Markus Priyambodo

193 24 0
                                    

26 Oktober 2018

Pukul 22.42

Dering ponsel itu kembali merusak konsentrasiku. Rupanya Ayah tak kunjung menyerah untuk mencoba menghubungi ponselku. Kabar kemunculanku yang tiba-tiba sepertinya telah membuatnya kaget bukan kepalang. Sebenarnya aku patut berbangga hati lantaran di dunia ini cuma aku satu-satunya orang yang mampu membuat beliau terkejut hingga sedemikian rupa.

Di kalangan teman dan anak buahnya, selama ini Ayah memang dikenal sangat tenang dalam menanggapi segala bentuk permasalahan yang menimpanya. Hal itu bukan gara-gara kepiawaiannya dalam mengendalikan ekspresi keterkejutan, melainkan karena dia memang dikenal selalu mengetahui banyak peristiwa jauh sebelum peristiwa itu terjadi. Oleh orang-orang yang mengenalnya, beliau bahkan dijuluki paranormal.

Kali ini Ayah seperti tidak berkutik menghadapiku. Saat mendengar kabar mendadak mengenai kepulanganku dari negeri Jerman, beliau tak menunggu lama untuk langsung mencari informasi tentang keberadaanku. Aku memahami kerinduan beliau terhadapku, tetapi hal yang paling membuatnya risau tidak lain adalah kondisi keamanan di negeri ini yang tengah dalam situasi darurat.

Sementara telepon selulerku masih terus berbunyi, aku berusaha untuk tetap abai. Percuma. Kalaupun aku mengangkat panggilan itu, aku hanya akan mendengar nasihat yang sama. Ayah akan kembali menyuruhku pulang ke Jerman. Demi keselamatanku, demi anak istriku di sana, katanya. Padahal, negeri ini adalah rumahku yang sesungguhnya. Kemana lagi aku harus pulang kalau tidak ke tanah ini?

Getaran dashboard mobil yang diakibatkan oleh dering ponselku belum juga berhenti. Rupanya aku telah menganggap remeh kegigihan Ayah. Entah sudah berapa kali beliau mencoba menghubungi ponselku. Mendadak aku merasa iba terhadap orangtua laki-lakiku itu. Sebagai seorang anak, aku telah membuatnya terlampau cemas.

Aku menyerah. Kuputuskan untuk menekan tombol hijau.

"Apa lagi yang ingin Ayah bicarakan? Tekadku sudah bulat. Aku tidak akan kembali ke Jerman tanpa anak itu."

"Belasan tahun yang lalu aku telah memilihkan jalan yang terbaik untukmu, tapi kau justru mengabaikannya. Kau malah bekerjasama dengan dokter itu tanpa sepengetahuanku. Apa maumu sebenarnya?" Suara Ayah terdengar parau. Ini jelas di luar kebiasaan beliau yang memang lebih dikenal dengan seringainya yang tajam.

"Anak itu. Aku ingin mengakhiri penderitaan panjangnya."

"Anak itu bukan anakmu. Mengapa justru kau memperhatikannya jauh melebihi perhatianmu terhadap anakmu sendiri?"

"Aku telah ikut andil membuat dia mengalami nasib buruk, Ayah."

"Nasibnya tak seburuk yang kau kira. Aku sudah menuruti kemauanmu enam belas tahun yang lalu. Aku sudah menjaganya dan kini dia sudah tumbuh dewasa. Apa lagi yang kau harapkan darinya?"

"Tidak, Ayah. Itu tidak cukup. Selama ini Ayah sudah terlalu jauh melibatkannya dalam lingkaran permainan."

"Itu bukan bagian dari perjanjian kita. Kau tentu paham bahwa setiap anak yang tinggal di rumah susun ini akan menjadi kaki tanganku ketika mereka tumbuh dewasa. Jadi kalau kau bertanya siapa yang salah dalam hal ini, orang itu adalah kau. Kalau saja waktu itu kau tidak membiarkan anak itu hidup, dia tidak akan menjadi seperti ini sekarang."

Aku terdiam sejenak merenungi ucapan Ayah. "Mungkin Ayah benar. Itu kesalahanku. Oleh sebab itu, aku datang kemari untuk menebus kesalahanku itu. Ini saat yang tepat untuk membebaskan anak itu dari semua masalah ini."

"....." Selama beberapa detik speaker telepon genggamku senyap. Sepertinya Ayah tengah tertegun. Tak terdengar lagi suaranya yang parau itu.

"Sekali lagi, tekadku sudah bulat, Yah. Aku akan membawa anak itu pergi. Dengan atau tanpa persetujuan Ayah."

"Baiklah," Suara Ayah akhirnya kembali terdengar. "Kalau memang itu kemauanmu, sebagai orangtua, aku tak punya pilihan lain, selain mendukungmu."

"Maksud Ayah?"

Kali ini tempo bicara Ayah melambat. "Aku akan memastikan rencanamu bersama dengan dokter itu berjalan dengan semestinya."

Seketika senyumku mengembang. "Terima kasih, Ayah."

"Kau masih berada di sekitar rumah sakit itu?"

"Masih. Aku sedang menunggu Dr. Edward di areal parkir. Pasukan Angkatan Darat telah mengepung semua penjuru bangunan rumah sakit. Sepertinya mustahil baginya untuk meloloskan diri."

"Baik. Aku akan menghubungi Teja yang sudah berada di sana untuk membantu kalian. Sudah, itu saja. Setelah ini Jenderal Edi pasti segera menghubungiku untuk mempertanyakan apa yang terjadi malam ini."

"Ayah," Sejenak aku menahan Ayah yang hendak menutup sambungan. "Sekali lagi... Terima kasih sudah membantuku."

"Cuma itu yang bisa dilakukan seorang ayah pada anaknya. Kelak apabila cucuku sudah tumbuh dewasa, kau harus melakukan hal yang sama padanya."

Tuutt... Tuutt... Tuutt... Tuutt...

Suara Ayah tak lagi terdengar, namun gaungnya masih terasa di benakku. Akhirnya aku mampu meluluhkan kepalanya yang sekeras baja itu.

"Bagaimana selanjutnya?" Aku menoleh ke arah jok belakang. Rupanya Raymond sudah terjaga dari tidur lelapnya. Sejak tadi pria asal Timur itu mengikuti percakapanku dengan Ayah lewat sambungan telepon.

"Ayahku akan membantu kita."

"Oke. Lalu apa yang harus kulakukan?"

"Kita hanya perlu menunggu Dr. Edward di sini."

"Kita tidak bisa menunggu, Markus. Aku percaya padamu. Tapi terus terang sulit bagiku untuk mempercayai ayahmu begitu saja."

"Tidak, Raymond. Aku hafal betul nada bicaranya. Kali ini dia benar-benar serius."

Raymond agaknya masih meragukan sikap Ayah dalam situasi ini. "Aku perlu masuk ke dalam untuk memastikan semuanya."

"Kalau kau memaksa, aku tak bisa menahanmu. Tapi aku tidak menjamin keselamatanmu. Prioritas utama kita adalah anak itu, Mond. Kau jaga saja dirimu baik-baik."

"Aku mengerti. Begitu mereka berhasil lolos, kau tidak perlu menungguku."

*****

LEGIUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang