Markus Priyambodo

197 24 4
                                    

27 Oktober 2018

Pukul 00.04

"Apa rencana kita selanjutnya, Ayah?"

Usai membantu Teja merebahkan tubuh Rama di kamarnya, aku langsung menemui Ayah di lantai teratas untuk segera membicarakan langkah-langkah selanjutnya.

Tubuh orang tua laki-lakiku itu tampak semakin renta. Meski lengannya masih padat berisi, gerakannya sudah jauh melambat. Tangan dan jemarinya bergetar saat menggenggam cangkir berisi kopi yang baru saja diseduhnya. Sudah sebelas tahun aku meninggalkannya menua sendirian di tempat ini. Diam-diam, batinku menangis lantaran ditimpa rasa bersalah.

"Setelah mendengar kabar kedatanganmu ke negara ini, aku langsung memikirkan untuk segera menjalankan rencana lamaku."

"Rencana lama?"

Seulas senyum tiba-tiba mengembang di sudut bibir Ayah. "Kau selalu bertanya seperti itu, seolah-olah kau tidak pernah mengenal ayahmu."

"Yah, ini bukan saatnya untuk merahasiakan sesuatu. Mungkin aku bisa mempercayaimu. Tapi, bagaimana dengan Dr. Edward dan Raymond?"

"Raymond?" Ayah cukup terkejut mendengarku menyebut nama anak pungutnya itu. "Berarti benar kecurigaanku selama ini tentang keterlibatannya. Dasar anak nakal."

"Selama ini aku hanya ingin memastikan anak itu berada di tangan yang tepat, Yah."

"Jadi kau sudah mau mengakuinya sebagai kakak angkatmu? Jadi kalian sudah bersedia mengakhiri perselisihan masa kecil itu?"

"Kami bukan anak-anak lagi, Yah."

"Ah, jangan bilang begitu. Aku justru merindukan masa-masa ketika kalian masih kanak-kanak."

Ucapan Ayah itu tiba-tiba membuatku tersentuh. Dalam sekejap ingatanku terbawa ke masa lalu. Perselisihan antara aku dan Raymond kala itu memang seolah akan berlangsung abadi. Saat itu Ayah mendambakan figur seorang anak yang kuat dan tangguh secara fisik dan kehadiran Raymond sebagai anak adopsi di tengah-tengah keluarga kami telah memenuhi harapan Ayah. Sementara aku, yang anak kandung Ayah sendiri, justru lebih menggemari buku dan bangku sekolah.

Sikap Ayah yang sering membanding-bandingkan antara aku dengan Raymond telah membuat hubungan persaudaraan tiri di antara kami berdua memanas. Namun, kebanggaan Ayah terhadap Raymond akhirnya berujung kekecewaan setelah kakak tiriku itu menolak permintaan Ayah. Laki-laki berkulit gelap itu menolak mengikuti seleksi masuk Angkatan Darat.

Pilihan Raymond untuk menekuni bidang jurnalistik telah mematahkan harapan Ayah terhadapnya. Sebelumnya cuma dialah satu-satunya yang digadang-gadang untuk menjadi figur penerus Ayah di kancah militer. Kekecewaan itu membuat Ayah memutuskan untuk mengakhiri karir kemiliteran. Alih-alih mengikuti jejak Paman yang seorang Jenderal Besar, Ayah memilih menggantung topi baretnya untuk selama-lamanya.

"Bagaimana kabar putramu di Jerman?" lanjut Ayah usai memintaku duduk di kursi yang berhadapan dengan posisi duduknya di kursi malas. "Apa kau tidak berencana untuk memasukkannya ke Sekolah Militer?"

"Dia belum menyelesaikan sekolah formal, Yah. Lagipula aku berencana akan menyerahkan sepenuhnya keputusan itu padanya. Jaman sudah berubah, Yah. Sebagai orang tua, kita harus menghilangkan pola pikir yang konservatif."

Sembari mengayunkan kursi malas favoritnya, Ayah mendengus sinis. "Konservatif? Kuno, maksudmu?"

"Tidak mengikuti perkembangan jaman, lebih tepatnya, Yah."

Dengusnya kembali terdengar tepat setelah aku menyelesaikan kalimat terakhir. "Jaman terlalu cepat berubah. Apa yang bisa dilakukan oleh orang tua sepertiku untuk mengejar ketertinggalan?"

LEGIUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang