13 - BROTHER [2]

78 4 1
                                    

Murid-murid kelas sebelas IPS A baru saja beranjak meninggalkan lapangan setelah mengikuti pelajaran olah raga. Sebagian dari mereka menyempat diri ke kantin untuk membeli air minum dan makanan sebelum bel pergantian pelajaran berbunyi, sebagian lainnya memilih menuju kelas untuk berganti pakaian.

"Eh! Eh! Mau ngapain lo? Hush! Hush! Ngga boleh masuk dulu! Cewek-cewek mau ganti pakaian!" seru Kia, mencegah teman-teman laki-laki di kelasnya masuk karena teman-teman perempuannya bersiap mengganti pakaian.

"Gue mau ngambil duit, mau ngantin!" kilah seorang teman laki-laki Kia.

"Ntar aja! Sana! Gue mau nutup pintu!" bentaknya. "Sigit! Sigit! Lo jagain di luar, ya?" teriaknya begitu melihat Sigit berjalan di koridor, tidak jauh dari kelas.

Sigit mempercepat langkahnya menuju dari kelas. "Udah, ganti baju sana. Pintu biar gue yang jagain."

"Sigit, lo jangan mau menang sendiri dong!" Koor laki-laki di luar.

Begitu pintu tertutup rapat, begitu juga kain gorden yang menutupi jendela, para perempuan di dalam kelas mulai berganti baju. Ada yang naik di atas kursi untuk memasang rok, ada yang sembunyi di balik meja—termasuk meja guru—untuk melepas pakaian olah raga, juga ada yang menyudutkan diri. Di mana pun mereka berganti pakaian asalkan terhindar dari teman-teman mereka di luar yang berteriak jail.

"Waaah! Siapa tuh yang dalemannya warna merah? Gue liat looooh."

"Berisik lo semua!" Hana, salah satu siswi tergalak di kelas sebelas IPS A selain Kia, berteriak.

"Han, tadi gue liat punya lo. Warna biru ada renda-rendanya!"

Gelak yang membahana terdengar di luar. Meskipun hal itu tidak benar, tetap saja berhasil membuat wajah Hana memerah.

"Hush! Kalian jangan ketawa keras-keras! Kelas sebelah lagi belajar!" Sigit memperingatkan.

"Kapan sih laki-laki di kelas kita otaknya jadi beres? Heran, deh. Kok ngeres semua?" Kia mengomel. Dia sudah selesai mengganti pakaian bagian atas, tengah memakai rok ketika ia kesal dengan tingkah sekumpulan laki-laki di luar.

"Nanti kalo udah mau ujian nasional, baru deh pada tobat semua, baru pada beres otaknya," timpal Kirani, lantas menarik celana olah raga yang sebelumnya telah ia tutupi dengan rok abu-abunya.

"Syukur-syukur kalo habis itu tobat selamanya. Kalo tobatnya pas mau ujian doang, kan sama aja bo'ong!"

Kirani hanya tertawa pelan sembari melipat pakaian olah raganya.

Sekitar sepuluh menit kemudian, pintu kelas pun dibuka oleh Kia dan Kirani yang hendak ke kantin mumpung jam pelajaran olah raga masih tersisa sepuluh menit sebelum pergantian pelajaran. Laki-laki yang berada di luar, buru-buru masuk ke kelas, gantian mengomel karena mereka harus lama menunggu dengan baju yang lengket karena keringat.

"Mau makan atau jajan aja, Ran?" tanya Kia.

"Jajan aja deh. Mepet kalo mau makan. Apalagi selanjutnya yang masuk Bu Okta. Telat sedetik aja, langsung alpa."

Kia dan Kirani berjalan bersebelahan menyusuri koridor menuju kantin. Sambil melihat suasana tiap kelas yang mereka lewati, Kia bercerita tentang kejadian yang membuatnya dimarahi oleh ibunya kemarin.

"Dan gue kesel setengah mati waktu Rayyan malah ngadu ke Mamah kalo gue yang ngabisin serealnya. Dasar bocah TK!"

"Elo juga sih, ngapain ngabisin serealnya Rayyan? Elo kan bisa beli sendiri."

"Anggap aja gue lagi balas dendam. Biasanya juga sereal gue yang diambil sama Rayyan."

Kirani mendorong pundak sahabatnya itu, tertawa pelan. "Jahat banget sih lo jadi kakak. Si Rayyan juga masih kecil kali, pake balas dendam segala."

FROM THE PAST [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang