"Gue tau saat ini lo lagi berduka, baru seminggu ayah lo pergi. Tapi gue nggak maksud apa-apa, gue cuman mau ngasih lo kepastian supaya lo percaya kalo gue nggak akan pernah ninggalin lo, Ca."
Caca terdiam, merasakan detak jantungnya yang berdegup dengan kencang. Melihat Bagas yang berdiri di hadapannya sambil menggenggam kedua tangan Caca membuat perut Caca terasa seperti dipenuhi ribuan kupu-kupu yang beterbangan. Apalagi Caca dan Bagas dikelilingi sekumpulan siswa-siswi yang menjadi saksi pengakuan perasaan Bagas.
"Selama ini gue selalu ngerasain hal aneh sama diri gue sendiri dan gue baru sadar kalo itu ada hubungannya sama lo, Ca. Gue... Suka sama lo."
"BAGAS!" Kedua bola mata Caca seketika terbuka lebar, napasnya terasa ngos-ngosan, juga keringat dingin yang sudah membanjiri dahinya. Hal yang pertama kali cewek itu lihat adalah langit-langit yang berwarna putih.
Bersamaan dengan itu, Rania dibantu oleh Bi Tati yang mendorong kursi rodanya langsung menghampiri Caca. "Sayang, kamu udah sadar? Bi, cepet panggil dokter!" Bi Tati langsung bergegas keluar ruangan seperti orang yang kebakaran jenggot.
Air mata Rania kembali berderai. Hanya saja kali ini perempuan paruh baya itu menangis haru karena anaknya sudah sadarkan diri dari komanya yang sudah menginjak hari ketiga. Tak henti-hentinya Rania mengusap rambut Caca yang masih menatap langit-langit kamar.
"Sayang, akhirnya kamu bangun juga. Mama khawatir, mama takut kamu kenapa-kenapa." Caca masih bisa mendengar jelas suara Rania yang terisak. Memang benar cewek itu sudah sadarkan diri sepenuhnya, tetapi ia masih belum bisa berkata-kata karena mimpinya itu membuat lidahnya terasa kelu.
Suara decitan pintu membuat Rania menoleh, tampaklah seorang dokter datang dengan Bi Tati yang mengekorinya dari belakang. Bi Tati sedikit memundurkan kursi roda Rania untuk memberi ruang agar dokter itu bisa memeriksa Caca. Rania mengusap air matanya, ia sangat bersyukur Tuhan masih memberikan kebahagiaan kepadanya dengan sadarnya Caca dari koma.
Setelah dokter itu memeriksa Caca, ia menatap Caca sambil tersenyum. "Apa ada yang kamu rasakan? Pusing atau perih di bagian perut?"
Caca melirik dokter itu, lalu mengangguk. "Perih," jawab cewek itu sambil memegangi perutnya. Rania yang mendengarnya langsung terlihat khawatir, membuat Bi Tati mengusap pelan bahunya.
"Lambung kamu bermasalah, mungkin selama kamu tersesat kamu kelaparan. Nanti saya kasih resep obatnya dan nanti saya suruh suster buat nganterin makanan ke kamar kamu, ya." Caca tersenyum dan mengangguk, lalu dokter itu berbalik kemudian sedikit berbincang dengan Rania.
Caca memejamkan matanya seraya menghela napas pelan, lalu ketika cewek itu menoleh ke arah samping dokter itu sudah melengos pergi. Rania menatap Caca sambil tersenyum, membuat Caca ikut tersenyum.
"Kamu gapapa 'kan, Sayang?"
Caca menggeleng, menatap Rania dengan senyum yang tulus. Caca bersyukur dalam hati karena Tuhan masih memberikan kesempatan untuk dia berada di sisi Rania. Caca kira, ia dan Bagas tidak akan pernah bertemu dengan keluarganya lagi.
Bagas. Mengingat nama itu sontak membuat wajah Caca berubah panik. "Bagas dimana, Mah?" tanya Caca kemudian. Matanya menunjukkan sorotan penuh tanda tanya. Terakhir kali ia ingat, wajah Bagas terlihat sangat pucat ditambah luka patukkan ular itu yang semakin merambat ke seluruh kakinya.
Perasaan Caca semakin tidak enak saat melihat raut wajah Rania yang tiba-tiba berubah muram. Caca semakin mendesak, cewek itu memaksakan dirinya untuk mengubah posisinya menjadi duduk.
"Caca, kamu masih sakit."
"Bagas mana, Mah? Bagas gapapa, 'kan?" Caca tidak mempedulikan ucapan Rania dan lebih memilih menanyakan keberadaan cowok itu. Cewek itu meringis dan refleks memegang perutnya hanya sebentar, namun tak ia hiraukan lagi karena Bagas adalah yang paling penting dari dirinya sendiri. "Mah, Bagas mana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Regret
Teen FictionIni bukan Friendzone, lebih tepatnya Clarissa Amanda atau biasa dipanggil Caca, tidak pernah menganggap Bagas Alvaro lagi sebagai temannya. Padahal, Bagas rela melakukan apa saja asalkan Caca tidak lagi bersikap jutek kepadanya. Satu senyuman Caca s...