Part 8

458 47 2
                                    

Sehun merasakan tubuhnya terasa sangat lemas, dengan berat ia mulai membuka matanya. Dengan kesadaran yang sudah ia dapatkan meskipun belum sepenuhnya, Sehun berusaha untuk duduk.

Pandangannya terpaku pada seseorang yang kini tengah berdiri tepat di sisi ranjangnya, menatap ke arahnya dengan ekspresi datar, sudah biasa bagi Sehun melihat itu tapi yang membuat ia terkejut adalah Luhan –sosok itu- berada di kamar ini, menunggunya, dan apakah dia juga yang mengantar Sehun ke rumah sakit? Jika iya, Sehun benar-benar merasa bahagia sekarang ini.

Bukankah ini sebuah lampu hijau, apa mungkin Tuhan sudah mengabulkan do'a nya atas perasaannya terhadap Luhan? Semoga saja. tapi sepertinya Sehun terlalu cepat menyimpulkan..

"Sudah lebih baik? Bagaimana rasanya? Rasanya tidak makan seharian? Enak?" Luhan bertanya penuh dengan penekanan tiap perkata yang ia ucapkan. Perasaan bahagia itu kembali berubah murung ketika Luhan begitu sulit untuk di taklukan. Mungkinkah Ia tak ada kesempatan sama sekali untuk menebus kesalahannya terhadap Luhan?

"Dengar, Oh Sehun! aku hargai kebaikanmu memberikanku roti tadi malam agar aku tidak kelaparan. Tapi aku juga tak suka karna dengan kebaikan yang kau berikan itu malah membuatku kerepotan." Luhan menatap sinis dan Sehun tetap bungkam, memilih mengatur perasaannya, mengatur hatinya yang kembali tergores juga tersayat atas kata-kata Luhan.

"Dengan sakit begini, kau ingin aku merasa bersalah begitu kan? Lalu kau akan memperalatku, meminta segala hal dan aku harus menurutinya dengan alasan kau sedang sakit. Kau berusaha memanfaatkan keadaan dengan taktik licikmu itu? maaf Sehun, itu sama sekali tak mempan untukku." Luhan berbalik bersiap untuk pergi namun kembali memutar tubuhnya untuk melihat ke arah Sehun yang terlihat begitu pucat.

"Kau tak perlu memberikan bantuan apapun padaku, jangan peduli padaku, karna aku tak butuh itu semua. Kau sadar atas posisimu kan? Jangan repotkan aku lagi, dan..." Luhan melempar kertas note yang sedari tadi ia remas ke arah Sehun.

"Sampai kapanpun kita tak akan pernah bisa berteman. Ingat itu!"

Sepeninggal Luhan, Airmata yang sedari berusaha ditahan oleh Sehun akhirnya bisa keluar dengan bebas juga. ia tak peduli jika dia dibilang cengeng. Rasa sakit ini begitu memaksa untuk diluapkan. Ia tak masalah sebenarnya dengan segala hinaan atau apapun bullyan yang Luhan berikan padanya. Sehun akan menerimanya.

Tapi jika Luhan menilainya seperti itu, bersikap baik demi untuk memperalat Luhan demi kepentingannya, Sungguh! tak pernah sedikit pun pemikiran itu terlintas dalam otak Sehun. Ia membantu Luhan tulus, ia tak mau orang yang ia cintai kelaparan, kedinginan dan ketakutan karna gemuruh. Tapi ternyata perlakuan tulusnya itu di nilai sebagai trik licik yang ia buat dengan sengaja.

Bukan! Sungguh bukan begitu, Sehun sama sekali tidak berpikir begitu, tapi kenapa Luhan menyimpulkan demikian? ini menyakitkan!

.

.

Semenjak hari itu, hari dimana Luhan mengantar Sehun ke rumah sakit ia tak pernah melihat batang hidung Sehun di sekolah. Seperti hari-hari dimana wakil OSIS itu menghindarinya. Tapi ini berbeda, jika pada saat itu Luhan tak pernah melihat Sehun di jam pagi dan akan melihatnya kembali di jam sore ketika pulang, tapi kali ini Luhan tak melihatnya sama sekali.

Apa kata-katanya waktu itu terlalu berlebihan hingga membuat Sehun tak masuk hingga berhari-hari begini?

Hey! Luhan kenapa jadi memikirkan si albino itu. dan kenapa pula kau merasa itu berlebihan bukankah sudah sewajarnya kau mengatakan demikian. ingat! Dia hanya memanfaatkanmu, itu bentuk pembalasan dendamnya padamu. Kau tahu kan dia itu pria yang licik.

ImpactTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang