Andika

272 27 0
                                    

27 Oktober 2018

Pukul 09.23

Entah setan apa yang merasuki ragaku hingga mampu membuatku bertindak senekat ini. Aku benar-benar tak mengerti kekuatan macam apa yang merangsang nyaliku sampai berani-beraninya menerobos barikade polisi yang tengah berjaga-jaga di bagian belakang rumah susun ini. Padahal, saat itu aksi tembak-menembak sedang gencar-gencarnya terjadi di halaman pekarangan depan. Aku cukup beruntung karena barisan aparat bersenjata lengkap itu tak melepaskan tembakan untuk menghentikan lajuku.

Keputusanku untuk memasuki areal rumah susun lewat pintu belakang rupanya merupakan pilihan yang tepat. Aparat kepolisian saat ini lebih banyak terfokus di pekarangan depan dimana kontak senjata sedang masif terjadi. Melihat situasi itu, aku teringat cerita Rama tentang saluran pembuangan sampah di rumah susun ini yang berlokasi di dekat pintu belakang.

Masih menurut cerita Rama, selama ini saluran pembuangan itu hanya dilalui oleh petugas dinas kebersihan. Dengan kata lain, tidak banyak orang yang mengetahui akses masuk tersebut, termasuk para penghuni yang tinggal di rumah susun ini. Berbekal fakta tersebut, saluran pembuangan itu akan menjadi akses yang paling aman untuk dilalui saat ini.

Langkahku terhenti saat mendapati sebuah bak besar yang dipenuhi tumpukan sampah di ujung halaman belakang. Tepat di atas bak itu, tampak keberadaan sebuah lubang yang seukuran sumur. Tak salah lagi. Itu adalah saluran pembuangan yang dimaksud Rama.

Aku bergegas menaiki gundukan sampah. Bak raksasa yang menampung timbunan sampah itu menganga laksana mulut alligator. Langkah pertamaku langsung disambut dengan pusingan lalat-lalat yang membentuk manuver memutar meyerupai angin tornado. Seketika aroma busuk menguar tajam dan membuat bulu hidungku berkerut kecut.

Sempat terpikirkan niatan untuk mengurungkan langkahku usai mencium bau busuk sampah yang mulai mengganggu ketenteraman indera pernapasanku itu. Tetapi, kemudian, aku berpikir kembali. Saat ini situasinya sudah kepalang. Sudah tak ada lagi jalan kembali karena polisi yang berjaga di belakang gedung mungkin tidak akan memberikan kesempatan kedua untukku. Ah, diam-diam aku menyesali perbuatan sembronoku hari ini.

Sesampainya di mulut lubang pembuangan, mataku mengedar pandangan ke arah sekitar untuk mencari benda apapun yang dapat kumanfaatkan sebagai sarana untuk memanjat masuk ke dalam saluran pembuangan. Tak sampai beberapa detik, tatapanku terkunci pada sebuah benda yang menjuntai dari lubang saluran pembuangan itu, yaitu seutas tali tambang dengan ukuran diameter yang lumayan tebal.

Dengan langkah hati-hati, aku menembus pusaran lalat-lalat yang beterbangan untuk menghampiri dan memeriksa tali tambang itu. Tak mau mati konyol, aku mencoba memastikan seberapa kuat tali itu mampu mengangkat beban badanku dengan menariknya kuat-kuat. Sejujurnya ada sekelumit keraguan yang bersemayam di benakku mengenai apa yang bisa kulakukan dengan benda ini. Bahkan, aku sama sekali tak punya riwayat untuk persoalan panjat-memanjat. Tapi, apa lagi yang bisa kuandalkan selain benda ini?

Sejenak mataku terpejam. Beberapa kali aku mendengkus napas panjang untuk memantapkan diri sesaat sebelum memulai aksi yang -paling tidak menurutku- cukup berbahaya ini. Memasuki dengus napas ketiga, aku langsung mencengkeram erat tali tambang itu dengan kedua tanganku dan menariknya kuat-kuat. Perlahan-lahan, tubuhku mulai terangkat.

DANG!

Baru beberapa sentimeter saja tali tambang itu mengatrol badanku, tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara pintu besi yang terbuka dari arah atas lubang pembuangan. Kontan, aku buru-buru memelorotkan badanku kembali ke bawah. Dari arah atas, sebuah kantong plastik bekas tampak berayun-ayun di udara sebelum jatuh mendarat di tumpukan sampah tempat kakiku menginjak saat ini. Selama beberapa detik, aku memilih untuk berdiam diri menantikan apa yang akan terjadi selanjutnya.

Tiba-tiba, jantungku terkesiap. Mataku terbelalak melihat sebuah benda merah berukuran besar yang meluncur dari dalam lubang pembuangan dan hendak menimpa kepalaku. Kelabakan, aku berusaha melompat ke arah samping untuk menghindar.

BRUKKK!!!

Tumpukan sampah terburai hebat. Tubuhku yang sempat terguling beberapa kali di atas tumpukan sampah itu mencoba bangkit seketika. Sementara pusingan lalat-lalat bergerak semakin liar. Penasaran, aku mencoba mengarahkan pandangan pada titik tempat benda berwarna merah itu terjatuh. Namun lalat-lalat masih terlampau heboh membentuk pusingan tornado yang mengganggu pandang. Laksana deru air hujan yang masif menyerang kelopak mataku.

Sejurus kemudian, setelah lalat-lalat itu mulai tenang, aku memberanikan diri untuk menghampiri si benda merah. Namun, belum sempat aku menderapkan langkah pertamaku, tiba-tiba tumpukan sampah kembali terburai berantakan. Jantungku mencelus usai mendapati keberadaan sesosok wanita yang tiba-tiba menyeruak dari dalam tumpukan sampah itu.

Wanita itu berdiri menatapku dengan busana merah mencoloknya yang telah berlumur limbah kotoran. Kedua lengannya tampak menggamit tubuh seorang pria yang sedang tak sadarkan diri. Sebelah lengan pria itu terkulai ke bawah dan menampakkan kuku-kuku cakarnya yang mencuat tajam.

Sepintas aku mencoba mencermati bentuk wajah pria itu, namun belum sempat aku mengenalinya, tiba-tiba sang wanita yang membopongnya sudah melesat meninggalkan bak sampah. Dengan gerakan yang sangat sigap, kaki wanita itu menapaki dinding pagar rumah susun dan menghilang di balik dinding itu.

Rama! Pria yang berada di pelukan wanita itu adalah Rama.

Belum habis keterpanaanku, aku kembali dikejutkan dengan suara gemuruh yang sama dari arah lubang pembuangan. Seorang pria keluar dari lubang itu dan melompat dengan kecepatan di atas rata-rata mengikuti arah lari wanita yang membawa Rama keluar dari areal rumah susun.

DOR! DOR! DOR! DOR!

Usai melintasi dinding pagar, sosok misterius itu langsung disambut dengan suara berondongan senjata api.

Aku, yang terheran-heran di atas tumpukan bak sampah, terpaku menyaksikan pemandangan itu. Mulutku ternganga, antara terpukau dan sukar mempercayai kejadian yang baru saja melintas di depan mataku. Apakah aku baru saja melihat penampakan hantu? Bukankah wujudnya benar-benar nyata dan menyerupai manusia? Lantas bagaimana seorang manusia normal mampu melakukan gerakan yang menyamai kecepatan lari seekor kuda betina? Ah, mustahil.

Lalu, apa yang terjadi pada Rama? Rama? Dan wanita itu? Siapa gerangan? Semoga saja dia tidak punya niatan jahat terhadap sahabatku itu.

*****

LEGIUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang