Part XI

232 38 6
                                    

Badanku rasanya mau remuk gara-gara jalan kaki selama nyaris selama 6 jam.

Acara outbound baru selesai jam 3 sore. Aku balik ke pos dalam keadaan jeleeek banget, keringetan, muka merah, sepatu kotor kena lumpur, baju agak lembab karena gerimis, wajah belepotan tepung dan areng.

Dalam keadaanku paling jelek itu aku malah nggak sadar kalau duduk bersebelahan dengan Bima.

Saking kecapekannya, aku nggak memperhatikan sama sekali.

Selesai jalan aku duduk teler di bawah pohon deket barak selama nggak tau berapa lama.

Pokoknya aku baru sadar Bima duduk disebelahku waktu aku sedang berseru sambil menghadap langit, "Hujannya niat nggak sih? Tau-tau gerimis tau-tau cerah lagi, tau-tau gerimis lagi!"

Tau-tau orang yang daritadi duduk di sebelahku bangkit berdiri. Nyaris aja aku keselek air ludahku sendiri waktu melihat Bima sekarang berdiri di depanku. Tolol banget, aku sampai nggak sadar samaaaa sekali!

Untungnya (atau nggak untungnya?) Bima nggak menghadap ke arahku. Sepertinya juga ia tadinya duduk di sebelahku di bawah pohon tanpa ada rencana sama sekali. Tanpa sengaja aja.

Bima berdiri didepanku memakai training biru gelap dan kaus putih. Bima super amat sangat ganteng walaupun rambutnya basah keringat.

Aku yang tadinya jengkel gara-gara langit kembali mendung lagi dan mulai gerimis, tiba-tiba jadi bahagia.

Angin dan hujan gerimis membuat Bima yang berdiri di depanku tampak lebih dramatis. Rambutnya yang di tiup angin, hujan yang jatuh...

Ah pokoknya india banget.

Sejak kapan hatiku jadi hello kity gini?

Adegan india didepanku berubah jadi adegan horror waktu tau-tau Anna berjalan ke depan Bima.

Didepanku persis! Di depanku betulan gak ada satu meter! TEGA.

Bima menunduk terdiam menatap Anna. Sementara Anna bilang,"Hujan Bima. Hujan." Sambil ketawa kaya' anak kecil.

Apa-apaan tuh. Aku jengkel. Kek, Anna nggak pernah liat hujan aja seumur hidup.

Bima tiba-tiba mengangkat tangan Anna. Tangan Anna masih belepotan lumpur gara-gara tau sendiri semua anak tadi kudu delosotan di tanah pas di pos delapan! Si Bima tau-tau ngelap   bekas lumpur itu dengan tangannya, lalu menepuk pelan bekas tepung pos sepuluh di rambut Anna.

Aku cuma bisa gigit jari. Pinginnya sih guling-guling di lantai sambil nangis, tapi nggak mungkin.

Dalam hati juga aku njerit-njerit. Teganya Bima. Masa' nggak sadar aku di dekatnya. Aku, si anak cewek yang nembak dia di depan ruang guru. Si Malika! Kalau memang dia nggak bisa suka aku kaya' aku suka banget ma dia. Seenggaknya jangan nunjukin dia peduli sama cewek lain di depan mukaku.

Padahal tanganku lebih belepotan lumpur  dan mukaku lebih belepotan tepung daripada Anna. Padahal aku mungkin lebih capek dari Anna karena aku nggak punya tiga pengawal yang selalu siaga jagain Anna dari semut sampai bekicot sekalipun.

Padahal Anna dapat perlakuan istimewa dari setiap kakak-kakak cowok OSIS penjaga pos mentang-mentang dia cantik! Terus kenapa Bima harus ngasih perlakuan istimewa juga ke Anna?!

Nggak kupungkiri kecantikan Anna membantu kelompok kami juga. Setiap kali kami sampai di satu pos, Annalah anak yang kami taro paling depan. Ia semacam pawang yang bisa meleleh-lelehkan hati kakak-kakak OSIS di setiap pos.  Gara-gara dia tugas dan kuis yang kami dapatkan nggak sekejam yang didapatkan kelompok lain.

Tapi ini tetep nggak adil. Kecantikan Anna juga nutupi pesona cewek-cewek lain yang satu kelompok dengan dia.

"Jangan berdiri disini. Gerimis." Kata Bima dengan suara berat seraknya.

"Daritadi memang beberapa kali gerimis kan?" Kata Anna.

"Tadi jalannya jadi licin. Kamu jatuh berapa kali?"

Anna menggeleng,"Aku nggak jatuh sama sekali."

"Oh ya?" Kata Bima dengan gaya kebapakannya ia memeriksa lengan Anna seakan-akan Anna anak perempuannya yang masih umur lima tahun.

"Aku betulan nggak jatuh."

" Kok bisa?" Tanya Bima dengan nada nggak percaya.

"Aku nyaris mau jatuh satu kali tapi di tolong sama Gibran."

Gibran? Aku ngangkat alis, baru kali ini aku dengar Anna nyebut nama Gibran. Sepanjang jalan tadi Gibran betul-betul nggak ngajak ngobrol Anna dan Anna juga sama sekali nggak ngajak ngobrol Gibran apalagi manggil nama Gibran.

"Gibran yang mana?" Tiba-tiba nada suara Bima berubah tajam.

"Dia Gibran." Anna dengan polos/tolol betul nunjuk Gibran yang sebetulnya juga sekarang duduk di dekatku.

Aku ngelirik Gibran. Gibran memasang wajah tanpa ekspresi sementara Bima tampangnya langsung dingin.

"Makasih ya." Kata Bima tanpa senyum.

"Ok." Jawab Gibran juga tanpa senyum.

Oh my god. Suasana berubah jadi menekan. Horor betul. Rasanya hawa mereka berdua betul-betul nggak enak.

Anna mendongak menatap Bima yang bertampang galak. Ia tau-tau membuka mulutnya untuk..........ngomongin kuda.

Serius.

Ampun deh.

Dia nggak bisa liat suasana apa?

Kenapa kuda?

Kenapaa?????

Pokoknya intinya Anna tadi sempet ngobrol sama trainer kuda. Si trainer kudanya itu nunjukin foto kudanya yang dia simpen di dompet.

Sumpah.

Penting ya?

Aku sampai mangap. Aku yang nguping aja mangap.

"Foto kudanya keren. Kaya' pas foto 3x4." Gumam Anna di tengah-tengah ceritanya yang panjaaang banget lebar di tengah gerimis.

Ini pertama kalinya aku denger Anna ngomong lebih dari 2 kalimat. Ternyata dia bisa cerewet juga.

Tapi kok isi cerewetannya nggak berbobot ya?

Jangan-jangan tuhan memang adil, siapa tau Anna di lahirkan dengan muka super cantik tapi otaknya nggak ada isinya.

Ngomong-ngomong aku seneng banget liat cara Bima menatap Anna sekarang. Kayak Anna alien nyasar jatuh ke bumi.

Kebahagiaanku langsung lenyap waktu dengar Anna bertanya,"Bim, kamu dengerin ceritaku nggak?"

"Iya. Siapa lagi yang mau denger ceritamu?" Kata Bima dingin tapi entah kenapa aku bisa menangkap kepedulian di balik nada suara Bima.

Bima memang peduli. Diam-diam dia peduli.

Waktu Anna buka mulut lagi Bima tau-tau berjalan pelan ke arah atap barak. Baru dua langkah, Bima menghadap belakang sedetik kemudian mengalihkan pandangan lagi.

Seakan-akan mereka mengerti isi pikiran satu sama. Anna langsung mengikuti Bima. Bima melambatkan langkah dan mereka mulai berjalan berdua meninggalkanku cengok, sebal, marah, cemburu, iri.

Campur jadi satu.

Padahal katanya mereka cuma temenan.

Temenan macam apaan?

MALIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang