Part II

358 39 2
                                    

 Selama liburan ujian masuk SMU, aku belajar mati - matian. Aku nggak pintar, aku tau itu, tapi aku harus bisa masuk ke SMU yang sama dengan Bima. Bima kan super pinter makanya aku yakin Bima bakalan masuk sekolah terbaik.

Ironis, dulu aku nekat bilang suka ke Bima karena mikir mungkin aku bakalan pisah sekolah dengan Bima. Sekarang aku malah nekat untuk ikut tes masuk sekolah yang sama.

Ajaibnya, aku di terima.

Di SMU-pun. Aku beda dengan kelas Bima. Bima kelas 10-11 dan aku 10-4. Aku dan Bima juga berbeda kelas MOS, tapi aku bersyukur senggaknya aku masih satu sekolah dengan Bima. Apalagi aku juga satu sekolah lagi dengan Icha dan Mei.

Yang sial adalah aku juga masih satu sekolah dengan Anna. Dalam hati terdalam aku sudah curiga memang bakalan jadi seperti ini. Tapi aku masih yakin kok kalau mereka hanya sekedar teman baik.

Sekolahku yang sekarang termasuk sekolah terbesar. Dengan bangunan asli bekas bangunan Belanda. Dengan jumlah murid yang tiap angkatan ada 600 orang, bangunan sekolah yang besar, yang bahkan ada pohon beringin dalam sekolah, dengan lorong - lorong, jendela dan pintu khas bangunan Belanda. Jadi dipastikan akan lumayan susah untuk tidak sengaja berpapasan dengan Bima di sekolah sebesar ini.

Ukuran sekolahku yang sekarang kira kira 3 kalinya bangunan SMPku. Waktu SMP aku susah sekali untuk ketemu dengan Bima di lorong atau enggak sengaja ketemuan di sudut manapun sekolah. Selama 3 tahun SMP itupun aku belum pernah sekalipun satu kelas dengan Bima. Jadi dengan bangunan sekolahku yang sekarang dan jumlah muridnya, kemungkinannya pasti lebih kecil.

Aku memang belajar mati - matian jungkir balik selama liburan menjelang ujian masuk sekolah supaya bisa satu sekolah lagi dengan Bima, tapi sekarang aku justru bersyukur sulit untuk berpapasan dengan Bima. Bersyukur juga tidak satu kelas 10 dengan Bima. Soalnya aku belum mau berhadapan dengan Bima.

Sebisa mungkin aku menghindari Bima dan sebisa mungkin untuk nggak melirik Bima saat kami tidak sengaja berpapasan di lorong. Untungnya SMU ku besar, saking luasnya dan banyak muridnya, aku dengan gampang bisa menghidari Bima.

Dulu aku sering paranoid sendiri. Takut Bima menghindariku semenjak aku di tolak. Aku takut Bima nganggap aku aneh.
Zaman sekarang, padahal jelas-jelas gak kenal, gak ada angin gak ada hujan tiba tiba nembak, di depan ruang guru pula, ditolak pula. Tapi kenyataannya, dugaanku yang salah. Bukan Bima yang menghindar, tapi aku.
Bima enggak berubah, dia bertingkah biasa aja. Bahkan dari yang aku lihat, nggak ada satupun teman Bima yang tau kalau aku nembak Bima didepan ruang guru dan -ditolak.
Nggak ada gosip aneh apapun, sama sekali. Nggak ada yang berubah, kecuali aku.

Aku memang berkali - kali mencoba untuk nggak ngeliatin Bima tiap kali kami kebetulan papasan di lorong dan aku nggak bisa menghindar. Apalagi terakhir kali usahaku menghindar aku justru masuk ke ruang kelas yang penuh dengan kakak senior plus dengan guru Kimia yang masih berdiri di depan kelas. Aku sukses di hadiahi suasana sunyi tegang dengan semua mata tertuju kearahku.

Kadang-kadang juga, aku mau mencoba menatap Bima dengan berani kayak gak ada apa - apa, pura pura gak tau, pura pura gak kenal (walaupun itungannya memang gak kenal).
Aneh, padahal aku tau sebenernya percuma, toh Bima MEMANG TETAP NGGAK pernah melihat ke arahku.

Pertanyaan terbesarku, bukan pertanyan kenapa Bima nggak suka aku atau kapan Bima bisa suka aku atau bagaimana caranya Bima bisa suka padaku. Pertanyannya adalah kenapa aku nggak bisa berhenti suka sama Bima? Dulu waktu SMP, aku cuma bangga untuk suka dengan Bima. Aku bangga dengan keadaan aku suka Bima.

MALIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang