14

92 8 1
                                    

Kadang gue bingung harus jadi siapa karena diri gue yang sebenarnya udah lama gue tutup rapat-rapat. Soalnya dia bodoh, dia payah, dan dia pengecut. Buat benci lo aja dia nggak bisa. -Caca
•••

Hari mulai menjelang petang, tetapi Caca masih saja terduduk sambil menangis dengan kedua tangan yang memeluk lututnya erat-erat.

Sungguh, Caca sudah tidak kuat lagi untuk sekedar berjalan mencari Bagas. Tubuhnya lemas, kakinya sakit, juga perutnya yang benar-benar terasa keroncongan.

Caca terlonjak kaget saat semak-semak yang ada di hadapannya tiba-tiba bergerak dan bersuara. Cewek itu menatapnya dengan cemas, takut jika yang datang adalah hewan buas.

Caca merapalkan doa dalam hati. Diam-diam cewek itu merasa kesal dengan Bagas. Apa Bagas tidak mencari Caca sama sekali? Apa cowok itu senang jika Caca hilang karena tidak akan ada lagi yang membuatnya kerepotan?

"Caca?!"

Merasa sangat mengenali suara itu, Caca langsung mendongak dan mendapati Bagas yang berdiri sambil menatapnya penuh khawatir. Caca langsung beranjak dan berhambur memeluk Bagas. Seakan rasa sakit dan lemas itu telah sirna karena kehadiran Bagas. Memeluk dengan sejuta perasaan yang sudah berkecamuk di dalam hatinya. Perasaan senang, kaget, dan takut.

Takut jika ia kehilangan Bagas.

Lain halnya dengan Bagas yang malah mematung dengan muka yang terlihat cengo. Cowok itu benar-benar tidak percaya jika Caca memeluknya. Memeluknya terlebih dahulu sambil menangis sesenggukkan.

"Lo... Gapapa, Ca?" tanya Bagas kemudian. Nadanya sedikit terdengar gugup dan hal itu membuat Caca seketika melepaskan pelukkannya saat menyadari apa yang ia lakukan sudah membuat cowok yang ada di hadapannya ini gemeteran.

Caca mengusap air matanya cepat, lalu menatap Bagas kikuk, membuat Bagas menelan ludahnya susah payah.

Kenapa gue jadi gugup gini, sih?! Berasa mau nembak lagi, gue. Batin Bagas.

"Gu-gue bilang ju-juga apa! Ja-jangan be-bebal kalo diomongin!"

Entah kerasukan jin tomang dari mana, seketika Caca tertawa mendengar gerutuan Bagas. Seakan tidak pernah ada masalah yang terjadi di antara mereka berdua dan hal itu tentu membuat Bagas melongo.

"Lo kaya anak kecil abis nangis tau nggak, Gas? Gagap! Haha..."

Bagas menarik napasnya dengan perlahan. Rasanya di hutan yang penuh tumbuhan ini tidak membuat Bagas bisa menghirup oksigen dengan bebas. Kenyataannya malah Bagas terasa sesak napas melihat tawa Caca yang begitu indah.

Caca meredakan tawanya. "Kenapa lo?"

"E-enggak. Lo... Cantik kalo lagi ketawa."

Caca langsung terdiam, jantungnya berdegup dengan cepat, pipinya tentu saja langsung memanas. "Apaan sih lo?!"

"Lo belum jawab pertanyaan gue. Lo gapapa, 'kan, Ca?" tanya Bagas kemudian.

Caca salah tingkah. "Ehm... Gapapa, kok."

Bagas mengernyit. Ada yang aneh dengan cewek yang ada di hadapannya saat ini. Kenapa Bagas merasa jika Caca berubah menjadi sedikit tenang, ya? Tidak seperti biasanya yang suka marah-marah dan bersikap jutek.

Atau jangan-jangan ini bukan Caca?

Wajah Bagas berubah panik. "Lo pasti bukan Caca, 'kan?!"

Caca melotot kaget. "Heh, Ba-gas elpiji! Lo pikir gue apa, hah? Wewe gombel?! Nyebelin banget sih jadi dugong!"

Setelah mengatakan itu, Caca melengos pergi dengan perasaan kesal.

"Kenapa harus nyebelin lagi, sih?! Dasar Bagas Bego!" Umpat caca dalam hati.

RegretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang