Angga Panorama

287 36 3
                                    

25 Juni 2002

Pukul 09.17

Liburan sekolah telah tiba. Tahun ketigaku di bangku sekolah dasar mulus terlewati. Yang membanggakan, aku berhasil meraih peringkat tiga paralel untuk seluruh siswa kelas 3. Aku senang bukan kepalang. Ayah apalagi. Saking senangnya, Ayah tak bosan mempertontonkan nilai-nilai raporku pada orang-orang. Pada tetangga dan sanak keluarga. Pada anak buah dan kolega bisnisnya.

Itu sangat wajar. Sebab rata-rata nilai raporku dua tahun sebelumnya tak pernah setinggi itu. Apalagi sebelumnya Ayah tak terlalu berharap besar pada pencapaianku semester ini. Ayah langsung bersorak mengetahui namaku muncul di papan pengumuman. Bersanding dengan nama-nama langganan juara kelas, seperti Toni, Ratih, Fajar atau Hendra. Ayah memang kelewat girang. Tapi aku tak menyangka Ayah sampai berani mengumbar janji.

"Sebagai hadiahnya, Ayah akan ajak kamu liburan ke pulau Dewata."

Aku sampai terkejut mendengarnya. Bahagia sudah pasti. Tapi ada sedikit perasaan was-was juga. Masih segar di ingatanku pengalaman yang sudah-sudah. Di mataku Ayah bukan sosok yang selalu menepati janji. Kecuali janji-janjinya dengan para klien atau kolega perusahaan. Begitulah Ayah. Daripada menunda urusan bisnis, beliau lebih sering memilih mengorbankan kepercayaanku, putra semata wayangnya.

Walau begitu, aku tetap berusaha maklum. Kesibukan Ayah memang tak kenal waktu. Tidak semestinya aku mengabaikan upaya keras Ayah dalam mencukupi kebutuhanku. Ayah adalah pencari nafkah yang baik. Aku enggan menuntut lebih meski kekosongan yang ditinggalkan mendiang Ibu tujuh tahun silam tak kunjung terisi. Beberapa tahun setelah Ibu meninggal, Ayah memang sempat memaksakan diri. Berulang kali Ayah meluangkan waktu untuk pulang kantor lebih awal dan mengajakku bermain di sore hari. Tapi itu sudah lama sekali. Pada tahun-tahun berikutnya Ayah tak pernah lagi menampakkan batang hidung di sore hari.

Akan tetapi, pagi ini aku merasa telah benar-benar menaklukkan Ayah. Barusan di ruang tunggu bandara, Ayah menelpon sekretarisnya. Ayah berpesan untuk mengosongkan jadwal selama seminggu ke depan. Dua lembar tiket pesawat tujuan Pulau Dewata sudah dipesannya demi aku. Demi anak semata wayangnya.

Tak ketinggalan Ayah ternyata sengaja ingin memberikan hadiah tambahan. Besok aku akan berulangtahun. Tumben Ayah ingat hari ulang tahunku. Biasanya Ayah tidak ingat. Belakangan malah berlagak hilang ingatan. Aku sendiri tidak ingat terakhir kali Ayah merayakan hari ulang tahunku.

Tidak sabar rasanya menunggu hari keberangkatan. Semalam aku sampai tak bisa tidur nyenyak. Bukan apa-apa. Kebiasaan buruk Ayah yang sering membatalkan janji tiba-tiba telah memunculkan rasa trauma di dalam kepalaku. Jarum jam tanganku bergerak terlalu lambat. Bahkan, ketika sudah berada di dalam kabin pesawat pun, tetap saja ada perasaan gelisah yang menghantuiku.

"Selamat pagi, Bapak. Ada yang mau dipesan?" Seorang perempuan berperawakan tinggi kurus mendatangi tempat duduk kami. Wajahnya terlihat sangat ramah dan sangat bersahabat. Dari seragam batik dan rok panjang yang dikenakannya, aku langsung tahu bahwa dia adalah seorang pramugari.

Ayah tak segera menjawab. Beliau justru berpaling ke arahku. "Kamu mau minum apa?"

Sempat berpikir lumayan lama, aku menjawab. "Orange juice aja, Yah."

Aku tersenyum manja ketika telapak tangan Ayah mengusap kepalaku. Sambil menoleh ke arah pramugari, Ayah berkata, "Orang juice sama kopi krimer saja, Mbak."

Perempuan berseragam batik menuliskan sesuatu di buku kecil. "Ada lagi, Bapak?" Ayah menggeleng. "Baik. Ditunggu pesanannya, Bapak." Pramugari itu beranjak, namun...

"Oh iya, Mbak. Sama air mineral dua, ya?" Mendengar pesanan tambahan itu, pramugari mengangguk dan kembali menuliskan sesuatu di buku kecilnya.

"Baik. Ditunggu pesanannya, Bapak," Pramugari meninggalkan tempat duduk kami. Beralih menawarkan pesanan kepada penumpang lain di kursi belakang.

LEGIUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang