Teja

195 22 0
                                    

27 Oktober 2018

Pukul 09.04

Juragan mengarahkan moncong laras senapannya keluar jendela. Tubuhnya yang renta membungkuk di sudut ruangan. Mata kanannya terpejam sementara mata yang lain terbenam di ujung teropong. Dengan mantap, ia membidik sebuah target. 1... 2... 3... DOORRR! Sebutir peluru dilesatkannya ke arah luar bangunan. Hentakan yang diakibatkan oleh lesatan peluru tak sedikitpun menggoyahkan pegangan tangannya pada gagang senapan.

Di sinilah rupanya rasa penasaran itu bermuara. Akhirnya aku berkesempatan juga melihat kepiawaian Juragan yang sebenarnya. Selama ini aku hanya bisa menyaksikan kehebatannya dalam beradu mata. Sudah lama sekali aku penasaran ingin melihatnya beraksi dalam wujud yang sesungguhnya. Yaitu sebagai penembak jitu yang handal. Tak kusangka, keinginanku itu terwujud justru di saat-saat terakhir perjumpaanku dengannya.

"Teja! Ayo!" Suara Raymond bagai salak anjing yang mengusik keterpanaanku. Sang empunya suara sendiri sudah bersiap di ambang pintu. Kedua tangannya yang kekar tampak membopong tubuh Rama yang masih tak sadarkan diri.

Sayang sekali, saat ini situasinya sangat tidak tepat. Sejujurnya aku tak ingin melewatkan momentum ini, tetapi tinggal di tempat ini sama saja bunuh diri.

"TEJA! KAU TIDAK TULI, KAN?!" Anjing itu menyalak lagi. Ah, mengganggu saja. Suara Raymond itu rupanya terlampau lantang dan membuat konsentrasi Juragan terganggu.

Sejenak Juragan mengalihkan fokusnya dan menatapku. Lagi-lagi dengan sorot matanya yang khas. "Teja, pergilah, Nak. Mereka membutuhkanmu."

Nak? Seperti itukah Juragan memanggilku barusan?

Dengan tatapan nanar, aku membalas sorot mata Juragan yang masih tetap setajam biasanya. Tapi panggilan 'Nak' itu seolah mengisyaratkan sesuatu. Bahkan, mendiang ayah kandungku tak pernah melantunkan sapaan semanis itu.

"Pergi, Teja! Bagaimanapun situasinya nanti, anak itu akan membutuhkanmu!" gertak Juragan yang kemudian membenamkan pandangannya kembali ke corong lensa senapan. Tiba-tiba ada perasaan aneh yang menggelayutiku. Ini bukan soal Juragan yang memanggilku dengan 'Nak'. Ini soal keberadaanku di tempat ini sejak bertahun-tahun silam.

Aku segera melangkah meninggalkan ruangan pribadi Juragan. Menyusul Raymond yang setia menungguku di ambang pintu. Sementara Markus, si anak kandung Juragan, tampak berusaha tegar. Dr. Edward tak berhenti meyakinkannya untuk meninggalkan tempat ini.

"Kita harus bergerak cepat menuju lorong pembuangan sampah. Sebelum polisi benar-benar mengepung tempat ini," ujar Raymond sambil mengangsurkan tubuh Rama ke arahku. Sepertinya ia cukup paham dengan reputasiku sebagai seorang escapist. Bukan hal yang sulit bagiku untuk bergerak cepat sambil membopong badan seseorang.

Suara muntahan peluru dan mortir terus menderu-deru dari arah luar gedung. Tapi itu tak menyurutkan langkah ketiga rekanku yang tersisa, yakni Markus, Raymond dan Dr. Edward. Kami menyusuri lantai per lantai untuk sesegera mungkin mencapai dasar bangunan. Namun langkah Raymond terhenti jelang melewati anak tangga di koridor lantai dua.

"Ada apa, Mond?" tanyaku.

"Ssssttt..." Wajah Raymond mendadak diliputi gusar. Matanya mengedar pandangan ke segala penjuru. "Kau dengar suara itu?" bisiknya, lirih.

Kami berempat serentak menghening. Tiba-tiba...

Srekk! Telinga kami saling sepakat. Sama-sama menangkap suara mencurigakan yang tiba-tiba terdengar dari arah koridor lantai tiga. Buktinya mata kami saling melirik satu sama lain. Dengan hati-hati, aku menyandarkan tubuh Rama di sudut dinding anak tangga.

Raymond pun tergelitik. Perlahan ia kembali menaiki anak tangga yang sebelumnya telah dilaluinya. Mata dan telinganya bersiaga memeriksa koridor lantai tiga. Penuh waspada, ibu jari kanan pria berkulit legam itu menekan pemicu senjata api yang berada dalam genggamannya. Sementara telunjuk kirinya mengirim isyarat ke arahku dan Markus untuk membentuk formasi mengepung.

Raymond mengambil alih sayap kiri anak tangga dan memintaku mengawasi sektor kanan. Sementara Markus menempatkan dirinya untuk meng-cover bagian tengah. Pelan-pelan aku menjulurkan kepala untuk mengintip situasi di koridor lantai tiga. Sunyi. Tak ada tanda-tanda kehidupan. Kami sama-sama tahu bahwa seluruh kamar yang berjajar di sepanjang koridor memang sudah kosong ditinggalkan penghuninya.

"Dok, Anda tunggu di bawah. Jaga anak itu," bisikku pada Dr. Edward yang mengekor di belakangku. Dokter itu mengangguk. Ia pun segera merapatkan jarak dengan dinding tempat tubuh Rama tersandar. Sementara aku, Raymond dan Markus telah sempurna menginjakkan kaki di koridor lantai tiga, namun tiba-tiba...

"AAKKHH!" Dr. Edward menjerit. Dr. Edward yang baru beberapa detik kutinggalkan di bawah tiba-tiba menjerit. "AAAKKHHH!" Jeritan kedua terdengar pilu.

Panik, aku, Markus dan Raymond kembali menghambur ke anak tangga. Di bawah sana, Dr. Edward mendelik. Tubuhnya sempoyongan. Sebilah trisula tahu-tahu sudah hinggap di bahu kirinya. Sang dokter tak mampu bertahan lama. Tubuhnya yang bersimbah darah pun ambruk, berguling-guling hingga ke lantai dasar. Sementara tubuh Rama tiba-tiba raib entah dimana.

Otakku segera berputar. Ulah siapa ini semua? "Rana?" ujarku, setengah berbisik.

Kuputuskan untuk bergerak cepat. Tanpa ragu, aku melompat menuju koridor lantai dua. Sebagai yang tercepat di antara yang lain, aku tak boleh buang-buang waktu. Saat ini situasinya sudah naik level ke tingkat darurat. Satu-satunya jalan keluar yang paling rasional untuk dilalui adalah lorong pembuangan. Sosok misterius yang melarikan Rama sudah pasti akan memilih jalur itu. Rana! Itu pasti Rana!

Meski pikiranku terus berkecamuk, aku tetap menggeber lajuku semaksimal mungkin. Rupanya pergulatan batin yang terjadi dalam diri masing-masing anak buah Juragan tak bisa lagi dihindari. Diam-diam aku bertanya-tanya, berada di pihak mana Rana saat ini. Apakah kematian Topan telah membuatnya memutuskan untuk berubah haluan? Lalu dimana dia saat Topan terbunuh pada peristiwa penyergapan di gedung K.A.K?

Aku tak mengerti. Kadang-kadang beberapa orang memang terlalu rumit untuk dipahami. Barangkali Rana termasuk salah satu di antaranya. Menjadi bagian dari kelompok pembunuh bayaran memang bukan pilihan hidup yang biasa. Bagiku pribadi, meski pernah terbersit keinginan untuk berhenti, nyatanya aku masih berada di sini. Aku masih setia memperjuangkan haluanku sebagai anak buah Juragan.

Tiba-tiba terbersit pemikiran aneh di dalam benakku. Selama ini aku banyak melarikan para koruptor dan kriminal keluar dari dalam jeruji besi. Jauh di lubuk hati aku menanti-nanti, suatu ketika adakah orang yang bersedia melarikanku dari pekerjaan terkutuk ini?

Oh, tidak. Penyakit plin-planku kambuh lagi.

*****

LEGIUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang