16

109 5 0
                                    

Untuk mencapai sesuatu memang butuh pengorbanan, sekalipun yang harus kamu korbankan adalah aku. -Caca

•••

Suara kicauan burung sedikit demi sedikit mulai memasuki indra pendengaran Caca. Cewek itu mendongak, lalu mengerjapkan matanya beberapa kali. Terang, itulah yang pertama kali terlintas di pikiran Caca saat cewek itu baru terbangun dari tidurnya.

Rupanya hari sudah berganti pagi dan tak terasa sudah tiga hari lamanya mereka tersesat.

Caca langsung menoleh ke arah Bagas yang masih tertidur. Entah kenapa Caca merasa tenang jika melihat tidurnya Bagas, sejak dulu selalu seperti itu. Cewek itu kini melirik ke arah kaki Bagas yang semakin membiru dan membengkak. Jantungnya bergetar hebat, ada perasaan takut saat melihat wajah Bagas yang memucat.

"Bagas?"

Tidak ada jawaban.

Caca menggigit bibir bawahnya, panik. Suaranya bahkan sudah terdengar parau saat memanggil cowok itu. Jujur saja Caca sudah tidak kuat lagi untuk melanjutkan mencari pertolongan atau pun jalan keluar, fisiknya benar-benar sudah lemah.

Caca menghela napasnya pelan sebelum cewek itu kembali membangunkan Bagas sambil menepuk-nepuk pipinya. "Bagas, bangun. Udah pagi." Kening Bagas mengerut, membuat Caca bernapas dengan lega. Setidaknya, Bagas sudah memberi tau Caca bahwa cowok itu masih berada bersamanya.

Perlahan-lahan kedua mata Bagas terbuka sempurna, cowok itu mengucek matanya terlebih dahulu sebelum suara ringisan membuat Caca menggigit bibir bawahnya.

"Masih sakit, ya?" tanya Caca dengan wajah khawatir. Bagas hanya menggeleng lemah tanda tak perlu terlalu dikhawatirkan. Padahal, Bagas benar-benar merasakan sakit di seluruh tubuhnya.

"Yaudah kalo gitu lo tidur lagi ya, Gas?" Tangan kanan Caca menarik kepala Bagas untuk ia senderkan pada bahunya. "Muka lo pucet banget." Suara Caca terdengar berdecit seperti menahan kuat-kuat air matanya agar tidak keluar.

"Gue gapapa kok, Ca, gue cuman lemes dikit aja. Istirahat dulu ya bentar? Abis itu baru kita cari jalan keluar lagi."

"Enggak!" sahut Caca cepat. "Gue gapapa kok meskipun seminggu di sini juga, asalkan lo bener-bener udah nggak sakit." Bolehkah saat ini Caca menjerit? Ia sudah tidak tahan menahan dadanya yang terasa sesak.

Ada hening cukup lama, sampai akhirnya Caca menoleh kepada Bagas karena cowok itu yang tak kunjung bersuara lagi. Bagas terlihat memejamkan matanya, membuat jantung Caca seketika berdegup kencang. Cewek itu mendekatkan telunjuknya pada hidung Bagas dan baru bisa bernapas lega saat napas Bagas terasa pada kulitnya.

Caca memandang lurus ke arah depan, pikirannya tiba-tiba teringat dengan masa lalu saat dimana ia dan Bagas bersahabat sangat dekat. Caca teringat dimana ia dan Bagas sering sekali pulang sekolah kehujanan, lalu sesampainya di rumah Rania akan memberikan dua handuk yang sama dan dua cangkir teh panas untuk menghangatkan tubuh mereka. Persis seperti anak kembar.

Dulu, jika Caca marah kepada Bagas, cowok itu selalu menyogoknya dengan setumpuk permen yupi. Tentu saja itu akan membuat Caca luluh dan memaafkan kesalahan Bagas, lalu Bagas akan merengek minta dipeluk sambil menunjukkan wajah memelasnya yang tidak lebih baik dari anak kecil.

Yang paling Caca ingat saat Bagas menciumnya meskipun itu tidak sengaja. Caca tidak pernah merasa menyesal karena ciuman pertamanya itu telah diambil oleh Bagas. Malah, dari sanalah perasaan aneh itu muncul. Perasaan sayang yang lebih dari sekedar sayangnya Caca kepada sahabatnya.

*Flashback on*

Caca, Bagas, dan Alvin langsung berpencar mencari tempat yang aman di sekitaran sekolah karena Vita yang kedapatan giliran untuk berjaga. Ya, pada jam istirahat ini, keempat anak adam itu malah bermain petak umpet. Hampir setiap hari mereka melakukan permainan ini, kalau tidak jam istirahat pasti sepulang sekolahnya, atau pun kalau dua-duanya tidak sempat maka akan bermain di sekitaran kompleks perumahan Caca dan Bagas.

RegretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang