7

967 52 0
                                    

"Bella, kenapa lu nangis?" teriak Siska setelah ia mampu mengontrol dirinya sendiri .

"Sakit kaki aku, Sis," jawab Bella.

Dion melangkah masuk dan menepuk bahuku.

"Yo, buruan ke lapangan. Udah mau penutupan nih."

"Siap ,Yon," jawabku yang sedang memasukkan obat dan plester ke dalam kotak P3K dan kemudian menatap Bella yang masih duduk di ranjang UKS," luka kamu sudah kakak obati. Kamu istirahat saja di sini dan teman kamu boleh menemanimu."

"Nama aku Siska, Kak!" Siska mengenalkan dirinya tanpa disuruh. Bella tersenyum kecil melihat betapa inginnya Siska agar Rio tahu namanya.

Aku cuma tersenyum pada Siska dan keluar ruangan mengikuti Dion.

***

Aku berjalan dengan lambat , sampai-sampai Dion beberapa kali berhenti agar aku tak ketinggalan. Aku tak bisa fokus. Masih teringat di benakku kejadian di UKS tadi.

Jarak antar wajah kami sudah begitu dekat. Tiba-tiba, air mata Bella bergulir jatuh. Aku tersadar dan mundur menjauh dan bertanya-tanya apakah aku sudah melakukan hal yang salah.

"Kenapa, Bel?" tanyaku cemas.

Bella mengeleng-gelengkan kepalanya sambil mengusap air matanya.

Ingin sekali aku mengusap air mata itu.

Aku tak ingin air mata itu jatuh.

Hanya bahagia yang ingin kuberikan pada gadis itu.

"Bel, jika kamu tak nyaman di samping aku, aku pasti menjauh kok," ujarku sambil menahan rasa sakit di dadaku. Entah kenapa aku merasa Bella tak akan pernah mencintaiku.

Bella menggeleng-gelengkan kepalanya lagi.

"Kak, beri Bella waktu. Bella akan mencoba mencintai kakak."

Aku tak percaya dengan apa yang kudengar. Apakah Bella hanya berbohong.

Suara pintu terbuka mengagetkan kami berdua. Bella cepat-cepat menghapus air matanya. Sedangkan, aku pura-pura sibuk membereskan obat-obatan. Sekilas aku melihat Dion dan teman Bella yang sedang menutup mulut dengan kedua tangannya.

"RIO!"

Aku terperanjat kaget . Aku baru tersadar dari lamunannya karena mendengar teriakan Dion.

"Napa sih lu? Bella ,ya? Ngomong apa aja tadi?" tanya Dion.

"Bukan," aku berbohong. Aku berjalan dengan cepat hingga aku sekarang berada di depannya, tak mengindahkan ekspresi penasaran Dion.

***

Penutupan MOS berjalan lancar, meskipun aku,Dion, dan panitia MOS lainnya capek memarah-marahi junior yang tak lengkap membawa barang-barang yang wajib dibawa dengan alasan yang bervariasi.

Ketinggalan,Kak!

Lupa beli,Kak!

Aku ga tau itu apa ,Kak!

BASI!

Akhirnya , aku bebas dari kegiatan MOS dan bisa fokus pada kegiatan akademikku, dan mungkin Bella.

Aku masih tak mengerti apa yang Bella maksud tadi.

Belajar mencintai?

Butuh berapa lama....

***
Siska cemberut melihat Bella yang masih tak mau bercerita apa yang terjadi antaranya dan Kak Rio.

"Bel. CERITA DONG!" pinta Siska untuk kesekian kalinya dan hanya dibalas oleh gelengan kepala Bella.

Bella memang sedang tak ingin bercerita. Ia bahkan tak tahu kenapa tadi ia berbicara seperti itu pada Kak Rio.

Ia masih membayangkan betapa dekatnya ia dan Kak Rio tadi.

Ia masih bisa merasakan degupan jantungnya tadi.

Apa ia mulai mencintai Kak Rio?

Bella menepis pikirannya.

Tidak mungkin.

***
Siang itu, aku belajar bareng di rumah Dion. Bukan aku saja. Rizky dan Galih, teman sekelasku dulu, juga ikut bergabung dalam kelompok belajar kecil-kecilan ini. Kami memang membuat grup belajar sendiri untuk menghadapi UN dan SBMPTN.

Bukan UN saja yang akan kami hadapi. SBMPTN, yang ujiannya jauh lebih susah dari UN dengan saingan yang begitu banyak se-Indonesia, telah menunggu untuk menyeleksi kami. Tak ada salahnya ,kami mulai belajar sekarang. Apalagi kami berempat bertekad melanjutkan pendidikan kami di universitas-universitas terbaik di Indonesia. Tentunya, kami harus berusaha keras.

Aku menetapkan STEI ITB sebagai pilihan pertamaku nanti, walaupun aku tahu akan bersaing dengan ribuan orang.

Dion juga memilih universitas yang sama denganku, tapi dengan fakultas yang berbeda. FTTM ITB, yang tak kalah diminati calon-calon mahasiswa.

Rizky , yang suka dengan Biologi dan Teknik Pengobatan sejak dulu, memutuskan untuk mewujudkan cita-cita masa kecilnya dan Kedokteran UI menjadi pilihannya.

Dan Galih berencana mengambil Teknik Kimia UGM. Galih adalah temanku sejak SMP, tapi kami lanjut di SMA yang berbeda. Aku juga telah memperkenalkannya pada Dion, yang dengan cepat bersahabat baik karena mereka punya hobi yang sama. Basket.

"Lih, gimana kabar lu?" tanya Dion sambil memberi tos pada Galih.

"Baik, Bro. Udah lama kita ga main basket," jawab Galih.

"Aku sibuk MOS kemarin, Lih. Kalau main, Rio dan Rizky harus ikut. Titik."

Aku melempar tatapan tajam pada Dion yang seenaknya mengharuskanku bermain basket. Aku ga suka olahraga.

"Pokoknya lu harus ikut," ujar Dion lagi dan menunjukku dengan jari telunjuknnya.

"Yon, minta minum ya." Rizky bangkit dan mulai berjalan ke arah kulkas. Kami sudah menganggap rumah Dion sebagai rumah kami sendiri, apalagi kulkasnya hehe.

Dion mengeluarkan buku kumpulan soal SBMPTN yang baru dibelinya kemarin. Kami pun mulai belajar.

***

"Mulai besok, kamu masuk di kelas XII IPA 1."

Seorang cewek tersenyum sambil dengan malas mendengar peraturan-peraturan sekolah yang sedemikian banyaknya, yang sedang disampaikan oleh Bu Rina, kepala sekolah SMA Pahlawan.

Ia pun pamit keluar dan berjalan menuju mobilnya. Ia menatap spion mobilnya. Rambut pirangnya berkilau terpancar sinar matahari yang begitu terik siang itu.

Cewek itu masuk ke mobilnya dan mengeluarkan ponsel dari sakunya. Ia mengetuk layar ponselnya berkali-kali hingga seorang foto cowok yang begitu dirindukannya muncul memenuhi layar ponselnya.

Andrio Wisnudharma.

***

Cinta Seorang Kutu Buku [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang