Namun, ia membatalkan niatnya saat ia melihat Rio yang duduk dengan lemas di kursi tunggu . Rio sedang kacau, ia tahu itu. Sahabatnya masih tak sadarkan diri.

Bella merasa egois karena malah memikirkan hal tadi. Harusnya ia berdoa untuk kesembuhan Dion. Orang tua Dion menemani Dion siang malam. Begitu pula dengannya dan Rio. Karen setiap hari mengunjungi Rio dan membawakan mereka semua makanan.

Bella duduk di salah satu kursi yang cukup jauh dari Rio. Ia menundukkan kepalanya dan berdoa agar Dion cepat sadar dan pulih.

***
Ini semua salahku, aku membentak diriku sendiri.

Amarah yang kurasakan sekarang mengalun bersama kesedihan yang tiada tara saat melihat Dion, sahabat terbaikku terbaring lemah di ranjang rumah sakit.

Aku kangen candaannya.

Aku kangen saat ia bermain basket.

Aku mengetokkan kepalaku sendiri ke dinding . Tak kupedulikan orang-orang yang melihatku.

Aku ingin Dion cepat sadar. Hanya itu, ya Tuhan.

Aku teman yang buruk. Sahabat yang buruk. Aku malah menbuat Dion seperti ini karena egoku untuk memiliki Bella.

Seandainya waktu bisa terulang kembali, sayangnya tidak.

Aku melihat Bella yang sedang duduk cukup jauh dariku. Kami hanya berbicara dengan singkat sejak kami tiba di rumah sakit. Aku berjalan ke arahnya.

Ia melihatku datang dan memelukku untuk pertama kalinya. Ia menangis lagi untuk kesekian kalinya.

"Kak, hatiku terus bertanya-tanya apakah ini adalah kesalahanku. Apakah aku yang membuat Kak Dion seperti ini?"

Bella sedang kacau, tak jauh beda dariku.

"Bel, jangan salahkan dirimu . Aku yang bersalah."

Bella masih menangis tersedu-sedu. Ia melepaskan pelukannya saat Karen datang menghampiri Kami berdua.

"Maaf, Kak," ujar Bella sebelum ia berlari menuju toilet.

"Kutebak, ia belum tahu apa yang terjadi." Karen mengusap setitik air mata yang ternyata mengalir di pipiku.

Aku menggelengkan kepalaku.

***
"Bel, Dion sudah sadar."

Aku mencoba membangunkan Bella karena ia pasti sangat ingin menemui Dion.

Bella yang baru bangun, menyeka matanya ,dan langsung bangkit setelah mendengar kabar itu. Ia pun segera masuk ke kamar inap Dion, disusul olehku.

"KAK!" Mata Bella tampak berkaca-kaca. Sedangkan Dion hanya tersenyum lemah dan memberi isyarat kepada kedua orang tuanya.

Papa dan mama Dion mengangguk kepada anaknya dan pamit keluar sebentar.

Bella berlari menuju Dion dan memeluknya.

"Aku sangat takut kehilangan kakak."

Dion memandangku dan seketika ia langsung tahu Bella belum tahu apa yang terjadi.

Aku memberi senyumanku yang paling bahagia pada Dion tanda senang karena ia sudah sadar.

"Jelek lu yo" ejeknya.

"Aastaga nih anak." Aku bersikap seakan-akan hendak menjitak kepalanya yang tak mungkin kulakukan.

Dion hanya tertawa .

Sementara itu, Bella masih menggeletakkan kepalanya di dada Dion.

Dion ingin bangkit untuk duduk.

"Yo, kenapa aku tak bisa menggerakkan kakiku?" Dion menatapku dengan kaget.

Aku sama kagetnya dengannya. Apakah Dion ......?

"Yo, kakiku kenapa?" ujar Dion lebih histeris lagi.

Kini, Bella sudah mengangkat kepalanya dan ikut memeriksa kaki Dion yang ternyata sedang di-gips.

"Jangan panik, Yon. Aku akan memanggil dokter."

Aku lari keluar . Sebelumnya, aku sempat melihat Dion menitikkan air matanya . Pasti ia sedih sekali melihat kondisinya yang lumpuh sekarang ini.
Aku berbicara dengan orang tuanya yang sekarang masuk ke kamar inap. Aku pun memanggil dokter yang menangani Dion.

"Nak Dion lumpuh sementara. Ia akan menggunakan kursi roda selama dua atau tiga bulan. Tulang pahanya mengalami keretakan akibat kecelakaan itu. "

Aku melihat Dion menangis . Orang tuanya berusaha menenangkannya. Dion adalah pria dewasa. Ia tegar menghadapi kondisinya ini dengan hanya menangis. Akan sangat berbeda untuk orang lain yang pasti sudah meraung-raung.

Aku berjanji akan terus menemaninya dan membantunya sebisa mungkin selama ia harus menggunakan kursi roda.

***

Tiga baru telah berlalu sejak Dion sadar. Kondisinya sudah cukup pulih dan memungkinkan baginya untuk masuk sekolah. Papa Dion padahal sudah menyuruh Dion untuk beristirahat saja, tetapi ditolak Dion dengan alasan sudah mau ujian nasional.

Pagi itu, aku mendorong kursi roda Dion menuju kelas. Banyak siswa lainnya yang melihat kondisi Dion dan mengucapkan kalimat lekas sembuh yang dibalas oleh senyuman kecil Dion.

Sumpah aku kangen lesung pipinya. Namun, sepertinya Dion sedang kehilangan kemampuannya untuk tertawa seperti itu. Ia memang terlihat tegar. Namun, aku yakin berbagai macam perasaan berkecamuk di dalam hatinya. Ia pasti tertekan sekali apalagi ia jadi tak bisa melakukan hobinya, yaitu basket.

"Yo, entar abis pulang sekolah, kita akan menceritakan semuanya kepada Bella."

***

Cinta Seorang Kutu Buku [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang