13

106 7 3
                                    

Mungkin bagimu tidak apa kehilanganku di dunia ini, tapi bagiku tidak apa kehilangan duniaku tapi tidak dengan kehilanganmu. -Bagas
•••

Tak terasa sudah hari kedua Caca dan Bagas tersesat. Matahari mulai menyinari kedua anak adam ini begitu terik, membuat Caca mengerjapkan matanya beberapa kali untuk menyesuaikan penglihatannya sebelum benar-benar terbangun dari tidurnya.

Caca menengok ke arah kanan, menampilkan cowok berkaus putih yang sudah kotor itu tengah tertidur dengan kepalanya yang bersender pada bahu Caca. Melihat hal itu rasanya Caca ingin menangis saja.

Setelah kejadian malam tadi saat Caca keceplosan mengatakan jika ia tidak mau Bagas meninggalkannya, saat itu juga hening malah menyelimuti mereka berdua dengan kedua bola mata yang saling beradu, memberikan sorotan penuh pertanyaan.

Apalagi Bagas, cowok itu menatap Caca dengan tatapan yang sulit diartikan juga matanya yang sedikit berkaca-kaca. Caca tau, jika Bagas bingung dengan semua ini. Tapi Caca juga tidak bisa memberi tahu Bagas alasan yang sebenarnya. Karena itu, malam tadi Caca langsung bungkam saat ribuan pertanyaan dari Bagas langsung menyerbunya. Cewek itu hanya menangis, lalu setelahnya tertidur.

"Bagas?"

Caca menggerakkan bahunya sehingga membuat cowok itu langsung terbangun dari tidurnya. Bagas mengerjapkan matanya beberapa kali. "Udah siang, ya?"

"Masih gelap."

Bagas menoleh ke arah Caca dengan gerakkan cepat, membuat Caca berdecak kesal. "Yaiyalah udah siang, pake nanya segala."

Bagas menghela napas pelan. Kenapa sih, disaat seperti ini Caca masih bersikap tidak acuh seperti itu kepada Bagas? Apa di mata Caca, Bagas ini benar-benar sudah tidak berguna lagi? Setidaknya sebagai sahabat?

"Kaki lo masih sakit, Ca?

Caca melirik kakinya yang terlihat sedikit membaik. Tentu saja itu berkat Bagas yang membantu menyembuhkan lukanya.

"Menurut lo?"

"Ya 'kan lo yang ngerasain, Ca. Masa nanya gue?"

Caca memutar kedua bola matanya. "Terus kalo kaki gue masih sakit lo mau apa? Mau jungkir balik kesenengan karena gue nggak bisa jalan?!"

Bagas menatap Caca tidak percaya. "Ya ampun, Ca. Gue nggak pernah mikir kaya gitu, gue cuma mau tau keadaan lo aja."

"Berisik pencemaran suara!"

Bagas menghela napas, lagi. Sejujurnya Bagas sangat ingin mengetahui alasan kenapa Caca berubah kepadanya. Tapi, sangat sulit sekali membuat cewek penyuka permen yupi itu bercerita.

Suara cacing di perut Caca membuat Bagas langsung menoleh ke arah cewek itu lalu terkekeh. "Laper, Ca?"

Caca mendelik. "Terus menurut lo gue nggak makan apapun dari kemarin itu artinya gue nggak laper? Emangnya gue robot?!"

"Ya abisnya lo nggak bilang apa-apa, Ca."

"Males gue ngomong sama lo, palingan lo ngajak gue ke tempat pohon jambu itu lagi terus lo pura-pura keracunan kaya orang sekarat dan bikin gue ngerasa kaya orang bego."

Seketika Bagas terdiam, merasa tidak enak mengingat kejadian itu. "Ya maaf, Ca. Gue kira lo nggak bakalan marah."

"Semua orang juga bakalan marah kalo digituin."

"Iya-iya maaf. Yaudah ayo kesana lagi, buah itu nggak beracun kok, Ca, aman."

Jika Caca benar-benar seorang robot, mungkin ia tidak akan mau menyetujui ajakkan Bagas untuk pergi kembali ke pohon jambu itu.

RegretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang