33 - SETELAH SEMBILAN TAHUN

92 9 2
                                    

"Kok pulangnya cepet, Ka? Kemarin-kemarin sampe habis asar. Ujian semester kan udah selesai. Ngapain buru-buru?"

"Ada urusan di rumah, Kak."

"Oh, ya, udah. Hati-hati, ya."

"Iya. Kak Kia, duluan, ya."

Setelah melihat Kia mengangguk, Arka lekas meninggalkan kamar Kia. Pagi tadi, sebelum berangkat sekolah, Lilis memberi tahu Arka agar lekas pulang. Sore ini, Arka harus bertemu dengan orang penting.

Arka baru tiba di rumah. Begitu ia masuk, rumah tampak sepi. Adik-adiknya mungkin sedang tidur. Namun, Lilis dan Ayu tidak terlihat di depan televisi. Biasanya, siang-siang begini, Lilis dan Ayu sedang menonton FTV religi di televisi atau sekadar berbaring di depan televisi.

Pintu depan hanya ditutup, tidak dikunci. Ibu dan Tante Ayu mungkin sedang ada di dapur. Arka meletakkan tasnya di salah satu sofa ruang tamu, beranjak menuju dapur, sekadar memberi tahu ibunya, dia sudah pulang. Ucapan salamnya saat masuk tadi tidak dijawab oleh siapa pun.

Namun, saat Arka melewati kamar Lilis, ia mendengar suara tersedu-sedu dari sana. Tidak hanya suara Lilis, tapi juga suara Ayu. Arka mengenali suara sedu-sedu itu adalah suara Ibunya, sedangkan Ayu terdengar berusaha menghibur Lilis.

"Sudahlah, Mbak. Tidak usah ditangisi. Harusnya, Mbak senang, kita sudah tahu siapa keluarga Arka, Mbak."

Keluargaku?

"Iya, Mbak tau, Ayu. Tapi, bagaimana kalau Arka nanti ninggalin Mbak? Kamu tau Mbak sudah lama sama Arka. Arka udah Mbak anggap seperti anak Mbak sendiri, Yu."

"Mau gimana lagi, Mbak? Kita tidak bisa menghalangi ibu kandungnya Arka kalau dia mau mengajak Arka tinggal sama dia, Mbak."

Ibu kandung?

"Bu? Tante?" Arka menyibak kain gorden yang menutupi pintu kamar Lilis.

Mendengar suara Arka, sontak Lilis dan Ayu menoleh ke arah pintu. Arka berjalan menghampiri mereka. Anak muda itu berdiri di depan Lilis, berlutut di depan wanita itu.

"Maksud Ibu sama Tante Ayu apa?"

"Kamu dengar apa yang Tante Ayu dan Ibumu bicarakan?" Ayu bertanya.

Arka mengangguk. "Maksud Ibu dan Tante Ayu apa, Bu? Orang yang mau nemuin Arka nanti sore itu ... ibu kandung Arka? Benar begitu, Bu?" Arka menatap Lilis, menuntut sebuah jawaban.

Namun, yang ditanya hanya bisa mengeluarkan air mata, tidak mampu mengeluarka kata untuk menjawab pertanyaan Arka. Hanya saja, bagi Arka, air mata ibu angkatnya adalah bentuk jawaban lain dari "ya".

Arka menarik napas panjang. Sebisa mungkin pemuda itu menahan air mata yang mendesak keluar dari bola matanya. Dia terkejut, tentu saja. Dia senang, sudah pasti. Akan tetapi, dia juga sedih.

Arka sudah sembilan tahun hidup di panti asuhan. Dia tahu bagaimana rasanya ditinggalkan orang-orang yang dianggapnya seperti adik sendiri. Orang-orang yang sudah terlalu lama dekat, ketika akan pergi, akan menyisakan ruang kosong di dalam benaknya.

"Bu," suara Arka bergetar. "Arka janji enggak ninggalin Ibu. Arka akan tetap di sini sama Ibu dan Tante Ayu. Ibu tidak boleh nangis."

"Tapi, bagaima—"

"Bu," Arka bersuara lagi, "Ibu enggak usah khawatir. Kalau nanti Arka bertemu dengan ibu kandung Arka, kalau beliau ingin ngajak Arka tinggal di rumahnya, Arka akan nolak, Bu."

"Tapi, mereka udah lama nyariin kamu, Ka. Mereka udah lama tahu kamu di sini sama Ibu. Tapi ..., baru sekarang mereka ... mereka ..."

"Udah. Itu urusan Arka, Bu." Arka mengangkat tangannya, menyeka air mata di pipi Lilis. "Arka sayang Ibu."

FROM THE PAST [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang