Topan

206 23 2
                                    

24 Oktober 2018

Pukul 23.25

Belakangan ini permintaan Juragan makin aneh-aneh saja. Dari yang awalnya hanya menugaskan misi eksekusi biasa, akhir-akhir ini dia memberikanku sejumlah pekerjaan tambahan yang sangat merepotkan. Lagipula, apa yang istimewa dari sosok Rama sampai-sampai harus mendapatkan perhatian khusus sebegini rupa? Sepertinya memang ada rahasia yang sengaja disembunyikan oleh Juragan tentang tetangga sebelahku itu.

Sementara angin malam mulai kehilangan arah dan berputar membentuk pusaran, menggulung permukaan tanah. Hawa panas yang menghangatkan suasana beberapa saat yang lalu pun menghilang. Udara dingin makin menghujam sumsum tulang. Tak lama berselang, titik-titik air mulai tumpah menggenang.

"Ah! Sial! Pakai hujan segala," keluhku sembari menaikkan jaket parasit untuk menudungi kepala dan mukaku dari air hujan.

"Berhentilah mengeluh. Kadang-kadang hujan bisa jadi anugerah," timpal Teja yang menemaniku bersembunyi di atap pepohonan.

Malam ini Juragan kembali memerintahkanku untuk melakukan misi pengintaian terhadap Rama. Seperti biasa, Juragan selalu menyampaikan perintahnya lewat sepucuk pesan rahasia yang diselipkannya di atas kusen pintu kamar. Dan rupanya aku bukan satu-satunya 'prajurit' yang menerima perintah itu. Teja juga menerima pesan yang sama. Hal ini sungguh di luar kebiasaan lantaran selama ini normalnya aku selalu melakukan misi yang diperintahkan Juragan bersama dengan pasangan sejatiku, Rana.

Tanpa bermaksud memperbandingkan antara Rana dan Teja, aku sejujurnya tak terbiasa bekerjasama dengan seseorang yang bukan partner sejatiku. Sebagai salah seorang tangan kanan andalan Juragan, Teja memang memiliki keistimewaan tersendiri dibanding Rana. Selain mahir dalam hal menyamar dan berkamuflase, pria berusia 29 tahun itu dijuluki 'Si Angin Timur' oleh Juragan lantaran kelincahan dan kecepatannya dalam menjalankan misi-misi pembebasan tawanan atau narapidana khusus. Apabila Anda pernah bertanya-tanya bagaimana seorang terpidana kasus korupsi bisa bebas keluar masuk rutan untuk berwisata ria, di balik itu semua ada andil Teja yang berperan besar dalam meloloskan mereka dari penjagaan sipir penjara.

Berdasarkan kelebihan dan keistimewaannya, bisa disimpulkan bahwa di antara Teja dan aku memang memiliki perbedaan spesialisasi. Kepiawaian Teja sebagai seorang escapist jelas berbeda dengan bidangku sebagai seorang eksekutor. Sehubungan dengan misi pengintaian ini, aku justru bertanya-tanya mengapa Juragan tidak menugaskan Radit. Sebagai seorang penembak jitu, dia pasti lebih menguasai hal-hal teknis seputar pengintaian.

Ah, lebih baik aku tak banyak berkomentar. Seperti halnya Rana, Teja dan Radit, aku hanyalah seorang prajurit di garda depan. Apapun yang menjadi perintah sang komandan, aku tidak mempunyai hak untuk menggugat. Lagipula Juragan pastinya lebih memahami situasi dan kebutuhan yang ada. Bagaimanapun, kami semua, para prajurit garda depan ini adalah orang-orang terbaik pilihan Juragan yang siap bertugas manakala diperlukan.

"Ah, menurutku, hujan tetap hujan. Selalu merepotkan. Huh!" Aku mencoba menyangkal nasihat Teja yang memintaku untuk berhenti mengeluh.

"Bukankah dalam pekerjaan yang biasa kita lakukan, hujan kadang kala bisa membantu memperlancar pergerakan kita?"

"Maksudmu?"

"Bukankah hujan mampu membuat sebuah barikade pengamanan melonggar?"

Aku tertegun mencermati jawaban Teja yang diplomatis. Tak pernah kuduga sebelumnya, dia ternyata cukup mahir pula dalam merangkai kata-kata. Sayangnya, aku tipe orang yang tak ingin mengalah begitu saja. "Oke. Soal pengamanan yang melonggar, aku setuju. Tapi kalau perkara hujan ini dibilang membantu kita, aku sendiri tidak pernah merasa terbantu. Faktanya, hujan selalu mengganggu pandangan dan dapat mengurangi level kebugaran."

Tiba-tiba Teja mendengus sinis. "Berarti benar yang kudengar selama ini tentang kalian berdua."

Aku menoleh seketika ke arah lawan bicaraku itu. "Maksudmu?"

"Kalian tidak sadar? Kamu dan pasangan gay-mu itu? Akhir-akhir ini kalian sering jadi bahan gunjingan hampir semua orang di markas besar. Mereka bilang kinerja kalian banyak menurun."

Mendadak dadaku panas. "Ah, siapa yang bilang begitu? Kamu terlalu banyak menggosip. Fokus saja pada pekerjaanmu sendiri. Jangan-jangan malah kamu yang kerjanya tidak beres?"

"Kamu tidak perlu menyangkal terlalu keras layaknya orang yang kebakaran jenggot begitu. Lagipula bukan aku yang berkomentar seperti itu. Mereka yang bilang."

"Tapi kamu mengiyakan?"

"Aku tidak bilang begitu."

"Tapi nada bicaramu seakan-akan mengisyaratkan hal itu. Buktinya tadi kamu membenarkan pendapat mereka."

"Aku hanya melihat dan menyimpulkan."

"Menyimpulkan apa? Bahwa aku dan Rana tidak layak lagi diandalkan oleh Juragan? Kalau memang benar begitu, buktinya beberapa bulan terakhir permintaan klien yang ingin menggunakan jasa kami berdua justru semakin meningkat."

Teja diam menatapku. Meski sambil menyungging senyum, aku yakin kali ini dia tidak akan mampu lagi merespons argumenku yang sangat beralasan. Dia telah salah memilih lawan debat.

Lagi-lagi. Dengus sinis yang menjengkelkan itu kembali terlontar melalui indera pernapasannya. "Lalu apa tanggapanmu mengenai pendapat orang-orang bahwa kalian terlalu gegabah?"

"Gegabah? Maksudmu?"

"Kebiasan kalian membongkar rencana misi kalian di situs media sosial itu. Tidakkah kalian sadar bahwa itu beresiko tinggi?"

"Itu urusan kami berdua! Ada urusan apa kamu ikut campur?"

"Jangan salah paham. Anggap saja ini sebagai peringatan."

"Peringatan? Nyatanya selama ini kerja kami baik-baik saja. Lagipula kami tidak serta merta membocorkan rencana kami. Hanya beberapa clue kecil. Sekedar untuk bersenang-senang."

Sekali lagi Teja mendengus. Kali ini dengusannya terdengar lebih kencang. Pandangannya lantas tertuju ke arah depan. Ke arah bangunan yang menjadi fokus pengintaian kami. Mendadak, raut mukanya berubah serius.

"Sepertinya aku perlu mengingatkanmu untuk..."

"Pssstttt!" Tiba-tiba Teja menyela bicaraku dengan mengatupkan jari telunjuknya ke mulut. "Lihat itu!"

BRUUKKK!!

Belum sempat aku melihat ke arah yang ditunjuk oleh Teja, tiba-tiba aku langsung dikejutkan oleh sebuah bunyi debum yang terdengar dari balik semak-semak. Dalam sekejap, bunyi itu langsung memutus sitegang antara aku dengan Teja. Saat aku melirik kembali ke arah 'rekan semalam'-ku itu, matanya tengah menyorot ke arah semak-semak tempat bunyi debum itu berasal.

"Itu Rama!" serunya, yakin.

Secepat kilat Teja langsung melesat menuju semak-semak itu. Kontan, aku yang belum bersiap, bergerak kewalahan mengekornya. Dengan satu pijakan kaki yang tertumpu persis di halaman bangunan itu, tubuh Teja yang kurus ramping itu masuk mulus menembus dedaunan. Dan tak sampai satu detik ia muncul kembali dengan tangan merengkuh pinggang seorang laki-laki yang tak sadarkan diri. Melihatnya berubah arah secara mendadak, aku langsung memutar engkelku.

KLEK!

Sial! Kakiku keseleo.

*****

LEGIUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang