11

1.1K 146 8
                                    

Setidaknya aku telah menemukan sedikit petunjuk tentang ketiadaan kaum lelaki di desaku. Tapi aku perlu awal dari semua kejadian itu, dan sialnya aku tidak tau dimana aku bisa menemukan jawabannya. Aku terus membaca, membaca dan membaca catatan tentang kehidupan yang dijalani istri kepala sekolah. Tidak ada catatan tentang penghapusan ingatan. Mungkin karena dia tidak memerlukannya, dan fakta lainnya karena dia tinggal di luar desa malaikat bersama suaminya.

Aku memijit pelipisku. Terlalu banyak membaca membuat pandanganku sedikit buram. Hanya sedikit jawaban yang bisa kutemukan di buku harian itu. Hanya sedikit, tapi tetap ada kemajuan. Aku mengingat catatan terakhir yang ditulisnya tentang bagaimana ia harus rela meninggalkan suaminya demi menyelamatkan kaumnya yang diserang Kharites. Pengorbanan seperti itu patut dihargai. Aku juga mengingat catatannya saat tubuh Ibu Agung ditemukan sudah terbujur kaku di bawah pohon. Seseorang membunuhnya, hanya itu yang terpikirkan olehku setelah membacanya.

Jika memang tuan Edward Parker tahu tentangku, aku bisa bertanya padanya. Mungkin dia bisa menjaga rahasia dengan baik. Tapi ada kemungkinan dia takkan bisa berhenti mencariku untuk mengorek informasi lebih jauh tentang kaumku. Jadi, mana yang harus kupilih?

Seolah tau apa yang sedang kupikirkan, kulihat dari sudut mataku tuan Edward Parker berjalan menuju ke arahku. Aku menoleh dan melihatnya tersenyum padaku. Aku balas tersenyum, walau sejujurnya agak kaku. Aku hampir merasa begitu lega karena dia hanya berjalan melewatiku, tidak sampai dia berhenti di dekatku. Tepat di belakangku.

"Nona Rosevelt," panggilnya.

Aku memutar tubuhku dan menatapnya. "Ya, tuan Parker?"

Dia diam beberapa detik, merapatkan bibirnya dan menghembuskan napas. "Kalau kau butuh sesuatu, jangan sungkan-sungkan untuk bertanya padaku," katanya sebelum kembali melanjutkan berjalan.

Aku menatap punggungnya sampai ia menghilang di belokan. Yang benar saja! Bagaimana dia bisa mengatakan hal seperti itu? Dia seperti baru saja membaca pikiranku. Apakah aku benar-benar harus bertanya padanya?

Aku baru saja akan melangkah pergi saat kulihat Evan datang menghampiriku. "Aku mencarimu," katanya. "bagaimana pertemuanmu kemarin?"

Aku mengangkat kedua tangan diikuti kedua bahuku yang naik, telapak tangan ke atas, tanda bahwa aku cukup bingung, kemudian menurunkannya kembali. "Aku tak tahu harus mulai dari mana. Ini semakin rumit," kataku.

"Jadiii... dia tahu?"

"Istrinya seorang malaikat," jawabku agak santai.

Evan diam sejenak menatapku. "Apa?" tanyanya dengan nada terkejut.

"Kepala sekolah memberiku buku harian milik almarhum istrinya. Aku hanya menemukan sedikit jawaban disana. Bayi laki-laki tidak pernah diperbolehkan dibawa pulang ke tempat asal kami."

"Lalu?"

"Lalu aku tidak menemukan jawabannya sama sekali." Aku mendesah kasar dan menutupi wajah dengan kedua tanganku, mengusapnya. "Aku benar-benar bingung."

"Kau hanya perlu sedikit petunjuk lain," kata Evan. Ia lalu bersandar di dinding bebatuan koridor. "kau bisa bertanya lagi pada kepala sekolah, atau guru lain. Seperti guru sejarah―" Evan mengangkat bahu. "―siapa yang tahu?"

"Apa yang membuat mereka melarang bayi laki-laki dibawa ke desa?" tanyaku lebih mengarah ke bertanya soal pendapat.

"Menimbulkan bencana? Apapun yang dilarang pasti dapat menimbulkan sesuatu yang membahayakan," jelas Evan.

Aku tahu soal itu. Tapi apakah karena sosok lelaki dapat membahayakan kaum kami? Aku memang sudah cukup lama hidup berbaur dengan manusia, dengan kaum lelaki. Tapi bukan berarti aku mengerti sepenuhnya bagaimana sifat dari sosok lelaki itu. Selama hidupku aku hanya mengenal sifat ayahku yang lembut dan sangat menyayangiku. Kupikir dia seperti ibu, yang membedakannya hanya postur tubuhnya yang lebih besar dan tegap, serta suara baritonnya yang lebih tinggi dan besar. Sosok ayahku sangat cocok untuk jadi seorang pemimpin.

WINGS (Book #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang