Part X

239 34 1
                                    

Akhirnya kelompok kami di perbolehkan jalan setelah nunggu selama sepuluh menit. Bosen banget deh nunggu. Kalau kelompok 12 aja bosen nunggu apalagi kelompok 40 ya ? Bisa-bisa mereka berangkat 2 jam lagi.

Aku melirik jamku, pukul 8.45,  kemudian mulai menghitung-hitung kira-kira kelompok Bima berangkat jalan jam berapa. Mungkin setengah jam lagi? Ngomong-ngomong Bima masuk kelompok 29. Bayangin aja jarak antar kelompokku dengan Bima. Bisa aja aku udah di pos 10 dan Bima baru aja masuk ke pos satu.

Saat kelompokku mulai berjalan, aku sempat menoleh ke belakang sebentar untuk melihat Bima. Yang tak kuduga Bima ternyata juga sedang memandangku-well kelompokku. Aku shock berat melihat Bima memandangi kelompokku-well Anna.

Intinya Bima memandangi Anna dari jauh.

Tapi harga diriku terlalu tinggi buat mengakui. Selain itu aku juga shock. Bukan berarti aku belum pernah melihat kejadian kaya' gini. Bima sering kupergok sedang menatap Anna persis seperti cara Gibran menatap Anna.

Nggak lah, Bima dan Anna cuma temenan. Pikirku sambil geleng-geleng kepala mulai mencoba untuk bersikap positive lagi.

Aku menghadap depan lagi hanya untuk melihat Anna. Aku baru nyadar kalau Anna memakai pakaian paling tidak fashionista yang pernah kulihat. Celana training coklat dan baju hijau luntur. Anna mirip pohon berjalan.

Pokoknya nggak ada yang seru lah selama perjalanan menuju ke pos satu. Ini komplikasi rumit antara aku masih sebel gara-gara orang yang kusukai ngeliatin cewek lain, efek bangun kepagian, kurang tidur tadi malam gara-gara aku nggak biasa tidur di barak dan karena aku memang nggak suka gunung.

Aku suka laut. Aku suka pasir dan bau air laut, bukan bau pohon apalagi jalan nanjak. Disini terlalu hijau. Jalannya berkelok-kelok penuh rumput, perkebunan sayur, pepohonan dan berbatu besar-besar.

Aku kayak masuk dalam dunia antah berantah. Rasanya bisa tiba-tiba muncul ular. Itu binatang yang paaaaliiiing paliiiiing kubenci. Aku nggak tau sih di gunung ada ular apa enggak tapi di bandingkan di pantai kemungkinan ketemu ular di semak-semak gunung pasti lebih gede kan?

Amit-amit.

Makanya aku langsung otomatis jantungan waktu di pos satu kelompokku di suruh duduk di tengah-tengah kebon rumput apalah gak tau namanya. Pokoknya rumputnya tinggi banget setinggi dengkul. Bayangin deh, kalau dalam posisi berdiri aja selutut apalagi kalau dalam posisi duduk!

Gila, jijik banget aku duduk di tanah.

Ular tanah, cacing, kelabang semua hewan yang melata langsung muncul dalam bayang-bayangan.

Ternyata bukan cuma aku yang mikir itu. 5 cewek lain selain aku juga langsung masang wajah horor. Sisanya langsung duduk aja berasa kayak di teras rumah sendiri. Termasuk Anna. Dia langsung tenggelam di antara rumput. Gimana kalau di situ ada ular Python? Si Anna bisa langsung ketelen itu.

Anak-anak cowok kelompokku malah masang wajah sok macho lalu langsung duduk. Tampang mereka kuduga ada hubungannya dengan adu kemachoan supaya kelihatan keren di depan Anna. Well, karena memang cuma itu yang di lakukan para cowok daritadi.

"Nggak ada tempat lain buat duduk apa?" Seru Rika salah satu dari anak cewek kelompokku dengan suara pelan. Dia ragu-ragu buat duduk.

"Kenapa harus duduk tempat kaya' gini..." Gumam Aisha lirih. Mukanya udah mau nangis gitu padahal baru juga pos pertama.

"Udah duduk aja. Manja Amat!" Salah satu kakak OSIS penjaga pos pertama bentak dengan judesnya. Sisanya? Pada melotot galak.

Kami sebagai minoritas tak berdaya nggak bisa apa-apa selain nurut duduk. Berhubung kakak-kakak OSIS penjaga pos satu tampaknya lebih galak dari ular Phyton.

Saat itu sisa-sisa anak yang takut buat duduk mulai kompak memilih posisi yang paling 'aman', desek-desekan di tengah.

Saat itulah, Anna nggak tau gimana ceritanya tau-tau nyaris aja nyungsep nggak jelas di salah satu lobang besar yang ketutupan rumput saat mencoba bergeser untuk memberi celah duduk buat yang lain.

Karena posisi Gibran paling dekat dengan Anna dia langsung narik tangannya.

Untung Anna nggak jadi nyemplung ke itu lobang! Setelah heboh sebentar ketauanlah kalau si kakak OSIS galak rese' nyebelin itu ternyata juga nggak tau ada itu lobang segede satu meter ketutupan rumput kering dan rumput hidup mirip semacam jebakan ala perang dunia kedua.

Amit-amit deh. Padahal kukira itu jebakan sengaja di buat kakak OSIS buat jadi permainan jebakan di pos satu macam jebakan ala benteng takeshi.

Aku sempat ngintip sebentar. Itu isi lobang kombinasi antara batu, lumpur, sarang semut dan entah bintang apaan panjang-panjang bersarang di situ.

Anna juga ngintip itu lobang. Wajahnya yang tadinya kaya' nggak connect apa yang sebenernya terjadi, akhirnya sadar juga kalau baru aja dia selamat dari lobang maut.

Warna wajah Anna berubah Jadi pucat.

"Jangan berdiri dekat sana.." Gumam Gibran. 
"Makasih ya..." Anna tiba-tiba mendongak menatap Gibran sambil meringis takut.

Itu jenis meringis yang bisa buat anak cewek dengan muka jelek jadi tambah jelek tapi membuat cewe cantik  kelihatan super imut-imut.

Dunia memang tidak adil.

Gibran berhasil untuk mencoba memasang wajah datar tapi anak cowok lain bahkan kakak-kakak cowok penjaga pos satu nggak tahan untuk memasang ekspresi macam-macam. Ada yang jelas-jelas gugup sendiri, terpesona sampai cengengesan bego.

Tuh, dimana muka galak judes ala senior kalian barusan? Sekarang mereka semua kaya' nggak cakap lagi ngitung angka satu sampai sepuluh. Meleleh-leleh gitu.

Ck, cowok dimana-mana mah sama aja. Ngliat cuma dari wajah!

Masih dalam rangka adu kemachoan, selesai dari pos satu, si Anna berasa dijagain oleh tiga pengawal cowok selama perjalanan. Dan kami sisa-sisa cewek berjalan di dekat Anna serasa macam dayang-dayang.

Si Aji, salah satu cowok kelompokku tiap 5 menit sekali bilang, 'hati-hati Na!! Hati-hati'

Hati-hati apaan? Hati-hati ada kupu-kupu? Hati-hati ada semut? Grrrrrrr

Si Ryan, yang tadi waktu masih baru pembagian kelompok hanya bisa ngeliatin Anna sambil cengar-cengir kini ngoceh melulu. Kaya' mau nunjukin kalau dia yang paling lucu tapi gagal gara-gara Anna paling mentok cuma senyum.

Si Gibran ? Itu anak makin pendiam tapi nggak pernah jauh-jauh dari Anna selaluuuu aja berdiri di belakangnya.

Akhirnya, anak cewek di kelompokku mulai mengendus. Ada sesuatu yang nggak beres dari Gibran dan itu ada hubungannya dengan Anna.

Nyebelinnya, mereka semua tampak pasrah gitu. Kayak 'mau gimana lagi namanya juga takdir'.

MALIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang