Part V

224 38 1
                                    

Seenggaknya dia nganggep kamu ada...

Seenggaknya Gibran nganggep aku ada sementara Bima sadar aku hidup aja, enggak ? Yang bener aja.

Aku nggak butuh perhatian, kepedulian atau keisengan atau apalahnya Gibran.

Termasuk juga aku nggak butuh rasa jengkel di siang yang tenang ini.

"Bran. Kamu belum bayar LKS Matematika sama PPKN." Tagihku dari samping meja tempat Gibran duduk.

Sunyi senyap, krik-krik. Gibran nggak nanggapi sama sekali waktu di tagih. Dia sibuk mainin bola basketnya. Gila nih anak. Mau main basket dalam kelas lagi ? Nggak cukup dia ngerusakin satu AC?

" Bran! Batas waktu pembayaran LKS itu minggu ini. Kalau nggak lunas aku yang bakal di marahin guru BP3!" Seruku.

Gibran masih cuek bebek. Grrrr.... Yakin teorinya Icha bener? Yakin ni anak nganggep aku ada?

Dengan jengkel aku merebut bola basketnya. Baru setelah itu Gibran noleh. Dia mendongak dengan tampang super nyebelin.

"Emang kamu bendahara?" Tanya Gibran.

Aku mendengus. Haloo aku udah jadi bendahara LKS hampir dua bulan dan ini anak baru sadar? Kemana aja dia?

"Ya.  Cepetan bayar." Tagihku udah mirip renternir.

Gibran  ngeluarin uang seratus ribu dari kantongnya.

"Ada uang kecil aja nggak?"
"Nggak ada."
"Kembaliannya ntar ya. Soalnya belum ada."
"Ambil aja kembaliannya." Ujarnya dengan nada belagu.
Hah? Aku melongo. Ini anak apa-apan. Dia pikir duit jatuh dari pohon?
"Nggak, nanti tetep ku kasih kembaliannya."
"Nggak denger? Ambil aja kembaliannya."
Dengan jengkel, aku memasukan uang Gibran ke buku catatanku. Ck udah bayarnya telat masih sok-sokan.
"Nggak denger kalau aku bilang nggak mau?"  Kalimat Gibran kubalik.

Alis Gibran naik satu dengan sempurna. Walaupun menjengkelkan dja memang ganteng. Tatapan Gibran sekarang super menghina sampai aku marah. Bukannya aku yang gampang marah tapi ini akumulasi dari kemarahanku selama berminggu-minggu sebelumnya.

Mulai dari Gibran dengan cueknya ninggalin aku dengan tugas kelompok (kami terpaksa satu kelompok karena anggotanya di pilih guru) bertumpuk dan dia sama sekali nggak bantu ngerjain. Tampang bosen yang dia tunjukkan terang-terangan setiap aku maju presentasi. Sikap cueknya, udah tau aku ngangkat setumpuk buku LKS malah bahuku nggak sengaja dia tabrak sampai semua LKSnya jatuh. Bukannya bantu beresin (hmph, noleh aja enggak) Gibran berlari pergi gitu aja. Aku tau dari gerak-geriknya Gibran buru-buru. Tapi buru-buru apa sih paling? Buru-buru ke kantin? Buru-buru pingin makan nasi goreng? Termasuk soal Bima itu. Gerak-gerik Gibran yang selalu bikin aku parno sendiri.

Nyesel banget deh dulu aku pernah bilang tipe cowok kesukaanku kaya' Gibran. Memang bener ternyata kalau kita nggak boleh nilai orang dari wajahnya aja.

Setelah berhasil nagih Gibran aku buru-buru ke ruang BP3 untuk setoran. Waktu melewati koridor aku tanpa sengaja melihat Bima berjalan di depanku. Wajahku langsung merah padam dan kakiku berubah jadi jelly.

Dengan bodohnya kakiku malah bergerak mengikuti Bima, bukannya belok ke arah ruang BP3, karena aku penasaran. Penasaran kenapa Bima di jam istirahat kedua begini malah ke gedung parkir. Bukannya siswa kelas 10 di larang bawa kendaraan?

Dengan gaya seperti maling, aku mengendap-endap. Mulutku nyaris ternganga waktu Bima membuka mobil entah apa berwarna hitam.

Bima bawa mobil? Bukannya Bima anak baik, taat peraturan dan sempurna? Daguku rasanya mau copot kelantai lagi waktu aku melihat siluet sekanjutnya. Siluet sangat samar dari balik jendela mobil Bima yang agak gelap.

Bima ngerokok di dalam mobil.

Apa aku mimpi?

MALIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang