Part XXI

212 24 0
                                    

"Sadar nggak sih Mal? Yang sekarang kamu lakuin udah gila."

Aku menggerutu mengakui,"Kaya'nya iya deh."

"Terus gimana?" Icha mendelik ke arahku sambil mengetuk-ngetuk dashboard mobilnya,"Udah terlanjur sampai sini. Aku udah terlanjur pinjem mobil papaku tanpa ijin. Udah terlanjur nungguin di depan gerbang rumah Bima selama setengah jam!"

"Balik aja kali' ya?" Gumamku sambil meringis.

"Lebih gila lagi! Kan aku udah bilang nyetir mobilku belum jago-jago amat. Aku nggak berani nyetir pas hujan!"

Aku melirik langit lewat jendela mobil. Sebetulnya di luar bukan cuma hujan tapi hujan angin. Deres banget sampai siang hari kaya' gini kerasa kaya' menjelang magrib.

Mati aku. Terjebak dalam mobil selama 30 menit bareng Icha yang lagi bete aja rasanya udah kaya' di neraka. Gimana kalau hujannya gak berhenti sampai 3 jam?!

"Udah sana, masuk aja ke dalam rumah Bima! Udah kadung disini juga!" Paksa Icha.

"Aku takut." Ucapku lirih.

Emosi Icha seketika itu juga meledak. Ini komplikasi antara ia dari seminggu sebelumnya sudah mati-matian nolak permohonanku untuk minta di anterin ke rumah Bima tapi aku tetep ngeyel dan karena ia tadi jemput aku ke rumah dalam keadaan belum sarapan ditambah habis terjebak macet.

Icha menyemprotku habis-habisan. Perut laper memang bikin emosinya nggak stabil. Icha bilang kan aku sendiri yang maksa dia nganterin aku ke rumah Bima buat ngasih hadiah ulangtahun. Terus sekarang, aku malah mendekam di mobil gara-gara demam panggung padahal udah buang-buang waktu satu jam nyasar kesana kemari nyariin rumah Bima bermodalkan biodata buku alumni SMP dan bla bla bla?!

Demi menghindari perang dunia ketiga dengan Icha akhirnya aku terpaksa keluar dari dalam mobil.

Aku pucat, gemetaran, jantungku bergerak dalam ritme kacau. Bajuku dan hadiah yang sudah kusiapkan baik-baik tadi malam langsung lembab karena hujan. Saking kencangnya angin aku bahkan nggak bisa betul-betul terlindung oleh payung.

Kasihan banget deh nasibku.

Lebih sial lagi, belum juga aku mencet bel tau-tau sudah ada yang membuka gerbang. Aku nggak siap.

Didepanku berdiri bapak-bapak umur 50 tahunan. Beliau sama sekali nggak mirip Bima tapi bisa aja ini papanya Bima, ya ampun.

Aku nyaris tak bisa bernafas, tak berani mengangkat muka. Sementara bapak-bapak di depanku berkata,"Adek yang daritadi di dalam mobil yang nyala di depan gerbang ya? Saya baru aja mau ngecek."

"Iya, saya mau ketemu dengan Bima pak."

"Mas Bima? Ini memang rumahnya. Ini adek temen sekolahnya mas Bima?"

Aku mengangguk canggung. Segera setelah itu aku memberi kode supaya Icha keluar dari mobil menemaniku. Aku nggak sanggup bertamu ke rumah Bima sendirian. Kalau aku pingsan gimana?

Icha ogah-ogahan turun dari mobil. Moodnya masih jelek. Segera kami mengikuti bapak-bapak barusan. Beliau mengenalkan diri sebagai pengurus rumahnya Bima sambil membukakan pintu gerbang untuk kami.

Syukurlah. Seenggaknya bukan papanya. Aku menghela nafas lega sesaat kemudian nafasku kembali macet. Apalagi alasannya kalau bukan karena arsitetur rumah Bima.

Warna cat, kayu, hiasan batu, pohon, bentuk jendela sampai bentuk garasinya membuatku melongo.

"Wow." Bisik Icha sama takjubnya denganku. Ia sama denganku baru benar-benar memperhatikan arsitektur rumah Bima sekarang. Dia sampai lupa kalau dia lagi marah.

"Sebentar ya. Bapak panggilkan mas Bima dulu." Kata bapak itu mempersilahkan kami menunggu di ruang tamu sebelum ia berjalan pergi.

Aku menelan ludah panik.

MALIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang