Edi Harsono

190 26 2
                                    

27 Oktober 2018

Pukul 08.00

Srup! Satu seruput kopi cap Cenderwasih telah meluncur mulus membasahi kerongkonganku. Tak ayal, aroma sedapnya langsung menguar di sepanjang indera penciumanku yang belakangan ini terlalu lelah mendengus kesal. Dalam tempo yang sangat singkat, asupan kafein yang terkandung di dalam cairan pekat itu langsung merangsang kerja syarafku yang tadinya sempat melemah.

Setelah puas mencecap rasa pahit di lidahku, aku berpaling ke arah Petrus yang sudah terbenam kembali di kursi malasnya. Sementara dua jari tangan kanannya menggamit cangkir kopi, bola matanya menghujamku dengan tatapannya yang khas itu. Alisnya yang melejit bagai perosotan seakan-akan menebarkan ancaman berbahaya.

"Bisakah kau berhenti menatapku seperti itu?" sergahku, menyikapi tatapan dingin Petrus.

"Hmmhh..." Petrus merespons dengan mendengus pelan. "Tampaknya waktu puluhan tahun yang telah kau habiskan untuk mengenalku itu tidak cukup membuatmu terbiasa dengan gayaku."

"Jangan konyol, Trus. Kalau bukan aku, siapa lagi yang betah kau pelototi begitu rupa?" ujarku, seraya kembali menuntun mulut cangkir menuju bibirku.

"Kau terlalu meremehkan kemampuan orang-orang yang pernah mengenalku. Kau pikir tidak ada satupun di antara mereka yang menikmati adu mata denganku?"

"Jangan bercanda, Trus. Kalau pun ada, mungkin orang itu sudah tak waras."

"Bahkan orang yang tak waras sekalipun tetap tidak boleh dianggap remeh, Jenderal. Vito, contohnya." Mendadak perhatianku tersita usai Petrus menyebut nama itu. "Selama ini kau terlalu yakin telah mengalahkannya. Sampai-sampai kau tidak sempat memperhitungkan apa yang terjadi saat ini."

Selama beberapa detik mataku tercenung. Ucapan Petrus memang ada benarnya. Selama ini aku terlampau jumawa. Aku tak mengira Letkol Vito masih menyimpan kesumatnya atas perlakuanku terhadapnya. Aku terlalu yakin keputusan pengasingan itu akan membuatnya jera.

"Kuakui itu kesalahan besar, Trus. Setelah membunuh atasannya, Rico, seharusnya aku juga membunuhnya."

Petrus mengambil waktu sejenak untuk tersenyum. "Dengan kekuasaan yang kau miliki saat ini, kau bisa saja membujuk institusi militer untuk mengasingkannya lagi."

"Tidak semudah itu. Orang-orang yang menduduki kursi pemerintahan saat ini sudah tak lagi sejalan dengan orang-orang lama macam kita. Demi keseimbangan posisiku di intelijen, aku harus lebih berhati-hati dalam bermanuver."

Tok! Tok! Tok!

Baru saja mulutku terkatup, tiba-tiba aku dikejutkan dengan bunyi ketukan pintu. Seketika tubuhku bangkit dari tempat duduk. Dengan hati-hati, aku melirik Petrus yang rupanya juga tak kalah terkejut dengan bunyi itu. Segera aku mengirimkan isyarat kepadanya untuk memberikan respons terhadap bunyi itu.

"Siapa?!" Suara Petrus yang lantang menembus pintu ruangan itu.

"Saya Toni. Boleh saya masuk?" ungkap suara itu.

Aku agak lega mendengar suara Toni, salah seorang ajudanku, dari arah luar pintu. "Masuk, Ton!"

Mendengar jawabanku, Toni langsung menghambur masuk. Gerakannya tampak tergopoh-gopoh. "Kabar buruk, Ndan. Saya baru mendapatkan informasi dari teman-teman. Mereka bilang pasukan Detasemen Khusus sedang menuju kemari."

"Polisi?"

"Benar, Ndan. Mereka hendak mengadakan penyerbuan besar-besaran, Ndan."

Aku terkesiap mendengar informasi yang mengejutkan itu. Bagaimana mungkin aku tidak mengetahui adanya rencana penggerebekan tersebut? Menurut prosedur yang ada, semua penyergapan, baik terhadap lokasi kediaman teroris maupun sarang gembong narkotika, harus atas rekomendasi pihak intelijen. Sepertinya memang ada sejumlah perwira tinggi yang ikut bermain peran dalam kasus ini.

LEGIUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang