Dr. Edward Schumm

199 24 0
                                    

25 Oktober 2018

Pukul 05.02

BLINK!

Speaker komputer jinjingku tiba-tiba berbunyi. Dari nadanya yang khas, bunyi itu tampaknya berasal dari aplikasi email yang biasanya memang selalu kubiarkan dalam posisi aktif. Seketika tubuhku yang masih terbaring di atas ranjang usai bergumul dengan kantuk, langsung bangkit. Dengan langkah yang masih malas-malasan, aku menghampiri layar komputer jinjing yang berada di atas meja kerjaku.

Satu pesan rupanya baru saja diterima akun email pribadiku. Telunjukku pun langsung bergerak menggeser perangkat touch mouse yang sudah tersambung pada komputer jinjing. Segera aku memeriksa folder kotak masuk di aplikasi email milikku. Sebuah surel dari Mr. Hinkel.

"It's the time. Within a month, the boy must be ready for the trip."

Tubuhku mendadak lesu usai membaca pesan surel itu. Si pirang itu pasti bercanda. Aku tidak mungkin mempersiapkan segalanya dalam waktu sesingkat itu. Sebulan tentu saja bukanlah waktu yang lama. Kupikir dia dan rekan-rekannya di parlemen masih akan memberikan tenggat waktu terkait proyek 'Legiun' yang belakangan sudah tidak lagi berjalan sesuai fungsi.

Kondisi Objek saat ini sudah mengalami eksploitasi besar-besaran hingga melenceng dari tujuan yang sebenarnya. Pihak intelijen negeri ini telah menyulap proyek ini menjadi peluang bisnis dengan memanfaatkan Objek sebagai senjata pembunuh rahasia. Objek saat ini sudah bertransformasi menjadi mesin uang bagi kalangan tertentu. Kondisi ini sebenarnya sudah berada di luar kendali, namun aku tidak mampu berbuat banyak.

Posisiku di negara ini tak cukup kuat untuk menghalangi oknum-oknum intelijen itu berbuat macam-macam terhadap Objek. Kekuasaan mereka terlalu absolut. Jangankan aku yang orang asing. Aparat hukum negeri ini saja seolah tak punya taji untuk mencegah maraknya praktik bisnis pembunuh pesanan. Sementara semakin banyak korban berjatuhan, rakyat sipil justru semakin asyik dengan kisah-kisah rekaan yang banyak dihubungkan dengan peristiwa kematian beberapa orang penting.

Bisnis pembunuh bayaran yang digagas oknum intelijen itu telah membuat kondisi dan situasi di kota ini makin kacau balau. Bisnis itu telah memicu berlangsungnya peperangan yang tak kasat mata. Peperangan yang tak melibatkan mesiu atau bunyi desing pedang. Aksi saling balas dendam terjadi di kalangan elit politik dan pengusaha. Setiap darah yang tertumpah memunculkan pertumpahan darah yang baru. Dan para oknum badan intelijen itu tak berada di pihak mana pun. Mereka justru semakin bangga menyandang predikat makelar kematian.

Tuuut... Tuuuuutt...

Aku merapatkan pelantang suara ponselku ke telinga usai memilih sebuah nomor kontak dari buku telepon. Sudah sejak sebulan yang lalu aku mencoba menghubungi nomor kontak itu, namun tak pernah terjawab. Jenderal satu ini memang tidak tahu berterima kasih. Bertahun-tahun aku dengan sukarela meminjamkan hasil karyaku tanpa pungutan biaya, tetapi ketika aku hendak memintanya kembali, orang ini justru menghilang bak ditelan bumi.

"Halo..." Syukurlah kali ini panggilanku ke nomor ponselnya tersambung.

"Jenderal Edi? Saya Edward. Anda kemana saja belakangan ini? Susah sekali menghubungi Anda," keluhku, dengan perasaan setengah lega usai mendengar suara sang Jenderal.

"Ooh, Dr. Edward. Maaf, Dok. Akhir-akhir ini saya banyak pekerjaan. Waktu saya banyak tersita untuk mengurusi kepentingan negara," kilah Jenderal Edi melalui sambungan telepon. "Gimana, Dok? Ada yang bisa saya bantu?"

"Jenderal, saya ingin berbicara tentang satu hal yang sangat mendesak."

"Penting? Soal apa, Dok?" Suara pria yang saat ini masih menjadi figur penting di tubuh badan intelijen negara itu mendadak berubah serius.

"Ini tentang Angga."

Sejenak Jenderal Edi terdiam di ujung telepon. "Angga?"

"Benar, Jenderal. Dalam kurun waktu sebulan ini badan intelijen pemerintah Jerman telah menghubungi saya sebanyak tiga kali. Mereka memerintahkan saya untuk segera mempersiapkan Angga. Mereka bilang, sebuah misi rahasia sudah lama menunggunya." Lagi-lagi Jenderal Edi terdiam. Seolah-olah mulutnya terkatup selepas menyimak penjelasanku. "Halo? Jenderal? Anda masih bisa mendengar suara saya?"

Tidak ada jawaban. Mulut komandan militer senior itu rupanya masih tertutup rapat. Mendadak aku dihantui perasaan cemas. Khawatir sang jenderal tidak menggubris permintaanku. Nominal melimpah yang berhasil diraupnya dari komersialisasi proyek 'Legiun' mungkin telah membuatnya tidak bisa merelakan kepergian Angga, hasil karya masterpiece-ku itu.

"Dr. Edward," Akhirnya suara yang kuharapkan muncul juga untuk sekedar meredakan kecemasanku. "Sebenarnya ada hal yang ingin saya konsultasikan juga pada Anda mengenai anak itu."

Mendadak kecemasan yang sempat mereda itu kembali muncul. "Memangnya ada apa dengannya, Jenderal? Apa ada sesuatu yang menimpanya?"

"Begini, Dok." Sang jenderal menghela napas panjang. "Tadi malam, untuk pertama kalinya, anak itu gagal menjalankan sebuah misi eksekusi. Seorang informan menyaksikan sendiri dia bertingkah kebingungan sebelum akhirnya meninggalkan korban yang masih dalam keadaan bernyawa."

Kali ini giliran aku yang terdiam. Kasus ini lah yang sebenarnya kutakutkan sejak lama. "Quick split phase."

"Maksud Anda, Dok?"

"Sepertinya dia mengalami pergantian identitas dalam waktu yang singkat. Pada situasi tertentu, Objek bisa saja mengalami kondisi seperti itu."

"Lantas solusinya?"

"Untuk memastikan solusinya, saya harus menemuinya langsung, Jenderal."

"Maaf sebelumnya, Dok. Tapi untuk saat ini saya masih membutuhkan dia. Ada tugas yang belum diselesaikannya. Saya mengerti dia adalah hasil investasi besar pemerintah Jerman, namun tidak dapat dimungkiri dia juga aset berharga kami. Jadi, untuk saat ini, saya belum bisa mengijinkan Anda membawanya."

"Dan Anda juga tidak mengijinkan saya untuk menemuinya?"

"Saya butuh komitmen dari Anda. Setelah Anda menyelesaikan permasalahan ini, saya harap Anda tidak langsung serta merta menjemputnya. Paling tidak, sampai dia bisa menuntaskan tugas terakhirnya."

Aku berpikir sejenak menimbang usulan sang jenderal yang saat ini telah menyandang badge bintang lima di bahunya. Aku paham benar bagaimana perangai lawan bicaraku ini karena aku telah mengenalnya selama beberapa tahun. Berbekal pengalaman yang sudah-sudah, saat ini aku tidak bisa lagi mempercayai sembarang orang, termasuk juga dirinya. "Baik, saya setuju. Dimana dia sekarang?"

*****

LEGIUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang