Petrus Priyambodo

216 28 0
                                    

27 Oktober 2018

Pukul 08.22

Darah dingin yang mengalir di sekujur pembuluhnya adalah senjata pemusnah yang paling mematikan. Anak itu benar-benar telah menjelma menjadi hewan pemangsa yang haus darah. Siapa sangka pemuda yang polos dan berpenampilan ringkih itu di waktu-waktu tertentu dapat berubah menjadi sosok pencabut nyawa yang tak mengenal belas kasihan?

Rama Lazuardi, itulah nama yang kusematkan untuk menggantikan identitas aslinya yang terbuang cukup lama. Anak itu memang telah beranjak dewasa. Dia bukan lagi bocah yang tempo lalu datang dengan wajah merana. Anak itu telah tumbuh dalam raga yang sempurna. Rupawan, namun bersahaja. Pun, hal itu tak membuatnya terlena pada gemerlap dunia. Karena sesungguhnya memang hanya aroma darah yang mampu memuaskan hasrat alamiahnya.

Aku tak pernah melihat kemurkaan di sorot matanya. Tetapi melihat caranya mempermainkan mangsanya begitu rupa, itu sudah cukup meluruhkan segala sangsiku selama ini. Sejumlah pemandangan mengerikan yang kusaksikan di medan peperangan seolah tak mampu menandingi kebrutalannya.

Jenderal bintang lima itu akhirnya meregang nyawa di tangan Rama. Meski jasadnya sudah terkulai lemah, pemuda itu tak melepaskannya begitu saja. Usai membongkar tulang rusuk sang jenderal, dengan membabi buta ia mencabut dan menceraiberaikan organ jantung mantan pimpinan badan intelijen itu. Tak puas sampai di situ, tangannya yang berhias mata pisau itu tak berhenti mencabik-cabik seluruh bagian tubuh sang jenderal malang hingga porak poranda.

"Sudah cukup!" sergahku, berusaha menghentikan aksi brutal Rama.

Sejenak pemuda itu menuruti kemauanku. Seketika itu juga, kesepuluh mata pisau yang melekat di jemarinya pun diam membeku. Pandangannya kini beralih. Kedua bola mata itu memutar perlahan dan akhirnya tertuju ke arahku.

"GRRRR!" Rama menggeram dengan wajah yang diliputi seringai ganas. Sayup-sayup terdengar bunyi gerahamnya yang saling beradu. Liurnya yang mengental turun mengaliri janggutnya yang berliku, lalu jatuh menetes ke dalam isi perut sang jenderal yang telah menganga lebar.

"Kau dengar aku? Sudah cukup!" Sekali lagi aku berusaha menghardiknya.

Namun, seolah tak menghiraukanku, pemuda itu bergeming. Seringainya justru semakin mencekam. Bola matanya memerah laksana api yang menyala terang. Sejurus kemudian, tubuhnya yang berlumuran darah itu mulai terangkat. Rupanya dia sudah selesai bermain-main dengan sang jenderal dan mulai mengincar calon mangsanya yang baru.

Hari ini aku telah menemukan lawan sepadan untuk menandingi sorot mataku yang konon melegenda di kalangan penghuni rumah susun ini. Bahkan sorot mata pemuda itu telah digdaya meruntuhkan nyali patriotku yang selama ini nyaris tak tersentuh oleh kekuatan macam apapun. Hanya dalam hitungan detik, wibawaku lumpuh diterpa kengerian yang tak lagi terbendung.

KRIITT!  Ujung pisau yang terikat laksana cakar pada kesepuluh jemarinya berdecit akibat beradu gores dengan permukaan lantai. Bunyi decit itu agak mengganggu indera pendengaranku yang sensitif hingga membuatku meringis kegelian. Dalam sekejap sekujur tubuhku langsung bergetar mengikuti reaksi syarafku yang menegang.

"AWAN! HENTIKAN!"

Sebuah suara lantang tiba-tiba terdengar dari arah ambang pintu. Dr. Edward, si pria bule itu rupanya telah menyusul bersama dengan Teja, Raymond dan Pri, putraku. "Awan, tugasmu di sini sudah selesai. Tugas baru telah menantimu. Kemarilah, Nak. Waktunya sudah dekat," tutur Edward pada Rama yang masih setia memelototiku.

Awan?

Rama yang telah menjelma menjadi sesosok monster itu tak menanggapi. Dia justru mengeraskan suara geramannya dengan kedua bola matanya yang masih menyala. Lalu dengan gerakan kilat, pemuda itu langsung menyasarkan ujung-ujung kukunya ke arah leherku.

LEGIUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang