Part III

312 35 8
                                    

Ternyata sampai bulan ketiga di SMU pun aku masih cuma bisa melihat Bima dari jauh, itupun masih sambil ngumpet dibelakang bahu teman- temanku.

Sampai sekarang juga, salah sedikit hal yang biasa kulakukan saat aku sedang bengong didalam kelas adalah membuat tulisan nama Bima di kertas. Di kertas apa aja termasuk di kertas soal pas sedang mengerjakan ulangan. Disaat saking pasrahnya gak tau harus jawab apa dan nggak tau harus ngapain. Juga saat sedang pelajaran, apalagi pas pelajaran Fisika. Aku suka nulis nama Bima di lembaran-lembaran LKS juga di belakang buku catatan.
Pokoknya aku nulis nama Bima dimana aja. Sampai pernah suatu kali sewaktu ulangan Sejarah aku malah nggak sengaja menulis nama Bima di kolom nama lembar jawabku.

Aku nggak pernah nyangka kalau ternyata kebiasaan dariduluku ini pada akhirnya bawa masalah.

Masalahnya dimulai waktu dengan begonya aku meninggalkan buku LKSku di atas meja tanpa pengawasan. LKS itu diambil tanpa ijinku oleh Bobby, anak rese' salah satu anteknya Gibran, untuk nyontek PR.

Nama Bima yang kutuliskan dengan sebagus mungkin di kelilingi gambar hati kecil-kecil langsung jadi bahan olok-olok. Bobby ngakak kenceng banget membaca tulisan nama Bima (aku ga tau kalau Bobby ternyata kenal Bima, tapi uhm siapa juga yang nggak kenal Bima?). Dia ngelempar buku LKSku ke Tio lalu Tio lempar ke Gibran.

Gibran dengan teganya meletakan buku LKSku di atas pintu kelas. Inget kan kalau bangunan sekolahku ala Belanda? Pintu nya tinggi banget. Nggak bisa kugapai tanpa naik kursi. Gibran mah enak, tingginya kan 180 senti lebih.

"Balikin ga Bran!!!?" Teriakku marah sementara Bobby dan Tio ketawa ngakak di belakangku.

Gibran memasang wajah sok dan dia nggak mengeluarkan sepatah kata apapun. Ah pokoknya rese' banget deh. Tuh muka ganteng pingin kugampar bolak-balik sampai nggak ganteng lagi.

Untuk menambah suasana makin menyebalkan, Bunga, anak cewe paling centil di kelas malah teriak dari ujung kelas, " Kenapa sih kalian? Di bukunya Malika emang ada apanya?"

"Si Malika naksir Bima!!!" Teriak Tio kaya' anak SD.

ASTAGA.

"Hah? Bima? Bima anak kelas 10-11 itu?" Jerit Bunga sebelum dia ketawa ngakak sampai terbungkuk-bungkuk.

Aku bengong. Haloooo? Perasaanku lucu banget ya? Segitu lucunya kah?Sialan. Perasaanku di ketawain! Enak aja ini orang. Parahnya yang ketawa bukan cuma Bunga tapi beberapa anak lain termasuk Gibran, Tio, dkk. Rasanya kayak itik buruk rupa jatuh cinta sama angsa.

Kemarahanku makin membeludag waktu Gibran dengan teganya mengambil buku LKSku lagi dari atas pintu lagi kemudian dia lempar ke Tio. Lalu Tio menunjukan tulisan tanganku di depan kelas ke seluruh jamaah kelas.

RASANYA AKU MAU MATI AJA SAAT ITU.

Sayangnya aku nggak mati.
Yang ada, setelah itu aku nangis sejadi-jadinya di kamar mandi di temani Icha.

Aku benciiii. Benciii sekali pada Gibran dkk. Kudoain sekujur tubuh mereka jerawatan.

Disaat seperti itupun aku masih bisa mikir kalau, Bima mah mana mungkin ngelakuin ini. Dia terlaku baik. Terlalu sempurna. Pokoknya ia bagaikan pangeran di negeri dongeng yang nggak punya kejelekan sama sekali. Bima itu gentleman, nggak rese', nyebelin, bandel kaya' Gibran dkk.

"Yakin Bima segentleman yang kamu bayangin? Kamu kan nggak bener-bener kenal Bima, Mal." Gumam Icha waktu aku merepet-repet nggak jelas membandingkan Bima dan Gibran dkk.

Aku ngangguk yakin lalu mulai meluncurkan bukti-bukti. Kaya' waktu SMP, kita nggak pernah denger kan Bima bolos, bikin guru nangis atau gangguin anak cewek kan? Bukannya itu cukup bukti kalau Bima orang baik.

"Hmmm. Orang kan siapa yang tau."

Tapi aku yakin kok! Bima beda dari semua cowok didunia. Semua cowok itu menyebalkan kecuali Bima.

"Yah, semoga berita kamu naksir Bima nggak nyebar. Nggak enak kan baru 2 bulan jadi anak kelas 10 udah di gosippin yang nggak-nggak." Lanjut Icha.

"Toh Bima memang tau aku suka dia." Jawabku pura-pura nggak peduli

Iyalah aku harus pura-pura nggak peduli soalnya percuma berharap kejadian barusan mustahil di gosipin. Wong cuma gara-gara rok kepanjangan 2 senti dari lutut aja bisa digosipin sebagai anak cupu katrok dengan rok kepanjangan kaya' mau sekolah di Afganistan.

Walaupun jawabanku tampak sok cool begitu sebetulnya kata-kata Icha kupikirkan berhari-hari. Aku membayangkan gosipku menyebar bagaikan cerita lucu dari mulut ke mulut.

Perasaanku di ceritakan untuk di ketawai.

Aneh, ngapain juga mereka menggosipkan perasaanku.

Perasaanku kan urusanku. Hak mereka apa?

Sebetulnya aku malu. Maluuuuuuu setengah mati tapi di saat yang sama ya... Biasa aja.

Aku kan sudah bukan anak SD. Zaman dimana naksir cowok di anggap najis. Lagian naksir orang kaya' Bima kan hal normal. Bima memang pantas di sukai.

Lagian yang naksir Bima bukan cuma aku. Gosip anak cewe ini itu naksir Bima itu super lumrah disekolahku. Kan dari ujung ke ujung sekolah nggak ada satupun anak yang nggak kenal siapa Bima.

Pokoknya naksir Bima itu hal normal untuk anak cewek normal.

Yang berarti itu hal yang biasa. Biasa untuk semua orang. Sama aja kaya' aku sama saja seperti semua orang lain di mata Bima. Tidak spesial.

Tapi seandainya aku nggak suka lagi dengan Bima, terus siapa lagi yang bisa aku pikirin? Siapa lagi yang harus kudoain supaya dia balik suka ke aku? Siapa lagi bisa kuceritain keorang orang sebagai seseorang yang selalu ingin aku miliki? Mikirin Bima toh nggak rugi. Aku bisa mikirin Bima seakan-akan aku sedang membayangkan ada seseorang di luar sana yang bernama Bima yang mungkin sedang makan sedang, tidur, ketawa tapi tetep gak pernah sadar bahwa dia dipikirkan nyaris setiap hari dan namanya di tulis disetiap kesempatan.

Apa Bima tau kalau dia masih diam - diam disukai? Seperti apa rasanya diam - diam disukai? Kalau seandainya Bima tau, Bima bakalan senang atau takut?

Tapi lama-kelamaan juga aku merasa kayak psyco. Seandainya aku bisa dateng ke dokter terus minta resep. Andai cuma dengan minum vitamin 3x sehari aku nggak bakal jadi aneh lagi.

Halooo, perasaanku ini kan udah dari kelas 1 SMP. Sekarang aku sudah jadi anak SMU tapi perkembanganku dengan Bima masih mandek. Sama aja kayak zaman SMP. Nggak ada yang berubah. Kenapa aku tetep cuma bisa ngeliatin Bima dari jauh? Eh, sekarang malah tambah parah.

Aku terobsesi Bima.

Hm...tapi seenggaknya aku nggak sampai motong Bima jadi lima bagian waktu di tolak.

MALIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang