21 - SEBUAH KEMUNGKINAN

65 6 0
                                    

Arka duduk di tepi danau di depan masjid Al-Marakas. Dia tidak sendirian. Ada Kirani di sebelahnya. Setelah berkeliling kota dengan motor hasil pinjaman dari Alvin—dengan catatan bahwa uang bensin tetap ditanggung oleh Arka, diajaknya Kirani mampir melaksanakan sholat maghrib di masjid, lalu duduk di taman sekitar danau yang berada di depan masjid.

Di tengah cahaya lampu-lampu taman, Arka masih bisa melihat wajah gadis di sebelahnya melukiskan kesedihan. Sedari tadi, Kirani lebih banyak diam, hanya berbicara ketika ditanya, itupun hanya jawaban supersingkat yang tidak lebih dari tiga kata. Sepasang mata indah milik gadis itu pun hanya menyorotkan kesenduan. Tidak ada air mata yang menetes, tetapi semua bahasa tubuh itu menyiratkan bahwa Kirani sedang sedih.

Kemarin malam, Kirani ditinggalkan oleh Kirana. Meski telah pernah melihat Kirani menangis, tetapi yang kemarin malam, untuk pertama kalinya Arka melihat kakak kelasnya itu benar-benar rapuh. Bahkan sampai detik ini. Pagi tadi saja, Kirani tidak masuk sekolah. Itu sebabnya, sore tadi Arka berangkat ke rumah Kirani untuk menghibur gadis itu. Inisiatif sendiri, tapi didukung oleh Kia. Sayang, sore tadi Kia sedang sibuk. Padahal, Arka bermaksud mengajaknya juga agar lebih ramai.

Arka menghirup oksigen sebanyak mungkin hingga kedua bahunya terangkat pelan. "Kak, Arka tau Kak Kirani masih sedih karena ditinggalin Kak Kirana, tapi Kak Kirani ngga bisa seperti ini terus."

"..."

"Kak Kirani harus nerima kenyataan kalo ..."

"Lo tau apa, Ka? Lo tau apa soal perasaan gue?" pertanyaan itu melompat dari mulut Kirani bersama isakan-isakan kecil.

Arka menghela napas pelan. "Kak Kirani lupa, ya? Arka kan pernah cerita kalo Arka sekarang kemungkinan ngga punya siapa-siapa lagi. Keluarga Arka kemungkinan sudah meninggal semua saat tabrakan beruntun sembilan tahun lalu. Arka tau rasanya gimana ditinggalin sendirian, Kak."

Dan Kirani terdiam. Pelan-pelan ia menolehkan kepalanya ke arah adik kelas di sebelahnya. Kirani menyadari ucapan Arka benar. Arka tahu, Arka jauh lebih tahu bagaimana rasanya ditinggalkan sendirian.

"Kak ...," Arka bersuara lirih, "Kak Kirani harus bertahan hidup. Bukan ngga mungkin kalo suatu hari nanti Kak Kirani bisa bertemu Kak Kirana lagi, 'kan? Siapa tau ... besok, lusa ... Kak Kirana menelepon Kak Kirani dengan nomor barunya. Iya, kan, Kak?"

"..."

"Tenang aja. Kak Kirani punya Kak Kia kok yang pasti bakal bantuin. Arka juga bakal bantuin kok kalo Kak Kirani butuh bantuan Arka."

Tidak sedetik pun Kirani mengalihkan pandangannya dari Arka. Pandangannya fokus pada sepasang mata pemuda itu. Seiring telinganya mendengar setiap perkataan Arka, mata Kirani mencoba mencari kebohongan di balik manic mata yang juga fokus menatapnya. Hingga Arka menyelesaikan ucapannya, Kirani menemukan satu hal di sana, di mata Arka.

Ketulusan.

"Lo ... ngga bohong, 'kan?" Kalimat itu keluar dengan lembutnya dari mulut Kirani.

Seulas sabit yang indah, lebih indah dari sabit yang menghias cakrawala gelap di atas sana, terukir di wajah Arka. "Iyalah, Kak. Masa Arka cuma main-main, sih? Ini serius, lho."

Kirani mengangguk.

Tidak lama, Arka bangkit dari duduknya. Dijulurkan tangan kanannya ke arah Kirani untuk membantu gadis itu berdiri. "Makan, yuk, Kak. Laper. Kak Kirani pasti udah laper juga, 'kan?"

Untuk kedua kalinya, gadis berambut panjang itu mengangguk. Disambutnya tangan Arka untuk berdiri. Dia tersenyum, hendak berkata "makasih, ya, Ka", tapi tahu-tahu ... tubuhnya limbung.

Kirani pingsan.

"Kak! Kak Kirani, ngga pa-pa?" Arka panik. Sangat panik karena kali ini dia sendirian, berbeda saat ia menemukan Kia pingsan di mall dahulu.

FROM THE PAST [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang