Part IX

236 35 1
                                    

Aku udah berdoa semalaman suntuk supaya gimana caranya aku bisa satu kelompok kemah sama Bima, bukannya di kabulin sama tuhan malah aku di kasih satu kelompok dengan Gibran dan Anna! Grrrrrr.

Tapi, ada untungnya juga sih. Siapa tau Gibran bisa menggunakan kesempatan ini buat pdkt terang-terangan plus karena dia satu kelompok dengan Anna, Gibran yang biasanya semaunya sendiri, nyebelin, rese', berisik, gak mau ikut bantu-bantu tugas kelompok tau-tau jadi alim.

Yang mengendus keanehan Gibran bukan cuma aku, tapi semua anggota kelompok 12. Ngomong-ngomong aku belum jelasin ya? Kami kelompokan dalam acara kemah orientasi siswa. Semacam tradisi disekolahku, tiap bulan Oktober semua anak kelas sepuluh di wajibkan ikut acara kemah 2 hari 3 malam bersama kelompok yang terdiri dari sepuluh anak dari kelas yang berbeda-beda.

Kelompokku terdiri dari 7 anak cewek dan 3 cowok termasuk Gibran.

Bayangin aja, 2 sisa cowok ini bisa di bilang punya wajah di bawah standart nasional Indonesia
Otomatis yang cewek-cewek (kecuali aku dan Anna) secara insting hanya bertingkah ala bebek di depan Gibran. Capek aku liat mereka bisik-bisik, petingkah yang aneh-aneh demi pedekate ke Gibran. Sayangnya mereka nggak tau kalau Gibran naksir Anna, makanya mereka ngira sumber keanehan dan kependiam-an Gibran gara-gara Gibran nggak suka di caperin.

Beh, padahal Gibran setauku walaupun seringkali cuek bebek saat di pedekate-in dia nggak betul-betul benci di caperin. Biasa aja gitu. Nggak benci tapi juga nggak suka. Nggak kaya' Bima yang langsung masang wajah cemberut kalau di godain cewek atau kaya' Anna yang kemungkinan besar nggak pernah sadar kalau di godain cowok.

Dan... Disinilah aku diantara cewek-cewek sibuk bisik-bisik ngomongin Gibran, Anna yang saking pendiemnya sampai kukira dia nggak ada, sedang berdiri mandangin barisan pohon cemara dan Gibran yang dengan tololnya selalu memilih berdiri di belakang Anna di setiap kesempatan. Di sebuah tempat di atas gunung yang nggak pernah kudatangi. Barisan panjang barak penginapan ala tentara, lapangan besar berumput, kuda nggak jelas yang sliwar-sliwir bersama trainernya dan angin pagi gunung yang sejuk.

Aku menggunakan kesempatan ini untuk setengah balas dendam, dengan muka jahat aku berdiri di samping Anna seakan-akan aku mau membocorkan rahasia perasaan Gibran ke Anna. Bukannya takut tuh anak malah bengong-bengong aneh. Kaya' anak SD yang sarafnya copot tiap kali deketan dengan cewek yang dia sukai. 

"Hayoo lo, hayoo looo." Aku berusaha ngancam dengan suara berbisik.

Si Gibran masih juga masang wajah tolol.

Argh! Balas dendamku gagal total. Gimana mau balas dendam kalau Gibran panik aja enggak. Well, sadar aja enggak. Tu anak kayak lagi ngefly. Melayang-layang ke awan nggak jelas mikirin apa. Kadang-kadang dia nglirik Anna sedikit. Tuh anak ternyata jago juga lirik-melirik. Buktinya para penggemar di sekelilingnya masih juga nggak sadar sumber keanehan Gibran gara-gara dia canggung berdekatan sama Anna.

Aku nggak nyangka perasaan suka bisa mengubah orang yang urakan jadi alim begini. Kayak mengubah singa jadi kucing. Kaya' mengubah aku yang dulunya juga super pemalu jadi seperti sekarang.

Akhirnya aku nggak bisa lagi nahan ketawa gara-gara geli melihat kegugupan Gibran yang sebenernya udah dia tutupi setengah mati tapi gagal di mataku karena...kan aku tau.
Salahnya sendiri dia ngaku kalau naksir Anna.

Anna mengalihkan pandangannya ke arahku saat aku ketawa. Baru saat itulah Gibran melayangkan pandangan membunuh.

"Udaranya bau hujan ya." Gumam Anna nggak nyambung.

"Hah?" Cuma itu responku. Ini kalimat pertama yang di katakan oleh Anna sejak pembacaan pembagian kelompok.

Daritadi waktu kami mulai di bariskan sesuai kelompok, sementara yang lain sibuk kenalan satu sama lain, Anna cuma diam saja sambil senyum. Untung aja muka Anna lembut, seandainya mukanya nyebelin pasti dia langsung di cap judes, sombong, sok jual mahal.

"Maksudku udaranya bau air. Kayaknya mau hujan" Gumamnya dengan nada kalem.

"Oh ya?" Aku nengok keatas. Udara pagi cerah ceria. Kemudian nunduk lagi dengan tampang cengok.

"Gimana kalau tiba-tiba hujan waktu kita lagi mendaki?" Gumam Anna khawatir.

Ah ini anak terlalu banyak khawatir hal nggak penting. Jelas-jelas udaranya cerah begini kok di bilang mau hujan.

"Tenang aja. Nggak bakal." Gumamku santai," lagian kalau hujan kan tinggal berteduh. Lagian mau jalan-jalan kemana sih di gunung gini? Paling rutenya nggak jauh-jauh."

Rute yang kumaksud itu adalah rute perjalanan outbound. Jadi sehari sebelumnya (waktu kami baru sampai ke barak penginapan) pembina osis sudah jelasin kalau akan di bentuk kelompok. Setiap kelompok harus berjalan bareng keliling sekitar tempat kemah sambil datangin pos-pos penjagaan lalu di beri kuis dulu baru boleh ngelanjutin perjalanan. Persis kaya' kegiatan pramuka zaman SMP dulu.

"Iya ya?" Ucap Anna lalu perhatiannya teralih lagi ke deretan pohon cemara. Jelas dia lebih suka ngeliatin pohon di banding ngobrol dengan orang lain.

Aku melirik Gibran dengan muka sebel, gimana sih Braaan? Pikirku dalam hati, itu si Anna barusan aja buka mulut ngomongin bau hujan nggak jelas kok ya elu nggak tau-tau nyeletuk kek, nimbrung kek biar bisa ngajak ngbrol Anna?!

Pandangan sebelku di balas Gibran dengan tampang nyebelin. Ah tu anak masih bisa masang wajah nyebelin padahal kenyataannya dia pengecut dalam hal pdkt.

Cuma bisa ngeliatin diem-diem doang! Terus apa bedanya dia kaya' anak SD? Yap.... Apa bedanya dia denganku ? Aku juga cuma bisa ngeliatin Bima dari jauh.

Ternyata kami sama. Sama-sama pengecut.

MALIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang