06

1.2K 150 1
                                    

Dunia manusia seperti medan terjal bagiku. Bukan berarti disana sangat membahayakan, tidak. Memang cukup membahayakan untuk remaja yang kurang pengalaman sepertiku dan Marissa yang hanya sekali mengunjunginya. Tapi karena lebih kepada orang-orang yang tidak memiliki sihir. Yang kutahu, manusia tidak percaya dengan sihir. Dan kami harus tetap mempertahankan pemikiran-pemikiran itu pada manusia agar makhluk-makhluk seperti kami tetap aman. Mereka memang tidak percaya dengan sihir, tapi ketika melihat makhluk yang berbeda dengan manusia mereka akan mengincarnya. Dan bisa saja sampai membunuhnya.

Kami mengunjungi salah satu rumah sakit yang ada di Norwich. Marissa bertanya pada seorang resepsionis yang berdiri di balik meja lobi soal salah satu keluarga Eleanor yang dirawat disini. Dia menyuruh kami ke lantai tiga, tempat dimana ibunya Jill berada.

"Menurutmu apa yang akan Jill katakan kalau kita tiba-tiba menemuinya?" tanya Marissa ketika kita masuk ke dalam lift. Pintu berdenting dan bergeser menutup. Dia menekan tombol angka tiga.

"Aku tidak tau, Marissa."

Kami diam menikmati keheningan selama benda besi ini membawa kami naik menuju lantai tiga. Rasanya aku sedikit mual ketika aku merasakan benda ini naik seperti terbang. Ini bahkan berbeda dari terbang. Benda ini kembali berdenting seiring dengan bergesernya pintu di hadapan kami. Kami keluar dari lift dan menyusuri koridor rumah sakit dengan deretan pintu berwarna coklat.

Marissa membaca setiap papan nomor yang tertempel diatas pintu di sepanjang koridor yang kami lewati. Kemudian kami berhenti di depan pintu dengan nomor 5217. "Ini ruangannya," kata Marissa pelan. Kami sama-sama melongok lewat kaca persegi yang berada di pintu. Aku melihat punggung seorang gadis berambut pirang gelap yang sangat kuyakini bahwa itu adaah Jill.

"Apa kita harus masuk?" tanyaku berbisik.

"Hubungi dia," perintah Marissa menunjuk saku celanaku. Aku mengambil ponselku dari sana dan mencari kontak Jill. Lalu aku menempelkan ponsel ke telingaku setelah menekan tombol panggilan. Tapi yang terdengar disana malah suara seorang wanita.

"Dia menonaktifkan ponselnya," kataku setelah menjauhkan ponselku dari telingaku. Aku dan Marissa kembali menatap ke dalam ruangan itu. Tapi aku terkejut saat Jill tiba-tiba menoleh ke arah kami. Dia sama terkejutnya, kemudian bangkit berdiri dan berjalan untuk membuka pintu di hadapan kami. Jill langsung berhambur memelukku.

"Jill, kau baik-baik saja?" tanyaku khawatir.

Kudengar isakannya. Dia menangis dengan suara teredam. "Maaf aku tidak memberitahu kalian," katanya.

"Hei sudahlah. Kita sudah disini sekarang," kataku.

"Duduklah. Kau bisa menjelaskannya pelan-pelan," kata Marissa.

Jill melepas pelukanku dengan wajah yang sembab. Dia melangkah menuju bangku yang ada di dekat kami dan duduk disana, bersama aku dan Marissa. "Ibuku terkena kanker," katanya mulai bercerita. "Sebenarnya sudah lama. Dokter memvonis kalau dia hanya bertahan sampai lima bulan. Tapi ibuku bertahan sampai tiga tahun. Sekarang penyakitnya semakin parah. Para dokter disini sudah tidak bisa menyembuhkannya lagi."

Jill kembali menangis. Marissa memeluknya dan mengelus punggung Jill untuk menenangkannya. Aku melihat orang-orang yang melintas di hadapan kami. Cahayanya berbeda-beda. Ada yang redup, ada yang mulai terang kembali. Kakek di kursi roda yang baru saja melintas, cahayanya mulai redup.

Kurasakan Jill meraih kedua tanganku. "Kudengar kaum malaikat bisa melihat hidup matinya seseorang. Please, katakan padaku Lori apa yang kau lihat dari ibuku?" Jill memohon sambil menangis.

Aku membuka mulutku, hampir tidak bisa berkata apa-apa. "Aku tidak bisa, Jill," kataku berbisik. Sebenarnya bukan tidak bisa, aku hanya takut mengatakannya. Aku melihatnya dari sebuah cahaya, seperti yang kulakukan pada orang-orang yang melintas di depan kami tadi. Cahaya itu seperti sebuah lilin di dalam tubuh. Semakin redup cahayanya, berarti semakin memburuk kesehatannya.

WINGS (Book #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang