Part XV

208 28 0
                                    

Jangan pernah remehin perasaanku Bim.

Aarrrrrgggghhhhhhhhh. Hilangkan ingatanku. Beleh-beleh saja aku jadi sepuluh bagian tuhaaan. Ampun deh.

Masalahnya sudah terlanjur basah jadi tenggelam aja sekalian.

Intinya? Aku harus pedekate.

Aku tau urutannya jelas kebalik, harusnya pedekate dulu baru nembak. Nembaknya juga harusnya sekali aja bukannya 2x. Seharusnya lagi, nembak itu yang manis bukannya kaya' preman.

Tapi nasi sudah menjadi bubur karena itulah sekarang aku disini, dengan kaki gemeteran berdiri didepan kelas Bima membawa bekal makanan buatanku sendiri.

Saraf maluku pasti sudah putus. Di mimpiku yang paling liar sekalipun aku nggak pernah membayangkan ngasih Bima bekal makanan sekaligus hendak menanyakan tanggapan Bima soal nembak ala belaguku kemarin.

Masalahnya situasiku sekarang, maju salah mundur salah. Aku sudah terlanjur di depan kelas Bima. Sudah terlanjur di tatapi penasaran oleh siswa kelas 10-11 . Sudah terlanjur buat bekal makanan. Tapi ini terlalu...terlalu... ekstrem. Mentalku nggak cukup kuat.

Bisa-bisanya aku kemakan artikel majalah Cosmo. Menurut majalah, ngasih bekal makanan adalah ide terbaik buat pedekate. Kenyataannya ini jelas BUKAN ide terbaik. Terutama kalau ide ini di praktekkan siswa Indonesia berumur 15 tahun yang seumur hidup belum pernah pedekate apalagi pacaran.

Aku mengintip Bima dari balik jendela sekali lagi. Bima masih duduk manis di kursinya dikelilingi sepeleton teman-teman cowoknya yang sibuk ngobrol.

Intinya, kalau aku mau ngasih Bima bekal aku harus berani menerobos pintu kelas Bima, kemudian menyusup ke tengah-tengah teman Bima, kemudian berdiri di depan Bima sambil menyerahkan bekal.

Rasanya kurang lebih sama seperti game RPG. Untuk naik level, pemain harus melawan bos kecil dulu baru bos besar. Nah, bos kecilnya itu teman-teman Bima, sementara bos besarnya itu sebetulnya adalah Bima sendiri.

Aku menggigit bibir panik, g..gimana ini? Aku sudah terlanjur nembak setengah nantang dan...aku belum dengar jawaban Bima setelah itu gara-gara keburu lari.

Kenapa sih aku nggak pernah bisa betul-betul mendengar isi pikiran Bima?

Kenapa juga sih aku nggak bisa ngelakuin hal-hal sepele kaya' ngucapin terimakasih, pedekate, nembak dengan cara manis dan anteng nunggu jawaban Bima bukannya malah lari terbirit-birit?

Yang terpenting, setelah nembak dengan cara belagu gitu masa' aku batal pedekate?!

Aku harus membuktikan kalau aku sungguh-sungguh suka Bima.

Jam di tanganku sekarang menunjukan pukul 09.40. Oh my god, aku mulai panik. Lima menit lagi jam istirahat akan berakhir sementara aku belum ngapa-ngapain!

Situasi semakin buruk gara-gara tanpa sengaja aku melihat Gibran keluar dari kelas 10-10.

Ngapain itu anak di keluar dari sana. Tapi, oh tunggu. Itu kelasnya Anna. Hm, sudah jelas dia ngapain.

Pantas aja daritadi aku mendengar keributan nggak jelas dari kelas 10-10 sayangnya nggak terlalu kuperhatikan karena aku sibuk jantungan.

Pasti itu anak entah menggombal atau menggila ke Anna (well, apa lagi yang dia lakukan?)

Bodo amat Gibran mau ngapain selama keributan yang dia bikin nggak kedengeran oleh Bima.

Detik berikutnya, pas Gibran melewatiku sambil nahan senyum (dia nggak ngeliat kearahku sama sekali) tau-tau si Anna keluar dari dalam kelasnya ngejar Gibran.

Aku njerit dalam hati.

BUKAN, bukan. Aku nggak peduli Anna sama Gibran mau kejar-kejaran ala India di lorong sekolah. Yang aku peduliin kenapa Anna kudu keluar dari dalam kelasnya ngejar Gibran yang notabene lagi ngelewatin jendela lorong kelas 10-11 yang bagai aquarium (yang artinya ada kemungkinan Bima bakal tanpa sengaja liat) di saat yang sangat nggak tepat seperti ini.

Kalau Bima betulan ngeliat lalu ikut keluar menemui Anna terus aku terpaksa liat...ARGHHH, aku nggak siap.

Untungnya enggak karena Gibran dan Anna melangkah menjauh dengan cepat di ikuti puluhan pasang mata penasaran.

Aku mangap. Hebat. Seorang Gibran bisa membuat Anna ngikutin dia. Tuh anak ngapain ya?

Progress Gibran membuatku sadar. Haloooo masa' aku lebih pengecut dari Gibran?!

Singkatnya aku nekat masuk ke dalam kelas Bima.
Hoek, aku mau muntah.
Hawanya betul-betul menekan. Gimana nggak menekan? Wong ditatapi semua pasang mata yang ada di dalam kelas Bima. Belum.lagi bisik-bisik menjalar setiap kali langkahku semakin mendekati Bima.

Nggak apa-apa Mal! Toh mereka semua pasti udah tau kamu nulis-nulis nama Bima di LKS. Mereka udah tau kamu naksir Bima, jadi kamu nggak perluh malu. Mereka tau pun nggak membawa efek apa-apa kecuali gosip. Pikirku menenangkan diri.

Lalu... Sampailah aku di depan Bima. Semua teman Bima tanpa sadar menyingkir sambil memandangiku (aku nggak tau ekspresi mereka kaya' gimana karena aku sama sekali nggak mendongak).

Satu-satunya yang akhirnya dengan berani kutatap matanya hanya Bima. Wajahnya dingin kaku tanpa senyum.

"B...bima." Ujarku sambil menyodorkan bekal makanan.

Bima menatap bekal yang kuberikan hanya sedetik. Satu detik yang mampu menghancurkan mental siapa saja.

"Makasih." Jawab Bima tapi tangannya boro-boro menyambut bekal makanan yang kusodorkan.

Lima detik...sepuluh detik.

Arrrrgghhhhbhbbh. Sumpah, ini hal paling memalukan, menyedihkan, menyebalkan sepanjang aku hidup 15 tahun.

Parahnya, di detik ke lima belas aku habis. Habis di jadikan bahan ledekan oleh teman-teman Bima. Para jomblo yang bisanya cuma nyorakin itu tapi nggak pernah di sorakin pada ketawa ngakak ngejek.

Rasanya pengen nangis.

Aku bego amat ya.

Aku bahkan nggak ngerti apa maksud Bima dengan ucapan terimakasihnya itu. Tapi...Bima hanya terdiam. Acuh tak acuh.

Artinya sama kayak zaman dahulu kala itu. Bima hanya mengucapkan terimakasih doang. Titik nggak pakai koma. Hanya sekedar menghargai tapi nggak ada niat lain selain itu.

Bima nggak suka aku kaya' aku suka sekali padanya. Kenyataan itu menghantamku keras seperti kejatuhan tembok.

Lucunya aku sebetulnya sadar itu sejak lama tapi pura-pura tidak tau dan nggak mau tau.

Karena tidak kuat di jadikan bahan ledekan dan kebetulan bel jam istirahat berakhir aku buru-buru lari keluar kelas Bima.

Nggak ada hasilnya aku bangun jam setengah lima masakin Bima, bermenit-menit nunggu di depan kelasnya, nekat nahan seluruh malu dan tengsi untuk kedepan Bima.

Semuanya percuma.

MALIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang