03

1.3K 179 1
                                    

Aku, bersama Jill dan Marissa pergi ke kota untuk membeli keperluan sekolah, termasuk buku pelajaran. Kami memasuki toko buku bernama Gil's. Di dunia sihir, hanya toko ini yang menyediakan buku pelajaran sekolah Wolfenstein. Di dalam sangat ramai. Paling banyak adalah murid Wolfenstein yang memang sedang membeli buku pelajaran. Kulihat Jill mengeluarkan catatan kecil dari saku jaketnya. "Oke. Pertama kita akan mencari buku pemeliharaan," katanya seraya membaca tulisan di kertas kecil tersebut.

"Pemeliharaan apa?" tanya Marissa.

"Entahlah. Sebaiknya kita tanya pada pemilik toko ini," katanya. Jill menuju pemilik toko yang sudah berumur sekitar enam puluh tahunan. Pria itu berdiri dibalik meja panjang melayani para pembelinya. "Permisi tuan. Bisakah kau beritahu dimana kami bisa menemukan buku pemeliharaan untuk murid Wolfenstein?" tanyanya.

Pria itu menatap kami bergantian dibalik kacamata bundarnya. "Buku pemeliharaan berbeda-beda untuk setiap kelasnya nona-nona. Buku kelas mana yang kalian cari?"

"Kelas Artemis dan Poseidon," kata Jill.

"Dan Hades."

Kami bertiga menoleh ke sumber suara yang datang tiba-tiba di samping kami. Dua laki-laki. Yang berambut coklat menatapku. Ekspresinya seperti terkejut, tapi sekaligus senang. Dia menunjukku. "Kau yang bernama Lori..."

"Lori Rosevelt," kataku menyelesaikan kalimatnya. Karena aku yakin dia pasti lupa nama belakangku.

"Ya. Lori Rosevelt," ulangnya. "Aku Paul Sanders. Ini temanku Evan James. Kami dari kelas Hades," katanya memperkenalkan diri.

"Ya. Kau sudah bilang tadi," kata Marissa dingin.

Paul menunjukku, atau mungkin lebih tepatnya menunjuk mataku. Sebelah alisnya terangkat. "Apa itu lensa kontak?" tanyanya. Jelas-jelas pertanyaan ini merujuk pada warna mataku.

"Kalau kau sendiri juga punya warna mata kuning, kenapa masih bertanya?" tanyaku. Warna mata itu jelas sekali bahwa dia vampir; itu juga terlihat dari kulitnya yang lebih pucat dari Evan.

"Aku tidak akan bertanya padamu kalau warna mata kita sama. Tidak. Itu berbeda, sungguh. Kau belum menjawab pertanyaanku."

Aku diam sejenak. Disaat itu juga aku sempat melirik Marissa. Dia sibuk membuka-buka halaman buku yang baru dia terima dari tuan Gilbert, pemilik toko ini. "Ya. Ini lensa kontak," kataku akhirnya.

"Oh," ucapnya. Aku menangkap sedikit ekspresi kecewa dari wajahnya. "Lensa yang keren. Kau terlihat cantik dengan lensa kontak itu."

"Apa kau mencoba merayu?" tanyaku.

"Tidak. Aku berkata jujur. Kau tau aku pernah melihat warna mata seperti lensa kontakmu itu di suatu tempat. Para malaikat."

Aku mematung. Ternyata Paul pernah melihat sosok kami. "Dimana kau melihatnya?" aku bertanya dengan nada setenang mungkin agar dia tidak merasa curiga padaku.

Paul mengedikkan bahu. "Aku tidak terlalu ingat dimana tempatnya. Seperti desa kecil."

Tuan Gilbert menyerahkan buku-buku yang dipesan Paul kepadanya, juga Evan. "Malaikat memang pernah ada, sebelum mereka dimusnahkan," kata tuan Gilbert.

Kata 'dimusnahkan' terdengar agak kejam di telingaku. Tapi memang itulah kenyataannya. Tidak ada yang tau bahwa hanya aku satu-satunya malaikat yang tersisa.

"Lupakan soal mereka karena kau tidak akan pernah menemukan salah satu dari mereka," kata Marissa sambil menyerahkan empat buku yang cukup tebal dari tuan Gilbert kepadaku. Cara bicara Marissa menunjukkan dengan jelas bahwa ia tidak ingin obrolan tentang malaikat semakin panjang.

"Oh ya, omong-omong sebelum kami pergi, aku mencium bau darah yang enak. Apa salah satu dari kalian manusia?" tanya Paul.

"Tidak. Pasti ada yang salah dengan indra penciumanmu," kata Jill.

"Yah... entahlah. Sampai bertemu lagi di Wolfenstein," pamitnya seraya melangkah keluar dari toko.

Marissa mendekat padaku dan berbisik. "Kau harus lebih berhati-hati dengannya."

"Aku tau," kataku.

Kami kembali ke asrama setelah mendapatkan semua yang dibutuhkan untuk keperluan sekolah. Setelah aku menceritakan semuanya pada Jill tentang siapa aku sebenarnya, dia menjaga kepercayaanku dengan tidak mengatakan apapun pada murid lain disini, ataupun orang-orang terdekatnya. Dia sempat tidak percaya karena aku tidak memiliki sayap. Tidak sebelum aku menunjukkan sebuah luka yang masih berbekas di punggungku. Luka yang cukup lebar. Tempat dimana sayap kebanggaanku dulu berada.

Sulit untuk dipercaya memang ketika Kharites datang secara tiba-tiba dan langsung membakar habis seluruh rumah di desa, tapi masih ada satu yang selamat. Bagi banyak kaum, Kharites cukup sulit untuk dilawan. Apalagi mereka melawan dengan kecantikan yang mereka miliki, membuat musuh―terutama kaum pria― jatuh dalam pesona mereka.

"Sepertinya Evan itu werewolf," kata Jill yang sedang tiduran diatas kasurnya sambil memperhatikan ponselnya.

"Bagaimana kau bisa berpendapat seperti itu?" tanyaku.

"Aku mencium bau anjing basah. Sungguh. Tapi tidak terlalu menyengat. Tiga hari yang lalu bulan purnama, kan? Dan dia pasti baru berubah tiga hari yang lalu. Pantas baunya masih tercium."

Aku membuka-buka halaman dari buku harian milik ibuku yang kutemukan di rumah lamaku. Hanya buku ini satu-satunya yang tersisa di dalam rumah yang sudah hancur karena ulah Kharites. Membaca beberapa kalimat tentang pengalaman pertamanya bertemu unicorn, dan perlahan mulai terserap ke dalam bacaan. "Apa katamu tadi?"

"Dia berubah jadi serigala tiga hari yang lalu. Kau sedang membaca apa?"

Aku menoleh ke arah Jill sejenak, kemudian kembali menatap buku. "Buku harian milik ibuku."

"Apa disana tidak tertulis bagaimana dia jatuh cinta pada manusia?"

Aku terlalu fokus pada bacaanku sehingga aku tidak terlalu menanggapi pertanyaan Jill. "Aku... belum sampai disitu," jawabku pelan.

Mungkin karena dia tau bahwa aku lebih mempedulikan untuk membaca buku harian ibuku daripada menanggapi setiap pertanyaannya, Jill akhirnya kembali memainkan ponselnya sambil tiduran. "Aku masih tidak mengerti," katanya masih sambil memainkan ponselnya. "kenapa kalian menyembunyikan diri kalau kalian bukan makhluk jahat? Apa dunia luar terlalu membahayakan? Kalian punya sihir yang cukup kuat, kan?"

Deretan pertanyaan itu membuatku berhenti membaca. Selama ini orangtuaku selalu memberitahuku bahwa aku tidak boleh keluar dari desa atau terlihat di hadapan makhluk lain kecuali ketika ada urusan. Tapi saat itu aku masih kecil dan tidak terlalu memikirkan perkataan kedua orangtuaku. Pertanyaan Jill seolah membuka pikiranku lebar-lebar. Dan aku kembali mengulang pertanyaan itu pada diriku sendiri.

Kenapa kaum kami menyembunyikan diri?






author langsung upload dua chapter karena:

1. chapter 2 sedikit.

2. author merasa memiliki tanggung jawab terhadap para readers, karena kalau chapternya sedikit pasti serasa nggantung dan gak sabar nunggu lanjutannya. ya kan...

3. author sih suka upload semau author. kalau udah selesai ditulis ya langsung upload. gak perlu nunggu komentar atau vote. jadi kalau ada yang tanya update ceritanya hari apa aja, jawabannya harinya gak ada :D

WINGS (Book #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang