Tina Saraswati

212 26 0
                                    

26 Oktober 2018

Pukul 19.13

"Ruk!" Aku berseru memanggil Faruk yang tengah asyik mengelap lensa camcorder kesayangannya. Kameramen yang juga merupakan partner lamaku itu kelihatannya sedang menghabiskan waktu dengan bersantai di sebuah halte mini yang terletak di seberang gedung Komite Anti Korupsi.

Saat aku melambaikan tangan ke arahnya, matanya yang berlensa cekung itu langsung terpicing. Terpisah jarak sekian meter membuatnya butuh waktu untuk mengenali wajahku. Sambil mengemasi perlengkapan liputannya kembali, jemari tangan kirinya melakukan gerakan menyentil dan seketika itu pula puntung rokoknya melesat mulus ke dalam tong sampah yang kebetulan berada di sampingnya.

Pria berkacamata itu mulai tersenyum setelah lambaian tanganku mengencang. Dengan cergas ia menyambar seluruh peralatan liputannya untuk bergegas menghampiriku yang sudah terlebih dahulu tiba di gedung K.A.K untuk melaksanakan agenda liputan dadakan ini.

Pagi ini sebuah kabar mengejutkan tersiar di kalangan jurnalis ibukota. Budiman Rudiantoro, politikus sekaligus konglomerat yang disinyalir terlibat dalam kasus suap proyek Sport Centre, dikabarkan telah menyerahkan diri di kantor K.A.K. Padahal, status hukum politikus yang baru saja mendeklarasikan keikutsertaannya di Pemilu legislatif itu sebenarnya belum ditentukan. Bahkan pihak K.A.K. belum merilis agenda pemeriksaan terhadap dirinya secara resmi.

Menurut kabar yang beredar, Budiman terlihat di kantor K.A.K. sekitar satu jam yang lalu. Aku sempat terkejut mendengar informasi itu dari salah seorang teman jurnalis yang kebetulan berada di sekitar lokasi. Pasalnya, aku cukup mengenal tokoh yang satu itu lantaran kami berdua kerap bertemu dalam beberapa kali kesempatan. Menurut kesanku, dia adalah seorang pria yang sangat cerdas dan berdedikasi tinggi terhadap segala hal yang ditekuninya meski terkadang ia cenderung ambisius.

Dan informasi yang mengejutkanku itu me langsung menghubungi Bang Anwar, pimpinan redaksi Elang TV, untuk meminta ijin peliputan secara langsung. Sesuai dugaanku, beliau tampak terkejut melihat antusiasme seorang news anchor seperti diriku yang justru berniat untuk turun kasta menjadi reporter di lapangan. Beruntung, setelah aku menjelaskan tentang ketertarikanku terhadap kasus ini, beliau cukup mafhum. Agaknya keterkejutan yang sama juga dialami oleh Faruk usai mendapati keberadaanku di tempat ini.

"Kamu ngapain di sini?" tuturnya, keheranan.

"Ya meliput lah. Mau ngapain lagi?"

"Memangnya nggak ada reporter lain? Cindy? Kalsum? Sintha? Memangnya mereka semua lagi sibuk?"

"Enggak, sih. Aku sendiri yang meminta ijin ke Bang Anwar untuk turun langsung ke lokasi."

Seraya men-setting peralatan liputan yang dibawanya, Faruk yang tampak masih kebingungan terus memandangi mukaku. "Aneh banget."

"Aneh bagaimana?"

"Kamu itu sudah enak-enak kerja di studio yang adem ber-AC, kok sekarang malah mau panas-panasan di sini. Kangen masa lalu?"

"Iya, nih. Aku kangen liputan bareng kamu, Ruk."

"Jiaahh... Gombal!"

Tak butuh waktu lama bagi Faruk itu untuk menyelesaikan settingan kamera recorder-nya. Dalam beberapa detik ia sudah siap menenteng kamera itu lengkap dengan perangkat tripod-nya. Dengan wajah yang masih tampak keheranan, ia mengangsurkan sebatang microphone ke arahku.

"Hari ini siapa yang ketangkap korupsi?" tanyanya, polos.

"Emangnya kamu belum dengar?"

Mendengar ucapanku yang justru membalikkan pertanyaannya, Faruk tampaknya agak kesal. "Kalau aku sudah dengar, ngapain aku tanya kamu, Den Ayu?"

Aku tertawa kecil melirik ekspresi gemasnya yang khas. Rasanya sudah terlalu lama aku tidak pernah lagi menyaksikan mimik mukanya yang komikal itu. Sudah tiga tahun berselang sejak aku naik pangkat menjadi news anchor. Seolah-olah hari ini aku sedang bernostalgia mengenang masa-masa awal karirku di bidang penyiaran.

"Sudah siap? Dimana kita bisa mulai?"

Sambil bergumam kecil, Faruk memandang ke arah sekeliling halaman gedung K.A.K.

"Umm... Di situ saja," jawabnya, sembari mengarahkan telunjuknya ke depan lobi gedung. Halaman depan gedung ini memang memiliki selasar yang sangat luas yang biasanya menjadi titik lokasi terfavorit bagi para awak media untuk melaporkan liputan.

Aku lantas bergerak menghampiri titik lokasi itu. Faruk yang masih saja tertegun dengan keberadaanku di tempat ini, mengikutiku dari arah belakang. Sesekali matanya mengedar pandangan ke arah bangunan gedung, mencari keberadaan tokoh politik atau pengusaha yang tampak familier baginya. Tampaknya dia masih penasaran dengan sosok yang menjadi sorotan berita kali ini.

"Di sini?" Aku kembali memastikan titik lokasi yang ditunjuk Faruk.

"Ya. Stop di situ!" pungkasnya, seraya mengaba-aba. Berikutnya, sesuai dengan prosedur liputan live, rekanku itu segera mengatur sambungan langsung ke studio ElangTV dengan menggunakan seperangkat alat pemancar.

"Gimana? Sudah tersambung?"

"Sebentar lagi. Masih commercial break katanya. Lima menit lagi."

Sejenak Faruk mengambil waktu menarik kedua tangannya yang sejak tadi sibuk menyusun setup kameranya. Kini ia berdiri berkacak pinggang. Tatapannya kembali menerawang curiga ke arahku dan membuatku agak salah tingkah.

"Kenapa, sih, lihat-lihat?" sergahku.

"Enggak apa-apa. Cuma heran aja. Kira-kira apa yang membuatmu nekad turun gunung?"

"Psssttt... Fokus fokus! Kita lagi kerja!"

Kegusaran Faruk memang cukup beralasan. Dia bukan tidak mengetahui kabar kedekatanku dengan pria yang menjadi tajuk liputan hari ini. Dia pasti sudah mendengarnya dari rekan-rekan yang lain. Aku cuma merasa tidak nyaman membahas hal itu dengannya.

"Tin! Tin!" Mendadak Faruk memanggilku setengah berbisik. Air muka kameramen-ku itu seketika berubah. Pandangan matanya kini tertuju ke salah satu sudut bangunan gedung K.A.K.

"Apa lagi?"

"Lihat tuh!" bisiknya lagi, sambil mengarahkan telunjuknya ke lantai atas bangunan.

Penasaran, aku pun langsung merespons dengan menoleh ke arah yang ditunjuknya. "Ada apa sih, Ruk?"

"Lantai lima!"

Seketika bola mataku berhenti berputar dan mengunci pandangan ke arah sebuah benda berwarna gelap yang bergerak-gerak. Mataku menyipit menyaksikan pemandangan itu. Benda hitam itu menyerupai sesosok tubuh manusia yang merayap lincah di permukaan dinding bangunan. Dalam sekejap, sosok itu menyelinap masuk ke dalam salah satu ruangan melalui kaca jendela.

Sejenak aku dan Faruk saling memandang dengan mulut ternganga. Selama beberapa detik kami berdua berdiri mematung di posisi masing-masing. Aku mengetahui apa yang ada di dalam benak rekanku itu pasti sama persis dengan yang kupikirkan. Kepala kami sama-sama dihinggapi pertanyaan besar.

"Ruk, kamu masih percaya kabar angin seputar agen pembunuh bayaran itu?"

"Ya. Dan kamu tahu semua ruangan di lantai lima gedung ini digunakan untuk apa?" Faruk kembali berbisik dengan wajah yang diliputi ketegangan.

"Ruang pemeriksaan?" jawabku, tak kalah tegang.

"Siapa tokoh yang tertangkap K.A.K hari ini, Tin?"

"Budiman Rudiantoro. Sore ini si buaya darat itu menyerahkan diri."

Faruk menoleh kembali ke titik dimana sosok berwarna gelap itu melenggang memasuki bangunan gedung K.A.K. Mendadak napasnya memacu deras.

"Apa yang akan kita lakukan sekarang?" Ia kembali melontarkan pertanyaan ke arahku.

"Aku masih menyimpan nomor Budiman. Aku harus memperingatkannya."

"Baik. Aku akan menghubungi polisi dan rekan-rekan wartawan lainnya. Informasi ini harus menyebar secara viral. Ini peluang besar untuk menangkap salah satu dari mereka dan membongkar siapa dalang di balik pembunuhan besar-besaran selama ini."

*****

LEGIUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang