Kami berkumpul di sebuah aula untuk mendengarkan sambutan dari kepala sekolah kepada murid baru tahun ini. Ruangan ini cukup unik. Atapnya membentuk sebuah kubah. Bagian dalamnya yang cekung memiliki pemandangan langit biru yang cerah. Gumpalan awan putih itu berjalan, dan sesekali ada seekor burung yang melintas. Aku tak tau berapa lama aku menatap ke atas hanya untuk melihat awan-awan palsu itu. Tapi rasanya aku ingin pergi kesana.
Kepala sekolah mulai menjelaskan asal mula kenapa sekolah Wolfenstein ini dibangun. Ini bagian yang paling membosankan. Tanpa mendengarkan pun aku sudah tau tentang sekolah ini. Sekolah sihir ini cukup terkenal di kalangan penyihir dan makhluk seperti kami yang bukan manusia.
Berikutnya kepala sekolah menjelaskan tentang pemilihan kelas berdasarkan kemampuan para muridnya. Dia menunjuk beberapa kartu yang diletakkan di atas meja panjang di depannya. Dia bilang kartu-kartu itu akan menunjukkan sendiri kemampuan kita yang sebenarnya, dan setelah itu akan diberitahu kelas mana yang akan dimasuki dari keempat kelas di sekolah ini. Ini seperti cara meramal dengan kartu tarot.
Satu persatu nama murid mulai dipanggil. Ini akan memakan waktu yang sangat lama. Murid baru disini cukup banyak, dan akan selalu banyak setiap tahunnya. Aku mengusap leher belakangku. Kudengar kepala sekolah menyebut kelas Zeus untuk kelas yang akan dimasuki murid lelaki di depan. Nama keempat kelas disini diberi nama-nama dewa Olympus.
"Hei," panggil gadis di sebelahku. Aku menoleh padanya.
"Kau memakai lensa kontak, ya?" tanyanya.
Aku bingung harus menjawab apa. Aku memutuskan untuk tak memakai lensa kontak. Apa warna mataku terlalu mencolok?
"Kupikir ada beberapa orang yang memang terlahir dengan mata berwarna kuning. Seperti vampir, atau manusia barangkali?" kataku.
"Ya, tapi warna matamu cukup berbeda. Itu terlihat cerah dan indah. Rasanya aku pernah melihat warna mata seperti itu."
Aku memilih mengalihkan pandangan ke depan, melihat murid perempuan yang terpilih berada di kelas Hades. Murid yang sudah menemukan kelasnya berkumpul di barisan kelompok yang berada di kelas yang sama. "Ya. Aku memakainya," jawabku kemudian. Kudengar nama Marissa dipanggil. Dia berjalan ke depan dan mulai memilih kartunya. Kulihat salah satu kartu di meja itu bersinar. Marissa mengambil kartu tersebut dan memberikannya pada kepala sekolah.
"Watery. Kau berada di kelas Poseidon, nona Marissa," kata kepala sekolah yang sudah berumur tua itu setelah ia melihat kartu yang diberikan Marissa. Marissa tersenyum lebar dan bergabung dengan barisan baru yang sesuai dengan kelasnya.
"Lori Rosevelt." Aku terperanjat saat kepala sekolah menyerukan namaku. Aku keluar dari barisan dan berjalan ke depan, sedikit canggung. Aku menaiki undakan dan berdiri di depan meja panjang. Ada sepuluh kartu dengan nama-nama elemen. Tiba-tiba kartu dengan tulisan earth mulai bersinar. Kupikir hanya satu kartu saja yang bersinar; karena itu yang kulihat dari murid-murid yang sudah melakukannya. Tapi kemudian kartu dengan tulisan thunder dan wood mulai bersinar, diikuti kartu lain yaitu water, wind, dan light.
Kulihat ekspresi wajah kepala sekolah mulai terkejut. Aku hampir lupa bahwa ada beberapa guru lain yang juga sedang duduk di meja panjang di depanku. Mereka juga memasang ekspresi yang sama seperti kepala sekolah. Salah satu guru wanita bangkit berdiri, keluar dari mejanya dan berjalan menuju ke arahku. "Nona Lori, ada apa ini?" tanyanya berbisik saat sudah berdiri di hadapanku.
"Tenanglah Veruca. Nona Rosevelt, kelas apa yang akan kau pilih?" tanya kepala sekolah padaku.
Wanita yang dipanggil Veruca menatap kepala sekolah dengan ekspresi terkejut. "Professor, kita tak bisa begitu saja membiarkan dia memilih kelasnya sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
WINGS (Book #1)
FantasyLori Rosevelt adalah satu-satunya kaum malaikat yang tersisa di muka bumi. Demi bisa berbaur dengan manusia sekaligus menyembunyikan identitasnya, ia memotong sayap yang menjadi kebanggaannya selama ini. Di sekolah barunya, ia bertemu lelaki serigal...