Diandra

220 24 0
                                    

23 Oktober 2018

Pukul 00.21

Dalam gurat lampu remang-remang, Juragan menatapku dengan seringai yang mencekam. Dari sorot matanya, dia pasti sudah mencium kedekatanku dengan Rama, salah seorang penghuni yang juga tinggal di rumah susun. Aku sadar, cepat atau lambat, orang tua itu akan segera mengetahuinya karena selama ini tidak ada satu hal pun yang luput dari perhatiannya. Aku juga sadar Juragan tidak akan menolerir segala bentuk huru-hara asmara yang, menurutnya, akan berpotensi mengganggu fokus dan konsentrasiku dalam bertugas.

Beberapa menit yang lalu, tepat pukul 12 malam, Juragan memanggilku untuk menghadap. Aku tak mampu berkutik selain mengikuti perintahnya. Selama ini aku telah berhutang separuh nyawaku pada Juragan. Semuanya bermula dari peristiwa 18 tahun silam yang membuatku sempat menderita syndrome traumatik selama bertahun-tahun. Kala itu aku yang masih berusia 8 tahun nyaris menjadi korban tindak kejahatan kaum bejat pedofil. Tidak terbayangkan bagaimana nasibku saat ini seandainya Juragan tidak muncul dan menyelamatkanku ketika itu.

Di masa-masa traumatik akibat guncangan psikologis yang berat, Juragan senantiasa merawatku seperti darah daging sendiri. Dia pula yang membesarkanku dan memberikanku penghidupan yang layak. Rumah susun ini adalah saksi bagaimana dia memberikan kasih sayang terhadapku dengan caranya sendiri. Juragan memang bukan orang yang lemah lembut dan gemar mengumbar kata-kata sayang yang memabukkan. Tetapi dari caranya memperhatikanku, itu sudah cukup mempertunjukkan sisi kemanusiaannya yang penyayang.

Tiba-tiba ada perasaan bersalah yang menyelinap. Aku telah melakukan kesalahan besar: jatuh cinta pada seorang laki-laki. Hal yang semestinya tidak pernah kulakukan dan sebisa mungkin kuhindari. Sebelumnya Juragan pernah memperingatkanku tentang ini. "Segala hal yang berhubungan dengan cinta itu sangat berbahaya, hanya akan melemahkan dan mengalahkanmu!" tegasnya kala itu. Awalnya aku cuma menganggap imbauan itu sekedar angin lalu saja. Namun belakangan ini akhirnya aku baru mempercayai kata-kata nasihat itu usai cintaku untuk Rama, laki-laki di lantai tiga itu, ternyata harus pupus tak berbalas.

Dengan muka tertunduk karena merasa bersalah, aku mendatangi kamar Juragan yang berada di lantai paling atas rumah susun ini. Tak banyak yang mengetahui kebiasaan yang dilakukan oleh Juragan saat waktu memasuki tengah malam seperti ini. Namun aku paham benar dia tidak pernah tertidur di malam hari. Senantiasa terjaga dengan sorot mata setajam belati mengawasi keadaan di sekitar rumah susun ini. Hal itu bukan sesuatu yang mengherankan apabila menilik profesinya semasa muda. Juragan Petrus adalah mantan penembak jitu andal di Angkatan Darat.

Meski dirinya telah lama gantung senapan, hal itu tak serta merta membuatnya kehilangan seluruh keistimewaannya. Dan salah satu keistimewaan yang tersisa di dalam dirinya adalah sepasang bola mata yang tak pernah berkedip itu. Walaupun tak mampu menyakiti fisik -seperti yang mampu dilakukan oleh biji peluru, kedua bola mata itu justru lebih berbahaya menyerang bagian terdalam manusia, yakni kejiwaan. Menyadari kehebatan bola mata itu, aku memilih menundukkan kepala untuk menghindari kontak mata langsung dengannya.

Diiringi degup jantung yang menggebu-gebu, aku memasuki kamar Juragan. Suasana mistis seketika menyeruak. Udara yang pengap menggelegak di seluruh sudut ruangan. Dinding-dinding berwajah muram menyambutku dengan ekspresi yang kelam. Di langit-langit ruangan, lampu bohlam bermuatan 15 watt yang menjadi satu-satunya penerangan di tempat itu, mulai meredupkan sinarnya seolah mengawasi segala gerak-gerikku. Juragan sendiri telah bersiap diri di atas kursi goyangnya yang mengayun lambat. Ayunan kursi kayu itu menimbulkan bunyi keriut yang membuat suasana menjadi semakin mencekam. Sayup-sayup terdengar tarikan napas Juragan yang mendesis pelan.

"Darimana saja kamu belakangan ini?" Kata-kata Juragan keluar terseret melalui tenggorokannya sehingga menimbulkan efek suara berbisik serak.

"Kuliah, Gan," jawabku dengan suara gemetar bergidik.

Suasana kembali senyap. Tak ada respons dari Juragan. Dia justru mengalihkan pandangannya ke arah saku celana pendek bergaris-garis yang dikenakannya. Perlahan, telapak tangannya menyelinap ke dalam saku celana itu dan mengeluarkan selembar foto polaroid.

Sesaat kemudian tangan Juragan bergerak lambat mengangsurkan selembar foto yang bergambar seorang wanita itu kepadaku. "Besok malam!" perintahnya dengan suara yang lebih jelas.

Sembari mengambil foto itu dari tangan Juragan, aku menganggukan kepala dengan muka canggung. Degup jantungku tetap tidak berubah kendati Juragan tak kunjung mengalihkan topik pembicaraan ke persoalan hubunganku dengan Rama. Sepertinya aku harus segera beranjak dari tempat itu sebelum Juragan menaruh kecurigaan terhadap ekspresi kegusaranku yang lambat laun mulai tak mampu kusembunyikan.

"Ada masalah?" Aku baru saja hendak membalikkan badan, namun niatku tertahan oleh pertanyaan yang keluar dari mulut Juragan. Apa yang kucemaskan rupanya benar-benar terjadi. Juragan mulai curiga dengan gerak-gerikku yang jelas menampakkan kegelisahan. Aku tidak berani menatapnya secara langsung. Kendati demikian, aku yakin saat ini kedua bola mata Juragan pasti tengah memindai sekujur tubuhku, menelusuri segala bentuk ekspresi dan tindak-tandukku yang mencurigakan.

"Tidak ada, Gan. Saya hanya sedang memikirkan cara yang tepat untuk menjalankan tugas ini," kilahku, seraya memaksakan diri untuk tersenyum simpul. "Kalau sudah selesai, saya mohon diri, Gan."

Juragan lagi-lagi tidak merespons. Tidak ada satu pun kata perpisahan yang melenggang dari rongga mulutnya. Sekilas aku melirik sorot matanya yang tetap menghujam ke arahku. Kelopak matanya mulai menyipit menyimpan rasa penasaran. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, aku segera bergegas meninggalkan ruangan.

Sementara dinding-dinding yang mengelilingi ruangan itu masih setia menatapku dengan raut muram. Udara pengap semakin mendesak memadati rongga dadaku dan menekan jantungku yang mulai kembang kempis. Keriut ayunan kursi goyang kembali terdengar mengiringi langkahku yang tak kunjung menggapai ambang pintu. Kali ini suaranya semakin santer laksana bunyi geraham yang saling beradu. Laksana geraman harimau yang menyeringai penuh kemurkaan.

*****

LEGIUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang