10

159 26 7
                                    

Luka di dahiku dan luka di kakiku, tidak seberapa dengan luka di hatiku saat melihat kamu terluka. -Caca
•••

Caca mengerjapkan matanya beberapa kali saat sesuatu yang menyilaukan terasa membakar kelopak matanya. Suara kicauan burung kini mulai samar-samar terdengar oleh telinganya. Caca meringis saat merasakan kepalanya yang terasa sakit, cewek itu menyentuh dahinya yang terasa perih. Dan benar saja, cairan merah yang bernama darah itu kini terlihat dengan jelas pada telapak tangannya.

Caca menengok ke arah kiri dan langsung mendapati cowok yang sangat ia kenali terkulai lemas dengan darah yang sudah membajiri kepala juga tangannya. Saat itu juga Caca baru ingat dengan apa yang baru saja terjadi kepadanya.

Caca berusaha bangkit merubah posisinya menjadi duduk dengan pelan sambil sesekali meringis. Cewek itu menoleh ke sekelilingnya dan betapa terkejutnya ia saat menyadari bahwa bis yang ia tumpangi tadi tidak berada di sekitarnya.

Seharusnya, jika bis itu terjatuh maka Caca akan berada di dekat bis itu juga atau mungkin terjebak di dalamnya bersama teman-temannya yang lain. Tapi kenapa malah Bagas satu-satunya orang yang berada di dekat Caca?

Caca langsung bergeser menghampiri Bagas lalu menggoyang-goyangkan tubuh cowok itu. "Bagas, bangun!"

Tidak ada balasan.

Caca menepuk-nepuk pipi Bagas. "Bagas, bangun!"

Kali ini yang dipanggil mulai merespon ucapan Caca dengan suara rintihan, membuat Caca diam-diam bernapas dengan lega saat mengetahui Bagas masih hidup. Kalau tidak, bagaimana nasib Caca jika sendirian di hutan yang ia tidak tau jalan keluarnya ini?

Mata Bagas terbuka sempurna. Ia sedikit merasa kaget saat Caca duduk di sebelahnya. Bagas langsung bangkit dan merubah posisinya menjadi duduk, meskipun rasa sakit pada tubuhnya begitu sangat menyakitkan. "Ca, lo gapapa?" tanya Bagas terlihat khawatir.

Caca menatap Bagas sinis. Cewek itu berdecak, "Gapapa gimana? Liat tuh, jidat gue berdarah, kaki kue juga sakit!" Sambil menunjukkan bagian tubuhnya yang terasa sakit.

Diam-diam Bagas menghela napas pelan. Dalam keadaan begini saja, Caca masih sempat-sempatnya bersikap jutek dan sinis kepada Bagas. Bukannya seingat Bagas saat di bis tadi Caca terlihat tidak terlalu sinis, ya? Tapi kenapa sekarang malah berubah lagi?

"Lagian kenapa gue bisa pingsan di deket lo, sih? Liat tuh! Bis kita nggak ada! Kita terpisah jauh sama yang lain!" Bagas melihat ke sekeliling. Benar, tidak ada bis yang ia tumpangi tadi di sekelilingnya. Itu artinya Bagas dan Caca terpisah jauh dari tempat kejadian.

"Terus sekarang kita gimana? Liat tuh---"

"Diem bisa nggak sih? Dari tadi lo terus ngomong liat tuh, liat tuh. Emangnya gue nggak bisa dengerin kata liat tuh sekali aja?" ucap Bagas memotong perkataan Caca dengan kesal.

Caca terdiam. Cewek itu sedikit merasa kaget saat Bagas memotong ucapannya dengan nada yang seperti itu.

"Lagian siapa juga sih yang mau kaya gini? Masih mending lo pingsan deket gue. Gimana kalo lo kepental jauh sendiri?"

Caca menatap Bagas tajam. "Yaudah, kalo lo nggak mau gue ada di sini, gue bisa kok sendiri! Bye!" Caca berusaha bangkit dari duduknya meskipun kaki cewek itu terasa sakit. Ia sedikit meringis namun tidak bisa mengurungkan niatnya untuk pergi meninggalkan Bagas. Cewek itu berjalan terseok-seok memunggungi Bagas.

"Ca? Caca! Maksud gue bukan gitu, Ca!" Bagas menatap punggung Caca yang mulai menjauhi cowok itu. Bagas berdecak lelah karena panggilannya sama sekali tidak digubris Caca.

RegretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang