08

1.1K 152 2
                                    

"Bagaimana dia bisa tau dirimu?" tanya Marissa penasaran. Aku juga tidak tau. Entahlah, aku juga bingung. Aku tidak bisa mengingat semuanya. Werewolf bukan ancaman yang terlalu besar bagi keberadaan kaum malaikat karena disaat seorang werewolf sedang berada pada bentuk serigala dan melihat seorang malaikat, orang itu akan lupa apa yang telah dilihatnya saat kembai ke wujud manusia. Tapi Evan werewolf. Dia bisa mengingatku.

"Aku harus menemuinya sekarang," kataku cepat.

"Tunggu, Lori," cegah Marissa. "Bagaimana jika gambar itu bukan dirimu?"

"Tidakkah kau lihat, Marissa? Mata, hidung, semuanya! Itu aku." Aku tidak bisa berbohong bahwa gambar itu benar-benar diriku. Gambar diriku setelah Kharites menyerangku dengan memotong sayapku. Jika aku menggali ingatanku lebih dalam lagi untuk mencari sosok Evan disana malah semakin membuat kepalaku sakit. Aku pasti pernah bertemu dengannya sampai dia tau aku. Tapi aku tidak bisa mengingat, seolah seseorang telah sengaja menghapus sosok Evan dalam ingatanku. Aku menyentuh dahiku dengan jemari sambil memejamkan mata. "Entah kenapa yang kuingat hanya kau yang datang menolongku," kataku.

"Mungkin dia melihatmu dalam wujud serigala," kata Marissa.

"Dia menggambarku dengan salah satu sayap yang terpotong. Tidak ada yang tau keadaanku seperti itu saat itu selain dirimu."

"Tidak jika dia jatuh cinta padamu, Lori."

Aku membuka mataku dan menatapnya. "Apa?"

"Aku ingat," katanya dan berjalan mendekatiku dan berdiri di hadapanku. "saat aku menghampirimu saat itu ada darah mengalir di dahimu. Kepalamu terluka. Kau pasti habis terbentur. Mungkin kejadian itu membuatmu kehilangan beberapa ingatanmu."

Jika benar apa yang dikatakan Marissa, mungkin aku memang pernah bertemu Evan. Atau mungkinkah Evan yang melihatku dan aku yang tidak menyadari keberadaannya? Sialan! Ayolah otak, gali ingatanku lebih dalam lagi. Dari sekian banyak serigala di hutan tempat tinggalku dulu pasti salah satunya Evan.

"Bagaimana Kharites memotong sayapmu dulu?" tanya Marissa. "kau sedang terbang saat itu?"

Aku menggigit ibu jari. Memutar ulang kembali ingatanku saat tragedi api. "Aku berusaha untuk terbang waktu itu saat salah satunya menahan kakiku. Aku memang berhasil lepas dan terbang tapi kemudian―" aku melebarkan telapak tanganku, mengayunkannya di depan wajahku. "―cahaya yang menyilaukan itu datang dan kemudian aku merasakan sakit di punggungku."

"Dan kau jatuh. Ya, kau pasti jatuh," kata Marissa.

"Aku memang jatuh. Tapi tidak disana Marissa." Aku yakin aku tidak jatuh di pantai saat itu. Aku masih di hutan. Dekat dengan rumah. Aku tidak sanggup berjalan. Aku kesakitan karena salah satu sayapku patah. Aku hampir tidak sadarkan diri saat mendengar sebuah langkah mendekatiku. Kupikir itu Kharites sampai kemudian aku merasakan sebuah lengan yang hangat. Aku merasa seperti melayang, lalu suara napas yang cepat. Dan kemudian aku menyadarinya.

Itu dia. Dia membopongku sampai ke pantai.

Aku berlari keluar dari kamar, tidak mempedulikan panggilan Marissa di belakangku. Aku terus berlari sampai menaiki tangga spiral yang menuju lorong. Lorong yang terhubung dari gedung asrama ke gedung utama. Kemudian aku berhenti. Ada beberapa murid yang berjalan. Mereka baru saja kembali dari makan malam. Tidak. Bukan lorong ini. Lorong ini selalu ramai karena terhubung langsung dengan gedung asrama. Ada lorong lagi yang terhubung dari gedung utama ke gedung belakang. Benar, pasti yang itu. Aku kembali berlari, lurus menuju gedung utama. Gedung ini berisi aula makan, aula dansa dan beberapa ruangan lain yang tidak kuketahui. Aku kembali menaiki tangga spiral untuk menuju lorong yang terhubung dengan gedung belakang. Dan aku kembali berhenti. Tidak. Aku berhenti bukan karena ada beberapa murid yang sedang berjalan disana.

WINGS (Book #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang