Tuhan akan memberikan sesuatu yang lebih baik jika kita mau mensyukuri apa yang sudah menjadi takdir kita saat ini. -Caca
▪▪▪Pukul lima sore, Caca baru sampai ke rumahnya dan disambut hangat oleh Bi Tati; asisten rumah tangganya, yang sedang membersihkan ruang tamu. Caca menghempaskan tubuhnya pada sofa sambil menghembuskan napas lelah.
Setahun lamanya selalu seperti ini. Pulang sekolah disambut Bi Tati, berangkat sekolah naik angkutan umum, dan sarapan bahkan sampai makan malam pun ia selalu ditemani oleh Bi Tati.
Maklum, Caca tidak punya kakak atau pun adik. Jadinya ia selalu bersama Bi Tati yang sudah ia anggap seperti ibunya sendiri.
Rania, Ibu kandungnya itu masih tidak berubah sama sekali setelah kejadian yang menimpa keluarga mereka setahun yang lalu. Kejadian itu sangat membuat Caca terpukul, apalagi ibunya.
Rania sampai-sampai tidak lagi beraktivitas seperti biasanya. Ia hanya diam di dalam kamar dan tidak pernah keluar lagi setelah kejadian itu. Yang dilakukannya hanya menatap luar rumah dari jendela kamarnya yang berada di lantai dua.
Ini memang sangat sulit bagi Caca, apalagi cewek itu masih bersekolah dan selalu dipadati dengan kegiatan sekolah. Seharusnya ada seseorang yang menjadi penyemangat Caca untuk melakukan semua itu. Dan itu tentu seharusnya adalah Rania, Ibunya.
"Mama lagi ngapain, Bi?" tanya Caca pada Bi Tati yang terlihat sedang mengambil sepatu milik Caca untuk disimpannya ke dalam rak.
"Tadi Bibi liat sih, lagi diem aja, Ca."
Jangan heran jika Bi Tati memanggil cewek itu dengan sebutan Caca. Jelas Caca-lah yang meminta karena sebutan non, nyonya, dan lainya itu sangat tidak mau Caca dengar. Apalagi ia sudah menganggap Bi Tati sebagai ibunya sendiri.
"Udah makan?" tanya Caca lagi.
"Tadi Bibi udah nganterin makan, tapi Bibi nggak tau kalo ibu makan atau enggaknya, Ca."
Caca mengangguk. "Kalo gitu aku mau ke kamar mama dulu." Caca beranjak dan berlari kecil menaiki anak tangga rumahnya untuk menuju kamar Rania yang berada di lantai dua.
Caca memutar kenop pintu pelan, tampaklah ibunya itu yang sedang duduk di atas kursi roda sambil menghadap ke arah jendela. Seperti biasa, melihat pemandangan luar rumah yang tidak pernah ibunya rasakan lagi setelah kejadian itu.
Caca menghembuskan napas berat. Kejadian itu benar-benar sangat sulit untuk dipercaya. Bahkan sakitnya masih membekas sampai sekarang di dalam relung hati Caca.
Karena itu Caca membenci dia.
Caca memeluk Rania dari belakang. Ia mencium rambut ibunya itu dengan sayang. Ia menoleh ke arah meja nakas ibunya dan mendapati sepiring makanan yang terlihat sama sekali belum disentuh.
"Mama kok nggak makan? Makan dong, nanti mama sakit. Caca sedih kalo mama sakit," bujuknya.
Rania mengangguk, dan hal itu tentu membuat Caca tersenyum senang. Ia langsung mengambil makanan ibunya dan dengan senang hati menyuapinya.
Rania tersenyum tipis, kasih sayangnya kepada Caca sama sekali tidak hilang. Hanya saja selama setahun ini ia tidak bisa lagi melakukan aktivitas untuk menunjukkan bahwa ia menyayangi Caca.
Semuanya karena kejadian itu.
"Oh ya, Mah. Sabtu nanti Caca mau lomba paduan suara. Do'ain Caca ya, biar bisa menang lagi dan banggain sekolah. Biar mama juga bangga sama Caca."
Lagi-lagi Rania tersenyum lalu mengangguk, membuat Caca kembali tersenyum senang. "Makasih, Mama."
Rania kembali mengangguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Regret
Teen FictionIni bukan Friendzone, lebih tepatnya Clarissa Amanda atau biasa dipanggil Caca, tidak pernah menganggap Bagas Alvaro lagi sebagai temannya. Padahal, Bagas rela melakukan apa saja asalkan Caca tidak lagi bersikap jutek kepadanya. Satu senyuman Caca s...