7

126 38 25
                                    

Aku tidak bermaksud untuk mempermainkanmu. Aku hanya ingin tau apakah kamu mempermainkanku atau tidak. -Bagas
▪▪▪

"Tuh 'kan, Gas. Kalo nggak ada lo jadinya tim basket kita kalah."

Bagas hanya mendengus geli mendengar gerutuan Alvin yang berada di sebelahnya. Sudah kelima kalinya Alvin mengulangi kalimat itu untuk Bagas.

"Itu takdir, kali. Bukan karena gue nggak ikut!" ucap Bagas kemudian yang malah membuat Alvin mendengus kesal. "Tau dah, kalo udah bawa-bawa takdir gue nyerah."

Bagas tertawa sedangkan Alvin cemberut. Cowok itu langsung menengok ke arah Caca yang sedang mengobrol dengan Vita. Dari raut wajahnya, bisa Bagas tebak jika Caca sedang menceritakan sesuatu yang membuat cewek itu kesal. Terlihat dari raut wajahnya yang sangat ekspresif saat bercerita.

"Btw, gue denger-denger katanya tim paduan suara kalah ya, Gas? Bener nggak, sih? Lo kan nontonin si Caca," tanya Alvin kemudian yang membuat hati Bagas kembali berdenyut sakit. Mengingat dirinyalah yang membuat Caca tidak konsen dan membuat tim paduan suara kalah. Akibatnya, Caca harus siap menanggung malu karena kekalahannya itu.

"Woy! Kalo ditanya itu jawab, Cebong!" Bagas tersentak kaget, sedangkan Alvin terkekeh. Bagas mendengus. "Iya kalah dan itu semua karena gue," adu Bagas akhirnya.

Alvin memasang tampang kagetnya. "Maksudnya? Kok jadi lo yang disalahin?"

Bagas mengedikkan bahunya. "Mungkin karena gue teriak-teriak pake toa sambil bawa spanduk gede dan itu ngebuat Caca sebagai dirigen nggak konsen, akibatnya ketukkan Caca salah dan nyanyiannya juga kacau."

"Anjir!" Alvin mengumpat, membuat Pak Toto Guru Matematika itu langsung menengok ke arah bangku Alvin dan Bagas.

"Siapa itu yang teriak-teriak?"

Seluruh murid langsung menoleh ke arah Alvin, membuat cowok itu menyengir malu dengan tangannya yang mencubit pinggang Bagas di sebelahnya. Pada akhirnya, Alvin mengacungkan tangannya membuat Pak Toto menunjukkan wajah geramnya. "Kenapa kamu teriak-teriak? Apa saya seperti hewan yang kamu teriaki, Alvino agradha?"

Alvin menggeleng cepat dengan wajah piasnya. "Nggak, Pak! Tadi saya bilang anjir, bukan hewan yang bapak maksud. Lagian saya nggak sengaja, Pak. Maaf, hehe."

Pak Toto hanya menggeleng-gelengkan kepalanya lalu kembali duduk pada kursi gurunya, membuat Alvin langsung menghela napas lega. Sepertinya perasaan guru itu saat ini sedang bahagia, makanya tumben banget nggak marah-marah seperti biasanya.

"Lo sih pake cerita kaya gitu! Jadinya gue kelepasan, 'kan?!"

Bagas memasang wajah protesnya. "Dih, 'kan lo nanya, Cupang! Makanya gue jawab."

Alvin berdecak. "Yaudah-yaudah, terus gimana?" tanyanya masih merasa penasaran.

"Terus gue pergi ke back stage buat ketemu Caca. Niatnya mau nanyain kenapa dia berhenti padahal nyanyian belum selesai, tapi gue malah dapet gampar duluan." Alvin berdecak takjub. "Gue bilang juga apa, Gas. Udah deh, nggak usah ngejar-ngejar si Caca lagi, yang ada dia malah makin benci sama lo, Gas."

Kali ini giliran Bagas yang berdecak. "Tapi gue harus tau alasan Caca berubah sama gue, Vin. Dia nggak pernah mau bilang kenapa dia tiba-tiba benci sama gue. Nggak mungkin, 'kan kalo dia nggak punya alasan?"

Alvin menghela napas. Benar juga apa yang dikatakan oleh Bagas si Cowok Penakut Kecebong itu. Mengingat saat kelas sepuluh dulu, Bagas dan Caca itu seperti sepasang kekasih padahal hanya sebatas sahabat. Saking sangat dekatnya mereka.

RegretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang