8

123 27 15
                                    

Saat aku memintamu untuk menjauh, itu artinya aku memintamu untuk berteduh. Berteduh dari ucapan menyakitkanku yang menghujani kehidupanmu. Tapi percayalah, suatu hari ia akan mereda dan munculah pelangi yang akan memberimu warna setiap hari. -Caca
•••

"Ca, liat deh! Masa si Bagas sama si Nina, sih?!"

Caca langsung menoleh ke arah parkiran yang ditunjuk oleh Vita. Tampaklah sosok Bagas Alvaro yang sedang duduk di atas jok motornya dengan Nina yang berdiri di hadapannya. Terlihat Bagas mengumbar perkataan yang memancing gelak tawa dari Nina.

Jantung Caca bergemuruh kesal. Ada perasaan ingin menerkam Bagas dan Nina secara bersamaan saat itu juga. Biar apa sih, mereka berduaan di parkiran kaya gitu? Apa mereka nggak malu jadi pusat perhatian orang-orang?

"Ca?"

"Apa?!"

"Busettt."

Caca mendengus kesal. "Terus kalo si Kecebong itu lagi sama Nina, kenapa?! Masalah sama gue? Sama orangtua gue? Atau sama Pak Udin?!"

Sudut bibir Vita sedikit terangkat. "Lah, kalo nggak masalah sih, kenapa ngomongnya sewot banget, Mbak? Santai, 'kan bisa."

Caca berdecak. "Yaudah ah, ayo pulang! Males gue disini." Caca langsung menarik Vita dengan kasar, membuat sekretaris OSIS itu terkikik pelan di belakangnya.

Tanpa Caca ketahui, Bagas dan Nina langsung menoleh ke arah Vita saat tangan cewek itu ditarik paksa oleh Caca. Vita langsung mengacungkan jempol ke arah Bagas dan hal itu sukses membuat jantung Bagas bergetar hebat.

Omong-omong, Pak Udin itu adalah satpam SMA Bhineka.

"REGRET"

Caca langsung melempar tasnya ke sembarang arah dengan perasaan kesal. Wajahnya tertekuk dan bibirnya ia majukan beberapa centi. Demi apapun, kejadian Bagas dan Nina tadi terus saja berputar di dalam pikirannya dan itu sangat mengganggu kesehatan jantung Caca. Bisa-bisa Caca terkena darah tinggi jika masih terpikirkan Bagas seperti ini.

"Apaan? Katanya cuma suka sama gue, cuma cinta sama gue, nggak akan berpaling dari gue, tapi apa?! Dasar cowok modus!" Kedua tangan Caca mengepal menahan amarah. Jika saat ini di hadapannya ada Bagas, mungkin cewek itu sudah membuat wajah tampan Bagas menjadi perkedel kentang yang sering Bi Tati buatkan untuknya.

"Sekarang malah deketin si Nina. Buat apa, coba? Sok ganteng banget tuh, cowok! Emangnya si Nina mau apa sama dia?!" Caca berdecak kesal lalu menggaruk kepalanya, jengkel.

"Ya pasti maulah!"  Caca beranjak dan langsung mengganti pakaiannya daripada ia berbicara sendiri persis seperti orang gila. Lebih baik ia packing barang-barang yang akan ia bawa saat study tour lusa nanti.

Getaran ponsel Caca yang berada di atas meja, membuat cewek itu langsung menyambarnya dengan cepat. Hati kecilnya berharap bahwa pesan itu datang dari Bagas, tetapi harapannya pupus sudah saat nama Zian-lah yang kini terpampang jelas pada layar ponselnya.

Caca memegang dadanya cepat.

Seharusnya Caca merasa senang saat mengetahui pesan yang masuk ke dalam ponselnya itu ternyata dari Zian, gebetannya. Tetapi kenapa rasanya aneh dan malah membuat Caca terdiam sambil celingukkan sendiri?


"Kok perasaan gue biasa aja, ya? Harusnya gue seneng, dong?" tanya Caca pada dirinya sendiri. Di detik kemudian cewek itu berjingkrak-jingkrak dengan raut wajah yang dipaksakan semringah.

RegretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang