[27] - Bintang Kelap-Kelip

176 23 8
                                    










: permintaan hati – letto :








Tepat saat itu juga, Gray mengamit jemarinya, berusaha menautkan tangan kecil Zura dengan dirinya hanya untuk sekarang. Sesaat, saat dia melihat mereka berdua yang sama-sama menyepi, menikmati hati yang memberontak di dalamnya.

Grayhan mengajak Zura menghampiri gadis dengan rambut sepinggangnya itu, hanya sekedar melihat kalau saja yang Gray lihat memang benar dia –dia yang ingin Gray rengkuh dalam pelukannya.

Kedua manik Gray menatap dua mata coklat yang menatapnya sama, dirasanya lelaki ini adalah; jelas-jelas kalau Gray bukan hal penting di hidupnya. Bukan seperti Gray yang terus memandang dia sangat penting di hidupnya.

Zura seperti memberi ruang untuk mereka berbincang, sehingga Zura berusaha melepas genggaman Gray, namun apa nyatanya? Gray mempererat genggamannya, menarik Zura agar lebih dekat dengan tubuhnya, memberi tahu kalau saja Gray tidak bisa bertahan lama.

"Long time no see, Div,"Gray memulainya, berbasa-basi macam anak SMP yang bertemu dengan temannya. Perempuan itu sedikit mengangguk, menatap sesekali Gray ataupun Zura."Baik, untuk saat ini,"jawabnya.

Gray terdiam, seolah-olah –entah dia ingin memaki mulutnya yang tak bergeming sedikitpun bertemu dengan perempuan yang hilang dari hidupnya hampir dua tahun lamanya.

"Dia siapa?"suara perempuan di hadapan Gray membuat Zura mendongak sekaligus membuat Gray menoleh ke arah gadis yang terlihat kecil itu. Apalagi Diva, lebih mempusatkan perhatiannya pada genggaman jari mereka, seakan-akan memberi tahu siapa saja kalau Gray melindungi perempuan yang berada di sampingnya.

"Pacar –dia pacar gue,"jawab Gray sehingga Zura menelan ludahnya, kali ini ia tahu kalau Gray sedang tidak bercanda, lebih tepatnya berusaha normal di hadapan seorang Diva.

Diva tersenyum tipis ke hadapan Zura sehingga mau tak mau Zura membalasnya. Diva menjulurkan tangannya,"Gue Diva, cinta pertamanya Grayhan,"ucapnya.

Deg.

Pernyataan tersebut membuat hati Zura seperti dihantam bola baseball yang dipukul kencang oleh pemainnya.

***

Zura menggulung rambutnya, mengeratkan sweater berwarna pinknya, dan berusaha mendinginkan hatinya yang panas di cuaca yang dingin seperti ini. Tangannya memegang ponsel yang sedari tadi ia charger. Ada salah satu notifications yang membuat Zura penasaran.

Tasyaa : gue minggu depan tampil

Tasyaa : maunya sih gue ngajak lo

Tasyaa : Cuma gue takut, lo trauma nonton CL

Ya, Zura akui, ia lumayan trauma dengan Cheers semenjak dimana Dea membullynya itu. Tapi untuk teman satu-satunya, Zura harus datang ke acara itu, karena ini pertama kalinya buat Tasyaa tampil sebagai anggota Cheers.

Azura Soraya : demi?

Azura Soraya : datenglah pasti

Tasyaa        :asikk

Tasyaa        : acaranya di SMA

Tasyaa        : ajak Gray aja, mau dah dia pasti

Zura terdiam sebentar, tangannya mengetik kata Iya sebagai balasan, lantas mematikannya. Mengingat nama orang itu, Zura jadi penasaran. Ia akui, mulai hari ini akan mengalahkan egonya, ia tahu Gray butuh penyembuh untuk hatinya, bukan sebaliknya dan bisa saja kalau Zura yang menjadi penyembuhnya, bukan?

Tangannya membuka kenop pintu kamarnya dan berjalan keluar mencari tahu acara apa yang akan diadakan sekarang. Bahkan sepertinya sekarang acara utamanya, karena yang dilihat Zura banyak yang berlalu lalang membawa ini-itu seperti bahan masakan.

Tapi, yang jadi perhatian Zura sekarang yaitu laki-laki yang duduk agak jauh dari keramaian dengan earphone yang terpasang di kedua telinganya sambil menghembuskan asap rokok. Hembusan napas Zura mengawali segalanya. Perempuan itu sudah berniat menghampiri Grayhan.

Dengan langkah yang pelan, Zura berusaha untuk tidak mengganggu Grayhan yang mungkin sedang menikamati waktu sendirinya. Zura bersila di sebelah Gray, sehingga laki-laki itu memperhatikan gerak-gerik Zura yang terkesan hati-hati.

Gadis itu melihat ke depan, dimana Zura baru tahu kalau villa milik keluarganya Gray benar-benar berada di puncak. Pasalnya, Zura melihat lampu yang berkelap-kelip karena jauh dari pandangannya seolah-olah seperti bintang yang berhamburan di bawah.

"Aku jadi inget, satu diantara semua cahaya yang ada di sekitaran kita bakal membantu atau merusak kita sendiri, tergantung kitanya bagaimana menggunakan cahaya itu. Kalau aja aku punya satu diantara cahaya itu, aku bakal kasih buat kamu,"Zura menyelipkan rambutnya ke belakang telinga karena angin yang berhembus begitu kencang."Karena aku tahu, kamu saat ini butuh cahaya. Entah cahaya untuk menerangi kalau aja masa lalumu tidak selalu buruk, menerangi hati kamu yang berprasangka buruk ke dia, dan menerangi...."ada jeda yang dibuat perempuan itu membuat Gray penasaran, walaupun laki-laki itu sedang memakai earphone, namun jauh sebelum Zura berkata, ia sudah mematikan lagu yang diputarnya.

"Dan menerangi?"tanya Gray meminta gadis kecil itu melanjutkannya. Zura menatap Gray kaget,"Kamu denger semuanya?"tanyanya memastikan. Grayhan mengangguk sehingga raut wajah Zura kembali seperti semula. Gadis itu mendengus pelan,"Dan menerangi hati kamu buat ngelihat aku yang selalu ngedukung apapun yang kamu lakuin,"lanjut gadis itu dalam sekali hembusan napas.

Zura kembali menghadap ke depan melihat di atasnya banyak sekali bintang-bintang yang terlihat banyak jenisnya hanya untuk menerangi saja. Belum lagi kelap-kelip di bawah villa yang mereka tempati, mengisyaratkan buat siapa saja untuk memanjakan matanya saat ini.

Grayhan menoleh ke arah Zura, melihat bagaimana gadis itu dari samping yang setengah dari dirinya benar-benar fokus melihat pemandangan di depannya, dan setengahnya lagi masih menyimpan rasa sedih yang dimulai dari Gray tadi.

"Jangan merasa kalau lo bisa ngelakuin semuanya, harus berapa kali gue bilang?"Gray menyuarakan isi hatinya. Zura menoleh, mengatupkan bibirnya rapat seakan-akan bukan ini jawaban yang ia minta. Sangat jauh dari ekspetasinya.

"Lo ada dan gue percaya, itu udah lebih dari cukup."tambah Gray membuat Zura menunduk lalu mengangkat kepalanya saat Grayhan memegang ujung dagunya untuk menatap Gray.

Gray menyelipkan rambut-rambut yang berada di pelipisnya Zura ke belakang telinga. Mengusap-usap pipi gadis itu dengan pelan seolah-olah Gray menyalurkan kehangatan. Jemarinya menyentuh dahi Zura yang nampaknya berpikir keras sampai masih ada kerutan tercetak di sana, lalu turun ke bawah menyentuh hidung  Zura dengan pelan lantas memegang kembali ujung dagu Zura.

Entah kenapa, Grayhan ingin tahu seberapa besar Zura memendam rasa sakitnya. Ia berusaha untuk menenangkan hati gadis itu, namun dalam benaknya sendiri, Grayhan tak kuasa sehingga menghilangkan sedikit demi sedikit jarak diantara mereka dan mendaratkan kecupan di bibir gadis kecil itu.

Hanya hembusan napas yang Zura rasakan, tangan melemas dan mulutnya bergetar menerima perlakuan seperti ini. Nyatanya, mereka sama-sama tak kuasa menahan debaran jantung yang berdegub kencang saat itu juga.

Dan yang Gray sadari, bibir Zura yang bergetar tadi akibat gadis itu menahan tangisnya. Grayhan menyakitinya, terlebih lagi saat ia tahu bahwa pipinya merasakan aliran hangat dari air mata Zura yang mengalir deras. Grayhan membenarkan duduknya, memegang pipi kanan Zura sampai ke belakang telinga memberi tahu kalau dialah yang seharusnya melindungi gadis itu.

RefreshTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang