Epilog

690 38 18
                                    

Bonn, Jerman, 28 Oktober 2020

Pukul 13.32

Awan mendung berarak di langit distrik Hardthöhe yang temaram. Cuaca ekstrim yang melanda pelosok negeri Jerman beberapa bulan belakangan telah membuat suasana distrik yang terhampar di ujung barat kota Bonn itu dilanda keheningan massal. Angin kencang dan hawa dingin seolah telah menjelma menjadi hantu yang ditakuti para penduduk distrik. Ketiadaan aktivitas manusia di jalan-jalan dan lorong-lorong yang mengular di sepanjang wilayah itu, telah menyulapnya menyerupai kota mati.

Di tengah-tengah kesunyian yang menguar, tepatnya di sepanjang lorong jalan yang tersembunyi di salah satu sudut kota, sesosok pria tengah melintas terburu-buru. Mantel beludru yang dikenakannya tak mampu menghindarkan tubuhnya dari serangan hawa dingin yang menyelimuti seisi kota. Tetapi, meski dengan tubuh menggigil kedinginan, pria yang bertinggi badan di bawah rata-rata penduduk asli itu, tak lantas gentar.

Memasuki separuh lorong jalan, langkah sang pria terhenti di depan sebuah bangunan rumah bertingkat dua. Dengan tergesa-gesa, ia merogoh saku mantelnya dan mengeluarkan satu set kunci yang kemudian dipilahnya satu per satu. Setelah menemukan kunci yang tepat, ia bergegas memasukkannya ke dalam lubang kunci di pintu bangunan rumah itu.

Kriiittt! Diiringi bunyi derit engsel pintu, pria itu menghambur masuk ke dalam rumah bertingkat dua. Usai merapatkan pintu, ia melepaskan mantel beludru miliknya dan menaruhnya pada pengait yang terletak di sebelah pintu.

"How was the exam, Rama?" Pria itu tampak setengah melonjak usai mendengar suara yang mengejutkannya. "Apa kamu yakin bisa lolos ujian masuk University of Bonn tahun ini?"

Sejauh mata pria itu memandang, tampak sesosok pria berusia paruh baya sedang asyik membenamkan tubuhnya di sebuah kursi malas yang bersebelahan dengan perapian. Sempat terkejut, akhirnya pria yang dipanggil dengan nama Rama itu tersenyum ke arah seseorang yang menyambutnya.

"Hopefully, yes, Mr. Nakano. Paling tidak, saya sudah melakukan persiapan yang jauh lebih matang daripada tahun sebelumnya."

Pria paruh baya yang oleh Rama dipanggil dengan nama Mr. Nakano itu tersenyum tanggung. "Segeralah ganti baju. Lalu menyusul kami ke meja makan. Sophie sudah memasak hidangan spesial untuk merayakan keberhasilanmu."

"Tidak perlu repot-repot, Mr. Nakano. Anda dan keluarga sudah banyak memberikan saya kemudahan untuk tinggal di rumah ini. Bahkan saya masih menunggak sewa kamar selama beberapa bulan. Saya merasa tidak enak kalau harus merepotkan Anda dan istri Anda."

"Sudah kubilang padamu. Kau tidak perlu memikirkan hal itu. Lagipula, kau juga sudah cukup membantu kami dengan mengurus Thomas, anak kami, saat Sophie terlampau sibuk dengan urusan dapur." Rama tampak tertunduk dengan wajah bersemu merah. "Naiklah ke kamarmu untuk mengganti pakaian. Aku tunggu di meja makan."

Mr. Nakano bergegas bangkit dari kursi malasnya dan segera mengarahkan langkahnya menuju ruang makan yang bersisian dengan dapur. Sementara, Rama menghela napas sejenak sebelum akhirnya melanjutkan langkahnya menuju kamar los lantai dua yang sudah ditempatinya sejak setahun yang lalu.

Rama tampak terkejut mendapati kondisi kamarnya yang sudah bersih dan rapi. Istri Mr. Nakano pasti sudah membereskan semua kekacauan yang melanda seisi ruangan ini sejak ditinggalkannya pagi tadi. Selama ini keluarga Nakano begitu baik terhadapnya. Setelah mengawali petualangannya di negeri Jerman dengan masa-masa sulit, Rama cukup beruntung bisa bertemu dengan Mr. Nakano, sang pemilik kamar homestay-nya yang memiliki garis keturunan Jepang itu. Beruntung juga, Mr. Nakano adalah tipikal orang Asia yang masih memegang teguh prinsip kedaerahan yang kental.

"Sesama bangsa Asia harus saling bahu-membahu untuk bertahan hidup di negara orang." Rama masih bisa mengingat dengan jelas kata-kata simpatik yang keluar dari mulut sang pemilik kamar itu pada suatu kesempatan.

Alih-alih segera menukar pakaiannya, Rama justru melangkah mendekati kaca jendela di ujung loteng. Samar-samar, telinganya mendengar celepuk rintik hujan yang turun siang ini. Perlahan cuaca berangsur menjadi muram. Pun demikian, secercah sinar matahari masih berusaha mengintip di balik gelap awan yang bergelayut.

Pria itu tak mengira langkahnya sudah sejauh ini. Seandainya negara yang menjadi tempat kelahirannya tak sedang dirundung pertikaian, tentu ia tak perlu mengulum rindu sedalam ini pada tanah airnya. Terkadang rasa cinta terhadap bangsa dan negara akan semakin membuncah justru ketika kita telah berada jauh di negeri orang.

Tanah airku. Pada waktunya nanti, aku akan pulang kembali ke pangkuanmu.

Jakarta, 21 Oktober 2016, Pukul 01.45 WIB

***SELESAI***

LEGIUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang