Par t I : Love at first sight

937 53 7
                                    

Sejak TK aku nggak berani untuk kenalan lebih dahulu dengan orang lain. Aku nggak berani masuk ke lingkungan yang baru. Aku bahkan nggak bisa ngomong di depan orang banyak dan cenderung panik kalau bicara 4 mata dengan orang lain. Jadi saat pertama kali aku jadi murid SMP, aku ketakutan. Aku cuma berani duduk di pojok kelas saat MOS. Aku nggak berani bertatapan mata dengan kakak kelas apalagi kenalan dengan anak - anak lain.

Satu - satunya yang buat aku terus berangkat sekolah cuma satu, dia yang punya rambut lurus hitam tebal, bertubuh tinggi dan tasnya berwarna merah gelap.

Pertama kali aku bertemu dengannya, aku sedang berjongkok di depan kolam sekolah sambil ngangkat telor kodok yang bentuknya panjang kayak ingus dengan ranting pohon, saking nggak ada kerjaannya sore-sore selesai ospek haus, laper, capek, juga bosen nunggu kakakku yang nggak juga datang jemput.

Dia berdiri 2 meter disebelahku. Sedari tadi ia sudah berdiri disana. Kalau bukan karena waktu itu aku tidak sengaja menoleh mungkin semuanya nggak akan terjadi.

Badannya tinggi, kulitnya putih, alisnya tajam dan berhidung mancung. Ekspresi agak kaget, geli, takjub, jijik melihat telur kodok yang kuangkat dengan ekspresi wajah yang seakan berkata, 'Kamu gak jijik?'

Dia siapa? Pikirku gugup.
Dari penampilannya, aku tau dia juga anak MOS tapi aku kok nggak familiar dengan wajahnya.

Tanpa sengaja mataku melirik kotak minuman yang dia bawa. Dia bawa minuman jus dalam botol, belum dibuka, dingin dan masih baru.

Aku menelan ludah.

Anak yang ada didepanku langsung menatap botol minumannya. Aku buru buru menunduk malu. Tanpa kukira, ia tiba - tiba menyodorkan botol jusnya padaku. Aku melirik gugup botol minuman itu tapi kemudian buru-buru menunduk lagi sambil berpikir, Dia kok bisa tau aku haus? Apa aku kelihatan kehausan banget? Baik ya, dia mau ngasih minumannya ke orang yang nggak dia kenal. Tapi, masa aku minum minuman dari orang yang nggak aku kenal?

Tanpa menunggu jawabanku, si tas biru dengan wajah tanpa ekspresi meletakan botol minumnya di hadapanku sebelum berjalan pergi menuju gerbang sekolah tanpa menoleh lagi kebelakang. Entah kenapa aku tanpa sadar terus menatapnya berjalan pergi. Aku terus menatapnya sampai ia hilang di balik pintu gerbang sekolah.

Detik berikutnya, aku menggigit bibir. Wajahku merah padam. Aku gugup setengah mati. Rasa gugupnya aneh, tidak seperti rasa gugup waktu aku berdiri pidato di depan kelas. Rasa gugupnya lain.

Aku nggak bisa bilang terimakasih.

Aku nggak bisa berkata apapun.

Esoknya, aku baru sadar, ternyata si tas biru kelas MOS nya sama denganku. Padahal sebelum kejadian depan kolam itu, aku ngerasa sama sekali belum pernah melihat dia di kelas. Mungkin karena aku kebanyakan jalan sambil nunduk dan nggak berani menatap wajah orang yang mengajak ku bicara. Dikelas aku tetap gak berani ngajak ngomong dia. Selain karena aku malu, si tas merah gelap juga kelihatan pendiam.

Hari itu juga aku baru sadar, namanya Bima. Itupun aku bakalan tetap nggak tau seandainya bukan karena ada salah satu anak yang memanggil nama Bima di depanku. Enggak ada yang berubah sampai masa MOS berakhir. Aku masih nggak tau kira-kira Bima ingat tentang aku atau tidak. 

Aku tetap nggak berani nyapa Bima duluan. Aku masih juga gak berani bilang terimakasih atau seenggaknya mengganti minuman dari Bima.

Anehnya tiap ingat Bima, dari aku yang awalnya sempet berpikir untuk bolos selama MOS, tiba - tiba jadi semangat untuk masuk sekolah. Tiba - tiba aku sering ngeliatin Bima di kelas MOS. Aku baru sadar setiap kali aku sedang melihat Bima, aku nggak bisa menahan diri untuk nggak masang wajah bodoh tidak terkontrol. Gara - gara itu setiap kali aku nggak tahan untuk berwajah bodoh, aku buru buru melipat lengan ku di meja dan menyembunyikan wajahku di antara lengan karena malu.

MALIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang