.
.
Rehan menyibak tirai jendela ruang kerjanya. Menatap jendela kamar yang berjarak dua rumah. Jendela itu terlalu tinggi dan tertutupi tirai putih tipis yang berkibar ditiup angin. Cukup menyulitkan mata Rehan yang rabun untuk melihat kedalam kamar itu. Tapi pintu beranda lantai dua rumah itu terbuka lebar, memperlihatkan dua orang yang sibuk di atas karpet.
Rehan merasa ragu. Apa dia mengambil pesanannya nanti sore saja, lagipula Rehan tidak terlalu buru-buru untuk menyusun jurnalnya. Kemarin Rehan sudah memberi kabar akan mengambil pesanannya sendiri.
Apa mungkin dia tidak membaca pesannya, batin Rehan ragu menghampiri rumah itu. Mempunyai maksud tersembunyi selain mengambil pesanannya.
Sudah seminggu lebih, jika saja dua hari lalu Rehan tidak sibuk dan menemukan buku pesanannya terhampar dimejanya saat Rehan kembali dari acara seminar. Bahkan tidak sempat bertemu yang merupakan bagian terpenting dalam hal itu.
Jika bisa dikatakan Rehan sedang kasmaran, maka itu benar. Sudah sepuluh tahun lamanya dia memendam perasaan yang hanya Rehan dan Tuhan yang tahu. Mungkin lebih lama dari itu, dia merasa tertarik pada seorang gadis cilik yang tomboi dan suka memanjat pohon mangga dekat lapangan serta larinya yang gesit dan kencang, tidak akan pernah Rehan lupakan. Membuatnya selalu kalah jika berlomba pulang ke rumah mereka.
Tanpa sadar kenangan masa kecil yang terlihat begitu sederhana menjadi sangat berharga bagi Rehan. Dulu Rehan begitu polos sampai tidak sadar sebagian masa kecil mereka dihabiskan bersama. Sampai mereka SMP, mereka tetap satu sekolah walau beda kelas, hal itu merupakan hal biasa bagi Rehan. Sampai mereka lulus dan akan masuk SMA, mereka berpisah.
Saat itu Rehan cukup terpukul dengan perpisahan yang mendadak, melampiaskan pada sekitarnya tetap tidak bisa. Hanya ada rasa rindu yang menguat tiap detiknya di sela-sela rasa kesal dan marah.
Rehan sangat terkejut dan bersyukur saat tahu mereka satu kampus. Rehan langsung menyadarinya saat penerimaan mahasiswa baru. Dia hanya melihat dari kejauhan, tangannya keringat dingin, lidahnya kelu untuk sekedar menyapa atau memanggil namanya.
Sampai setahun lamanya Rehan hanya memperhatikan dari jauh. Setiap akan berpapasan tubuhnya menegang dan kaku begitu saja. Tidak tahu bagaimana harus bersikap disaat hatinya berdebar tidak menentu. Jika saja mereka tidak sengaja bertemu di supermarket, mengantar ibu mereka belanja, mungkin sampai saat ini Rehan tidak berani menatap wajah manis dan kalem dalam balutan kerudung warna lembutnya.
Rehan menutup tirai, dia akan ke rumah itu sekarang. Kemungkinan gadis itu ada di rumahnya, sekalian saja Rehan mengajaknya jalan-jalan. Ganjaran yang pantas setelah seminggu lebih tidak bertatap muka. Rehan juga tidak boleh menunda pekerjaannya terlalu lama.
Menyambar jaket serta kunci mobilnya, Rehan menuruni tangga dengan semangat. Dia berbelok ke dapur dan mendapati Mama sibuk dengan adonan roti.
"Ma, Re keluar." Menengok adonan cokelat yang diaduk Mama, kemudian mencolek sedikit dan memasukkannya ke mulut. Tanpa bisa menghindar tepukan keras Mama. Rehan tertawa melihat pelototan Mama.
"Enak kok Ma," memeluk Mamanya sayang.
"Kamu mau keluar kemana?" Melanjutkan mengaduk adonan. Membiarkan Rehan membungkus tubuh kecil Mama serta bergelayut manja.
"Beli sesuatu sekalian ambil buku dirumah Manda." Setengah berbohong.
"Kalau gitu bilangin Ibunya Manda besok jadi arisan di rumah Bu RT."
"Siap Ma." Mencium pipi Mama sekilas dan meluncur pergi.
Rehan menjalankan mobilnya lalu berhenti didepan rumah yang menjadi tempat bermain masa kecilnya. Di garasi rumah itu terlihat mobil dan dua motor yang salah satunya tidak dikenal Rehan. Rehan memencet bel dan melihat sosok wanita paruh baya namun terlihat masih muda dibalik pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Spring Wind (Arabian Love) || TELAH TERBIT
RomansTELAH TERBIT . Amanda tidak pernah membayangkan akan dilamar oleh seseorang yang mengenalnya lewat sosial media. Azka, laki-laki keturunan Arab yang merupakan seorang GM di salah satu perusahaan properti terbesar di Amerika. Dengan dukungan orangtua...